tirto.id - Peningkatan peran perempuan sudah menjadi isu yang mengglobal, termasuk upaya untuk mendorong mereka dalam menjaga perdamaian. Dalam Pertemuan Tingkat Menteri MIKTA ke-8 di Sydney, Australia disepakati soal peningkatan kontribusi anggota MIKTA dalam operasi penjaga perdamaian PBB, khususnya dari kaum perempuan.
MIKTA yang beranggotakan Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia, terbentuk dari hasil pertemuan ke-68 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2013. MIKTA merupakan forum informal yang mewadahi pembahasan isu-isu kawasan serta global oleh lima anggotanya.
Beberapa isu yang sempat dibahas dalam forum ini antara lain situasi di Korea Utara, wabah Ebola dan kesehatan global, pengungsi, terorisme, dan misi menjaga perdamaian di PBB. Isu yang terakhir ini menjadi poin pertama dalam diskusi yang digelar pekan lalu, oleh lima menteri luar negeri. Kiprah perempuan dalam misi perdamaian PBB menjadi penekanan oleh Menteri Luar (Menlu) Negeri Retno Marsudi dalam pertemuan itu.
Perempuan di Misi Perdamaian
Peran perempuan dalam pasukan perdamaian atau women peacekeepers masih belum banyak dilirik oleh negara kontributor. Pasukan penjaga perdamaian masih identik dengan kaum laki-laki.
Jumlah perempuan yang tergabung dalam misi perdamaian PBB masih sangat kecil. Hingga September 2016, jumlah perempuan yang tergabung sebagai tentara hanya 2.975 orang. Pasukan perdamaian laki-laki mencapai 85.073 orang. Sedangkan untuk perempuan yang tergabung sebagai polisi hanya 1.251 orang, dan laki-laki mencapai 11.651 orang.
Indonesia adalah salah satu kontributor penyedia pasukan perdamaian perempuan. Pada Oktober lalu, dari 850 prajurit TNI yang akan ditugaskan ke Lebanon, sebanyak 18 orang merupakan perempuan. Hingga 31 Agustus 2016, ada 2.867 pasukan penjaga perdamaian asal Indonesia. Sedangkan anggota MIKTA lainnya yaitu Australia hanya 39 orang, Turki 133 orang, Korea Selatan 628 orang, dan Meksiko hanya 23 orang.
”Peran pasukan penjaga perdamaian perempuan dapat membantu meningkatkan efektivitas advokasi kepada perempuan dan anak-anak di daerah konflik mengenai pentingnya perdamaian,” kata Menlu Retno.
Desakan Indonesia bukan tanpa alasan, karena kenyataannya keberadaan pasukan perdamaian dari kaum perempuan sangat dibutuhkan untuk beberapa alasan. Misalnya di beberapa negara tidak mudah untuk berbicara dengan perempuan karena terhambat oleh budaya setempat. Misalnya di Darfur, Sudan. Budaya di Darfur, seorang perempuan tidak akan mudah berbicara dengan seorang laki-laki ketika mereka menjadi korban perkosaan atau penyerangan. Pasukan perdamaian perempuan sangat penting untuk membantu dalam berkomunikasi dengan para perempuan di wilayah konflik.
Hal positif lainnya, pasukan perempuan akan memberi rasa aman dan nyaman bagi perempuan dan anak-anak di daerah konflik. Beberapa kasus, perempuan di daerah konflik malah diperkosa atau menjadi budak seks dari para pasukan perdamaian. Pada April lalu di Kongo, pasukan penjaga perdamaian asal Tanzania yang bermarkas di Kongo melakukan pelecehan seksual terhadap lima perempuan hingga hamil. Kejadian ini bukan satu-satunya, PBB mencatat ada 99 tuduhan pelecehan terhadap anggota pasukan perdamaian di 2015.
Selain beberapa imbas positif dari keberadaan pasukan perdamaian perempuan, menurut Menlu Retno, peran perempuan dalam misi perdamaian juga akan dapat meningkatkan gender mainstreaming dan kontribusi perempuan dalam pembangunan dan perdamaian di dunia.
Upaya meningkatkan peran perempuan di misi perdamaian bukan kali ini saja. Gagasan ini sudah digaungkan sejak dikeluarkannya Resolusi DK-PBB No. 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan pada 3 Oktober 2000. Salah satu kendala minimnya perempuan di misi perdamaian karena negara kontributor lebih banyak mempersiapkan tentara laki-laki ketimbang perempuan untuk bergabung dalam pasukan penjaga perdamaian.
Sehingga keberadaan MIKTA sudah sepatutnya merealisasikan komitmen masa lalu yang tertunda untuk menyiapkan tentara atau polisi perempuan yang siap terjun dalam misi perdamaian PBB. Tujuan mulia ini bisa dimulai dari MIKTA yang anggotanya hanya lima negara, dan harapannya bisa diikuti negara lainnya.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra