tirto.id - Dunia yang kita huni, dengan segala rancang bangun dan peralatannya, sering kali terasa seolah diciptakan secara eksklusif hanya untuk mereka yang dominan menggunakan tangan kanan. Dari gunting yang kita pakai hingga kursi kuliah tempat kita menimba ilmu–semuanya didesain untuk pengguna tangan kanan–adalah bias tak kasat mata yang memaksa individu kidal untuk terus-menerus beradaptasi.
Sebagai bagian dari kaum kidal, fenomena tersebut memantik kegelisahan pribadi, sebuah keresahan yang lahir dari perjuangan sunyi menghadapi ketidakadilan yang sering kali tidak tampak. Saya percaya bahwa ketidaksetaraan ini, meski kerap terabaikan, merupakan isu penting yang berdampak nyata pada kualitas hidup jutaan orang.
Setiap hari, tanpa banyak disadari, kita berinteraksi dengan dunia melalui tangan kita. Preferensi penggunaan tangan tampak sebagai detail kecil dalam kerumitan hidup manusia.
Namun, bagi kira-kira 10%-15% populasi global yang notabene individu kidal, preferensi ini bukanlah hal sepele. Preferensi tersebut adalah penentu bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungan yang secara fundamental dirancang oleh dan untuk mayoritas pengguna tangan kanan.
Saya merasa terpanggil untuk mengangkat isu ini karena ketidakadilan yang dialami oleh kaum kidal sering kali tidak kelihatan, tersembunyi di balik desain sehari-hari yang sering dianggap “normal”.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengupas lebih dalam berbagai tantangan dan ketidakadilan sistemik yang saya dan kaum kidal lainnya rasakan setiap hari.
Adaptasi terus-menerus yang harus kami lakukan adalah sebuah tantangan yang layak mendapatkan perhatian dan solusi. Harapannya, tulisan ini dapat membuka jalan menuju masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua.
Ragam Marginalisasi Kaum ‘Kidal’
Bagaimana peralatan dan fasilitas sehari-hari yang secara konsisten lebih berpihak pada pengguna tangan kanan, menciptakan hambatan bagi individu kidal.
Ketidaksetaraan ini terlihat pada benda-benda di sekitar kita. Gunting standar, misalnya, dirancang dengan lubang jari dan posisi mata pisau yang optimal untuk tangan kanan. Jika digunakan dengan tangan kiri, hasilnya sering kali tidak presisi dan terasa canggung. Pembuka kaleng manual, tuas gas motor, hingga mouse komputer yang keergonomisannya dibentuk untuk genggaman tangan kanan adalah contoh-contoh berikutnya.
Di kampus, seorang teman kidal begitu kesulitan saat harus menggunakan meja yang semua pengaturannya berada di sisi kanan. Hal yang tampak biasa itu membuatnya harus meraih dengan posisi yang tidak alami dan berpotensi membahayakan. Bahkan hal sederhana seperti buku catatan spiral menjadi tantangan karena bagian spiralnya menekan pergelangan tangan kiri saat menulis.
Belum lagi masalah noda tinta yang membekas di sisi telapak tangan kiri ketika menulis dari kiri ke kanan, sebuah “ritual” yang akrab bagi banyak pelajar kidal. Ketidaknyamanan kecil ini, jika terakumulasi setiap hari, dapat menyebabkan frustasi, penurunan efisiensi, bahkan risiko cedera ringan akibat penggunaan alat yang tidak ergonomis.
Berikutnya, lingkungan pendidikan dan profesional sering kali gagal mengakomodasi kebutuhan spesifik individu kidal. Fakta demikian berpotensi menghambat proses belajar dan pengembangan karier mereka.
Saya teringat akan kegiatan perkuliahan, yang sebagian besar kursi di kelas memiliki meja lipat kecil yang terpasang permanen di sisi kanan. Bagi mahasiswa kidal, ini berarti mereka harus menulis dengan posisi tubuh yang miring dan tidak nyaman, atau terpaksa meletakkan buku catatan di pangkuan.
Menurut sebuah studi kasus yang diterbitkan dalam Journal of Accessibility and Design for All, penggunaan kursi untuk tangan kanan memaksa siswa kidal untuk membungkukkan leher dan punggung bawah mereka hingga lebih dari 40 derajat dari postur tegak, sebuah posisi yang memicu gangguan muskuloskeletal (MSD).
Seiring waktu, ketegangan berulang dari adaptasi di tempat kerja dapat menyebabkan kondisi kronis seperti Carpal Tunnel Syndrome. Sebuah studi dalam jurnal European Neurology menemukan, kidal secara independen dikaitkan dengan kemungkinan 13 kali lebih tinggi untuk mengembangkan sindrom ini di tangan kiri.
Instrumen musik seperti gitar atau biola, misalnya, secara standar dibuat untuk pemain tangan kanan. Musisi kidal harus memilih antara belajar memainkan instrumen standar dengan cara yang tidak alami, memesan instrumen khusus kidal yang harganya sering kali lebih mahal dan stoknya terbatas, atau memodifikasi instrumen yang ada.
Peralatan di laboratorium, bengkel, atau bahkan dapur profesional sering kali memiliki tata letak kontrol dan fitur keselamatan yang dirancang dengan asumsi pengguna adalah tangan kanan.
Saya percaya, kurangnya pertimbangan ini bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga dapat membatasi pilihan pendidikan dan karier bagi individu kidal, serta menciptakan lingkungan yang kurang inklusif.
Tak kalah penting, bias sosial dan historis yang–meskipun mungkin tidak disadari–berkontribusi pada marginalisasi kaum kidal.
Dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Inggris, kata "right" (kanan) sering kali berkonotasi positif (benar, baik, adil), sementara "left" (kiri) justru diasosiasikan dengan hal negatif (aneh, canggung, bahkan jahat, seperti dalam kata "sinister" yang berasal dari bahasa Latin untuk kiri).
Didiskriminasi sejak Dulu

Sejarah mencatat bagaimana anak-anak kidal di masa lalu sering kali dipaksa untuk menulis atau menggunakan tangan kanan mereka. Metode pemaksaan ini sering kali brutal, mulai dari mengikat tangan kiri anak di belakang punggungnya hingga hukuman fisik seperti pukulan penggaris.
Praktik ini, yang kini kita ketahui dapat menimbulkan dampak psikologis dan menghambat perkembangan alami anak, didasarkan pada keyakinan yang keliru. Dampak psikologis dari pemaksaan penggunaan tangan kanan pun nyata dan terdokumentasi dengan baik, mulai dari gagap, kecemasan, hingga kesulitan belajar.
Salah satu contoh terkenal adalah Raja George VI dari Inggris, yang gagapnya semakin parah akibat latihan paksa untuk menggunakan tangan kanan.
Pada abad ke-19, pseudosains seperti teori kriminolog Cesare Lombroso secara keliru mengaitkan kidal dengan kriminalitas dan degenerasi biologis, memberikan legitimasi ilmiah yang menyesatkan bagi diskriminasi terhadap individu kidal.
Meskipun praktik semacam itu sudah banyak ditinggalkan, sisa-sisa bias ini mungkin masih mempengaruhi cara pandang masyarakat dan, yang lebih penting, cara para desainer dan produsen merancang produk tanpa mempertimbangkan kebutuhan minoritas kidal.
Saya berpendapat, pengabaian ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang halus tetapi nyata.
Ambidextrous dan Inklusifitas
Menghadapi realitas dunia yang lebih condong ke kanan ini, saya percaya kita tidak boleh hanya berdiam diri. Ada beberapa langkah konstruktif dan solutif yang dapat kita ambil untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil bagi semua.
Pertama, kita perlu menggaungkan dan menerapkan prinsip desain universal secara lebih luas. Prinsip ini menekankan perancangan produk dan lingkungan yang dapat digunakan oleh semua orang, semaksimal mungkin, tanpa memerlukan adaptasi atau desain khusus. Ini berarti menciptakan alat tulis, peralatan rumah tangga, fasilitas publik, dan teknologi yang ambidextrous atau mudah disesuaikan untuk pengguna tangan kiri maupun kanan.
Perlu ada dorongan bagi para produsen untuk meningkatkan ketersediaan produk yang ramah kidal atau ambidextrous dengan harga yang kompetitif.
Saat ini, produk khusus kidal sering kali lebih mahal dan sulit ditemukan. Seperti contoh, di toko online Amazon, produk khusus kidal rata-rata 25–50% lebih mahal daripada versi normal. Dengan adanya permintaan yang lebih besar dan kesadaran dari sisi produsen, diharapkan kesenjangan ini dapat diperkecil.
Kedua, peningkatan kesadaran dan edukasi di tengah masyarakat sangatlah krusial. Saya membayangkan kampanye publik yang menjelaskan tantangan yang dihadapi oleh kaum kidal, serta materi edukasi yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah untuk menumbuhkan empati dan pemahaman sejak dini.
Para pendidik dan orang tua perlu dibekali pengetahuan untuk mendukung anak-anak kidal tanpa memaksa mereka mengubah preferensi alami.
Terakhir, institusi pendidikan perlu mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif. Ini bisa berupa penyediaan pilihan kursi kuliah yang ramah kidal, penyesuaian peralatan kerja di laboratorium, atau setidaknya kesediaan untuk mengakomodasi kebutuhan khusus karyawan atau siswa kidal.
Memulai Langkah Konkret
Sebagai langkah konkret yang dapat saya ambil, saya akan memulai dengan meningkatkan kesadaran di lingkungan terdekat saya, seperti keluarga, teman, dan lingkungan kampus atau kerja. Saya juga tertarik untuk mendukung atau bahkan menginisiasi diskusi dan advokasi kecil, misalnya melalui tulisan atau media sosial, untuk mengangkat isu ini ke permukaan.
Perkiraan dampak dari implementasi solusi-solusi ini sangatlah positif. Bagi individu kidal, ini berarti berkurangnya frustasi dan kesulitan dalam aktivitas sehari-hari, peningkatan kenyamanan, efisiensi, dan bahkan keselamatan. Secara lebih luas, ini akan mendorong inovasi dalam desain produk dan menciptakan pasar baru yang potensial.
Namun, yang terpenting, ini akan mewujudkan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan menghargai keberagaman manusia. Ketika kita merancang dunia yang mempertimbangkan kebutuhan semua warganya, termasuk minoritas kidal, kita sebenarnya sedang membangun peradaban yang lebih baik dan lebih manusiawi.
Dunia saat ini memang secara signifikan dirancang untuk dan oleh mayoritas pengguna tangan kanan. Ketidakadilan yang dialami oleh kaum kidal, meskipun sering kali tidak disengaja dan terabaikan, adalah nyata dan memiliki dampak kumulatif pada kualitas hidup mereka.
Saya percaya bahwa dengan kesadaran kolektif, komitmen pada desain inklusif, dan langkah-langkah advokasi yang berkelanjutan, kita dapat mulai merancang ulang dunia kita agar lebih ramah bagi semua kalangan.
Ini bukan hanya tentang kenyamanan segelintir orang, tetapi tentang menegakkan prinsip kesetaraan, menghargai keragaman, dan memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat, apa pun tangan dominan yang mereka gunakan.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB), penerima Djarum Beasiswa Plus (Beswan Djarum) 2024/2025. Tirto.id bekerja sama dengan Djarum Foundation menayangkan 16 Finalis Nasional Essay Contest Beswan Djarum 2024/2025. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Masuk tirto.id


































