tirto.id - Tiga orang ninja cilik memasuki sebuah tempat pemandian air panas. Satu orang berperawakan tambun tapi cebol, seorang lagi kurus-tinggi, dan ninja ketiga tampak berkacamata.
Ketiganya masuk hanya mengenakan cawat. Tampaknya, mereka bertiga tidak sedang menjalankan misi dan hanya ingin melepas lelah di pemandian itu.
Tiba-tiba sang ninja berkacamata—namanya Rantaro—berhenti.
“Hei, Kirimaru. Apa yang kau bawa itu?”, tanyanya ke sang ninja kurus-tinggi.
“Ini? Ini telur ayam mentah,” jawab Kirimaru sambil menunjuk bungkusan di tangannya.
“Buat apa kau bawa telur ayam segala ke dalam, Kirimaru?”, tanya Shinbei –si ninja gemuk cebol—dengan nada suara penuh kepolosan.
“Sudah, kalian lihat saja nanti.” ujar Kirimaru sambil cengengesan. Ketiganya lalu masuk ke pemandian.
Sesampainya di dalam, Kirimaru—yang terkenal mata duitan—ternyata menggunakan kolam pemandian air panas itu untuk merebus telur-telur yang dibawanya.
Tak cukup sampai di situ, ia langsung menjajakan telur-telur yang baru matang kepada orang-orang di dalam pemandian itu. Tentu saja mereka yang kelaparan seusai berendam di air panas langsung menyerbu dagangan Kirimaru.
Tak sampai lima menit, Kirimaru sudah menghitung lembar-lembar uang di tangannya sambil menikmati hangatnya air di pemandian.
Tinggal Rantaro dan Shinbei yang geleng-geleng kepala seakan tidak percaya atas aksi karibnya itu.
Adegan di atas merupakan penggalan dari serial animasi Jepang (lazim disebut anime) berjudul “Ninja Boy”. Anime tersebut diangkat dari manga (komik) Jepang berjudul “Nintama Rantarou” karya Sobe Amako.
Dalam komik tersebut, Kirimaru dikisahkan datang dari keluarga miskin. Hal itu membuatnya harus selalu memutar otak untuk mendapatkan uang.
Hal serupa saat ini juga tengah dialami oleh Jepang. Dengan kondisi ekonomi yang kurang baik, negara ini harus memanfaatkan segala celah demi mendongkrak laju ekonomi mereka yang terseok.
Lembaga riset Focus Economics mencatat, perekonomian Jepang tengah dihinggapi kelesuan. Hal ini terlihat dari beberapa indikator, seperti penurunan GDP per kapita dari 36.373 dolar Amerika Serikat pada 2014 menjadi 32.484 dolar AS pada 2015. Pertumbuhan ekonomi Jepang bahkan sempat menyentuh angka 0.0 alias stagnan pada 2014.
Singkatnya, Jepang harus segera bertindak segesit Kirimaru dalam serial “Ninja Boy” untuk menyelamatkan perekonomiannya.
Anime dan Manga adalah Kunci
Lantas, langkah apa yang diambil pemerintah Jepang untuk menggenjot perekonomiannya? Jawabannya sederhana : lewat anime dan manga.
Pada 16 September 2016, pemerintah Jepang melalui lembaga Anime Tourist Association (ATA) mencanangkan program untuk mengintegrasikan dunia pariwisata mereka dengan industri anime dan manga.
ATA berencana untuk menawarkan paket tur wisata ke tempat-tempat yang muncul di dalam anime dan manga terkenal Jepang. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan popularitas anime dan manga yang sangat tinggi di luar negeri. Upaya ini dimulai dengan menggelar jajak pendapat online melalui situs animetourism88.com.
ATA menargetkan, pada akhir 2016, mereka telah mengumpulkan 88 rute wisata animasi. Selain lokasi yang muncul di anime dan manga, tur ini juga mencakup kediaman para kreator dan musem-museum yang berkaitan dengan kedua produk budaya populer tersebut.
Selanjutnya, ATA akan mengemas paket wisata itu layaknya sebuah “penziarahan” ke tempat-tempat “seichi” (suci) yang selama ini hanya muncul dalam benak para penggemar anime dan manga semata.
ATA sendiri adalah lembaga yang terdiri dari perusahaan-perusahaan seperti Kadokawa Groups (perusahaan manga &anime), JTB Corp (biro perjalanan), Narita International Airport Corp.(pengelola bandara) Japan Airlines Co. (perusahaan penerbangan).
ATA didirikan sebagai bagian dari strategi “Cool Japan” yang telah dijalankan oleh pemerintah Jepang sejak 2011 lalu.
“Cool Japan” merupakan sebuah strategi untuk memaksimalkan unsur-unsur “soft-power” yang dimiliki Jepang, khususnya untuk berkontribusi secara ekonomi.
Anime dan manga—yang popularitasnya sudah diakui oleh dunia internasional—adalah dua produk yang menjadi ujung tombaknya.
Kontribusi ekonomi dari penjualan anime dan manga Jepang sendiri relatif tidak terlalu signifikan. Berdasarkan data yang diolah tim riset tirto.id, kontribusi penjualan kedua produk ini terhadap Gross Domestik Product (GDP) Jepang dalam lima tahun terakhir hanya mencapai 0,27% pada 2010; 0,28% (2011); 0,28% (2012); 0,31% (2013); dan 0,33% (2014).
