Menuju konten utama

Mencicipi Makanan Saat Puasa Ramadhan Hukumnya Boleh atau Tidak?

Mencicipi makanan saat menjalani puasa Ramadan karena adanya hajat yang menyertai, hukumnya boleh.

Mencicipi Makanan Saat Puasa Ramadhan Hukumnya Boleh atau Tidak?
Ilustrasi Memasak Bersama. foto/istockphoto

tirto.id - Mencicipi masakan saat menjalani puasa Ramadan hukumnya boleh, selama tidak ada nafsu yang kuat untuk mengkonsumsi makanan tersebut. Mencicipi masakan diperlukan agar cita rasa makanan yang hendak dihidangkan untuk berbuka tetap terjaga.

Mengutip artikel "Batalkah Mengecap Masakan ketika Berpuasa?" oleh Alhafiz Kurniawan, ketika seorang koki atau ibu rumah tangga menyiapkan masakan untuk berbuka, mereka tidak perlu ragu untuk mencicipi rasa masakan, apakah sudah tepat atau kurang, apakah enak atau tidak.

Dalam kitab Hasyiyatusy Syarqawi ‘ala Tuhfatith Thullab karangan Syekh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi diterangkan bahwa mencicipi makanan hukumnya akan makruh karena tidak adanya kepentingan atau alasan orang yang mencicipi tersebut.

Dikhawatirkan, orang yang mencicipi tersebut tergoda oleh syahwat untuk mendorong masakan ke dalam tenggorokan.

Akan tetapi, hukum yang berbeda berlaku orang yang menyiapkan hidangan/masakan, baik pria maupun wanita. Mengecap makanan hukumnya tidak makruh karena adanya kepentingan yang menyertainya.

Hal ini juga berlaku bagi orang tua yang memiliki kepentingan mengobati anaknya yang masih kecil. Mengecap makanan juga dihukumi tidak makruh.

Dapat disimpulkan, mengecap dan mencicipi masakan untuk orang yang sedang menjalankan puasa karena adanya hajat yang menyertai hukumnya diperbolehkan secara syar’i (agama).

Namun, jika sudah melakukannya, hendaknya segera membuang atau mengeluarkan masakan yang dicicipi. Bila nafsu untuk mengkonsumsi timbul, maka hukumnya bisa menjadi makruh karena dikhawatirkan dapat tertelan.

Ketika seseorang berpuasa, ia mesti memperhatikan hal-hal yang bisa membatalkan puasa, sejak terbitnya fajar (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu magrib).

Satu di antara hal-hal yang membatalkan tersebut adalah sampainya sesuatu ke dalam lubang tubuh (jauf) dengan disengaja. Lubang tubuh yang dimaksud adalah seperti mulut, telinga, dan hidung.

Lubang-lubang yang dikenal dengan istilah jauf tersebut memiliki batasan awal. Apabila ada benda yang melewatinya, maka puasa menjadi batal. Selama belum melewati batasan tersebut, puasa dihukumi tetap sah dan tidak batal.

Dikaitkan dengan perbuatan mengecap dan mencicipi masakan, batasan awal pada mulut adalah tenggorokan. Jika ada benda yang melewati tenggorokan, maka puasa bisa batal. Sementara, puasa tidak batal bila benda masih berada di mulut dan tidak ada sedikit pun yang sampai tenggorokan.

Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan lainnya dari Beni Jo

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Beni Jo
Penulis: Beni Jo
Editor: Fitra Firdaus