“Cool Japan” memang tidak semata-mata ingin memperbesar kontribusi penjualan anime dan manga terhadap GDP Jepang. Sebaliknya, Jepang ingin menaikkan kontribusi sektor pariwisatanya dengan memanfaatkan popularitas budaya populer Jepang, khususnya lewat anime dan manga.
Asahi Shimbun memberitakan, lembaga Japan Tourism Agency telah membuat riset yang berusaha mencari tahu alasan utama para wisatawan datang ke Jepang.
Hasil riset—yang dilakukan pada wisatawan asal Thailand dan Perancis--tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar wisatawan memilih ke Jepang setelah menyaksikan film-film dan anime serta manga asal Jepang.
“Budaya pop khas Jepang telah tumbuh pesat dan siap menandingi Hollywood milik Amerika. Animasi [dan manga] juga dapat mengubah waktu,” papar Tsugihiko Kadokawa, chairman dari Kadokawa Group dan anggota ATA kepada Asahi Shimbun.
Penggemar manga dan anime, khususnya yang telah menginjak usia dewasa, merupakan pasar yang potensial bagi pariwisata Jepang.
Mereka saat ini rata-rata merupakan kelas menengah di negaranya masing-masing, dengan penghasilan yang cukup baik sehingga mampu menyisihkan uangnya untuk berlibur. Hal ini berpadu dengan memori masa kecil mereka yang turut “dibesarkan” oleh anime dan manga sehingga menghasilkan kedekatan dengan Jepang.
Di sisi lain, industri anime dan manga Jepang memiliki kesadaran yang tinggi untuk merawat pembaca-pembaca mereka sekaligus menciptakan pembaca-pembaca baru.
Berbagai judul komik baru dengan berbagai genre selalu terbit setiap tahunnya. Sementara itu, kalangan penerbit dan para kreator juga menciptakan komik-komik yang khusus untuk konsumsi dewasa.
Fenomena tersebut akan tetap menjaga popularitas manga di kalangan pembaca baik dalam negeri maupun di skala global.
“Para pembaca yang masih kecil saat era '80 dan '90an saat ini masih membaca manga. Sebelumnya, manga biasanya hanya dibaca oleh anak-anak saja, baik di Jepang maupun negara lain. Tetapi, saat ini para penerbit harus menaikkan target pembaca mereka karena para pembaca serial manga panjang tidak akan berhenti begitu saja ketika serialnya tamat,” papar Haruyuki Nakano, seorang kritikus manga kepada Japan Times.
“Cool Japan” dan Upaya Nation-Branding
Program “Cool Japan” adalah metode nation-branding (strategi sebuah negara dalam membangun sebuah merek dagang bagi dirinya) yang sudah dirintis secara konseptual sejak 2002 lalu, ketika Jepang menjadi tuan rumah Piala Dunia bersama Korea Selatan.
“Cool Japan” mulai dirintis secara konkret pada 2009 lewat peranan perdana menteri Taro Aso. Sebagai seorang pecandu manga, Aso sangat menyadari besarnya peranan anime dan manga untuk memperkenalkan Jepang ke dunia.
“Produk-produk populer Jepang, seperti anime, video game, dan produk busana telah sukses menarik konsumen dari seluruh penjuru dunia. Sayangnya, keunggulan ini tidak disinkronkan dengan jejaring bisnis kita di luar negeri. Dengan menghubungkan antara popularitas soft power Jepang dengan jejaring bisnis, saya ingin menciptakan pasar sebesar 20 hingga 50 triliun Yen pada 2020 dan menciptakan 500.000 lapangan kerja baru,” paparnya kepada The Guardian.
Upaya Taro Aso kemudian dilanjutkan oleh Shinzo Abe yang menjabat sebagai perdana menteri sejak 2012.
Pada masa pemerintahannya-- yang ditandai dengan menurunnya kontribusi sektor industri teknologi terhadap ekonomi Jepang-- Abe bergerak untuk mencari sumber-sumber pendapatan lain. Salah satu sekotor yang menjadi perhatian Abe adalah pariwisata.
Selain mempromosikan “Cool Japan”, Abe juga melengkapinya dengan slogan “Omotenashi” atau keramahan ala Jepang. Pemerintahan Abe bahkan rela menurunkan nilai tukar Yen terhadap Dolar AS untuk menarik wisatawan. Pada akhir 2012, saat Abe mulai menjabat, 1 dolar AS setara dengan 80 Yen. Saat ini, 1 dolar AS berada dalam kisaran 100 Yen.
Kebijakan ini menuai hasil yang cukup baik. South Cina Morning Post memberitakan, turis asing yang berkunjung ke Jepang pada 2013 tercatat sejumlah 10 juta orang dan naik lagi menjadi 13,4 juta orang pada 2014.
Asahi Shimbun bahkan merilis data yang lebih mencengangkan : sekitar 20 juta turis asing masuk ke Jepang pada 2015.
Gejala positif ini membuat Jepang berani menargetkan 40 juta turis saat Tokyo menjadi tuan rumah Olimpiade 2020 mendatang, dengan pengeluaran dari para turis diperkirakan menyentuh angka 4 triliun Yen.
Apabila jejaring bisnis antara pariwisata dan budaya populer ini mampu dipertahankan, Jepang berpotensi mendapatkan ladang baru untuk menggenjot ekonominya tanpa harus melakukan investasi yang berlebihan.
Sama seperti Kirimaru yang menemukan bisnis telur rebus di tengah-tengah pemandian air panas.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti