Menuju konten utama

Menanti Standar Pelayanan Minimum Umrah Setelah Kasus First Travel

Persaingan harga umrah murah di pasar punya peluang besar merugikan konsumen seperti yang terjadi pada kasus First Travel.

Menanti Standar Pelayanan Minimum Umrah Setelah Kasus First Travel
Warga antre untuk mengurus pengembalian dana atau "refund" terkait permasalahan umroh promo di Kantor First Travel, Jakarta Selatan, Rabu (26/7). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Sebelum kasus penipuan jemaah First Travel heboh tahun ini, Muhammad Syarkawi Rauf masih ingat kalau pernah membahas pola bisnis perusahaan travel itu empat tahun lalu. Di Bandung, bersama asosiasi-asosiasi penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) lainnya, Syarkawi yang merupakan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) waktu itu sudah curiga dengan gelagat buruk dari tarif murah yang ditawarkan First Travel.

Umumnya, setelah dihitung-hitung, sebuah PPIU harus menentukan tarif Rp20 juta untuk satu kali keberangkatan umrah. Sedangkan perusahaan milik pasangan Andika Surachman Siregar dan Anniesa Hasibuan ini bisa menjual paket seharga Rp 14,3 hingga 14,5 juta. Bahkan pernah hanya dengan harga Rp13,5 juta pada tahun 2013. Kemenag memang sempat membuat kesepakatan dengan penyelenggara umrah soal standar biaya minimum berangkat umrah sebesar 1.700 dolar AS.

Baca juga: Cara First Travel Menipu Jemaah Umrah

Namun, di lapangan kesepakatan tarif itu diabaikan. Harga-harga berangkat umrah berharga miring tentu saja menarik perhatian calon jemaah. Ratusan hingga ribuan orang kemudian mendaftar ke First Travel untuk minta diberangkatkan umrah. Meski disuruh tunggu bertahun-tahun, mayoritas jemaah masih tetap setia menanti.

Sistem antrean yang dipakai First Travel memang sering dipakai PPIU lainnya, dengan alasan bahwa debit keberangkatan dengan destinasi Tanah Suci sangat tinggi. Selain dari Indonesia, para jemaah datang dari seluruh penjuru dunia. Logika ini akhirnya yang tertanam di para konsumen hingga bisa bersabar menanti jadwal keberangkatan sambil mencicil biaya atau bahkan membayarkannya sekaligus pada PPIU.

Belajar dari kasus itu, KPPU mengundang sejumlah asosiasi PPIU sebagai pelaku industri, dan Kementerian Agama mewakili regulator. Syarkawi menawarkan soal aturan tentang biaya minimum paket umrah. Tujuannya agar ada persaingan usaha yang sehat dan melindungi konsumen dari potensi penipuan.

Baca juga: Risiko Paket Umrah Murah

Selain itu, para konsumen punya patokan jelas sebagai referensi dalam memilih paket umrah yang ditawarkan agen penyelenggara. Usulan itu juga berkaca pada industri ibadah haji yang punya aturan tentang biaya minimum. Dalam UU No 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji memang diatur soal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Besaran BPIH ditetapkan oleh presiden atas usul menteri setelah mendapat persetujuan DPR, sedangkan untuk umrah tak ada ketentuan serupa, termasuk standar minimum.

Namun Asrul Azis, Ketua Kesatuan Tour Travel Haji Umrah Republik Indonesia (Kesthuri) punya pandangan lain. “Mengenai harga-harga minimum, pertama saya ingin mengatakan bahwa di lingkungan kami penyelenggara umrah dan haji, penetapan harga minimum itu bukan hal yang baik,” kata Asrul di Kantor KPPU di Jakarta.

Menurutnya, aturan penetapan harga minimum di kalangan PPIU dan penyelenggara ibadah haji khusus punya faktor-faktor berbeda, sehingga tak bisa jadi cerminan. Dalam ibadah haji, konsumen dan agen penyelenggara bisa melihat penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan pemerintah sebagai indikator standar. Di Indonesia, ibadah haji memang bisa dilaksanakan lewat dua jalur: pertama jalur reguler yang diselenggarakan pemerintah, dan kedua jalur haji khusus yang dilaksanakan pihak swasta, tempat masyarakat yang ingin menjalankan haji dengan fasilitas khusus.

Infografik peziarah ibadah haji

“Karena ada aturan yang jelas, ada ukuran bagaimana menempatkan standarnya. Ada aturan-aturannya, misalnya haji khusus minimal 21 hari, haji khusus tidak boleh empat orang satu kamar—sehingga kita mudah menyelenggarakannya,” kata Asrul.

Sementara itu, untuk standar penyelenggaraan umrah tidak ada. Dalam UU No 13 tahun 2008, memang ada bab khusus yang membahas soal penyelenggaraan ibadah umrah, tapi dibahas detail pada aturan menteri dan pemerintah. Kini sudah ada Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah.

“Bagaimana menetapkan standar?” tanya Asrul.

“Umrah yang standar itu berapa lama? Mau 9 hari? Empat belas hari? Tiga belas hari? Kalau saya bikin umrah 3 hari apa tidak bisa? Umrah itu kalau kita lihat sebagai ibadah, masuk pagi hari—pulang sorenya udah masuk itu hitungan umrah.”

Asrul juga mencontohkan penerapan aturan biaya minimal di industri penerbangan yang dilakukan Dinas Perhubungan tahun 1990-an. “Yang kita lihat sekarang, dengan sistem itu, maskapai berlomba-lomba mencari strategi menjual tiket paling murah. Akhirnya dia membuat sistem penjualan yang berbeda. (Misalnya) kalau beli (tiket) tiga bulan akan datang harganya lebih murah, ketimbang beli 1 bulan sebelum terbang. Sekarang persoalannya, apakah sistem ini bisa diterapkan di industri umrah?” tegas Asrul.

“Saya mengatakan tidak akan ada yang bisa menjamin, kalau melihat secara teknis.”

Baca juga: Kasus First Travel Memunculkan Ide Badan Pengawas Umrah

Menurut Asrul, sebuah PPIU tak bisa menjamin konsumennya benar-benar berangkat dua atau tiga tahun berikutnya, meski dia sudah membayar biaya keberangkatan. Seperti yang dilakukan maskapai penerbangan pada konsumennya. “Bedanya kalau penerbangan, ketika Bapak membayarkan hari ini untuk penerbangan enam bulan ke depan, tiket sudah keluar. Kalau (penyelenggara) umrah menetapkan satu tahun kemudian berangkat, ada yang saya (sebagai konsumen) pegang?”

Berdasarkan pengalamannya sebagai penyelenggara, menurut Asrul, ada banyak faktor yang membuat keberangkatan umrah tidak pasti terbang dengan maskapai. “Penerbangan tidak statis harganya, dua tahun kemudian bisa berubah. Hotel juga berubah. Visa belum tentu dapat,” tambahnya.

Menurutnya kajian untuk menentukan harga minimal paket umrah perlu lebih mendalam ketimbang ukuran biaya minimum haji. “Saya sendiri belum bisa mengatakan menerima atau menolak penetapan biaya minimum itu,” ungkapnya. “Penetapan biaya itu merupakan keniscayaan yang tidak bisa digunakan. Lebih baik menyiapkan standar pelayanan dalam rangka mengamankan posisi masyarakat sebagai konsumen.”

Posisi KPPU, melalui Syarkawi setuju kalau Indonesia juga harus merapikan standar pelayanan ibadah umrah, sebagaimana yang dimiliki ibadah haji. Namun, menurutnya, kemungkinan untuk bikin biaya minimum atau biaya referensi bagi masyarakat juga masih bisa dilakukan setelah standar pelayanan lebih dulu dirapikan.

Sejauh ini, standar pelayanan minimum yang diwajibkan pada PPIU masih diatur singkat dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 18 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah.

PPIU diwajibkan membawa jemaah menginap di hotel minimal bintang tiga, menggunakan transportasi berlisensi, harus menggunakan 1 maskapai dengan transit minimal 1 kali, dan beberapa aturan dasar lainnya. Namun, KPPU dan asosiasi menilai aturan tersebut masih belum cukup dan masih memberi celah untuk perusahaan penyelenggara nakal, seperti First Travel, untuk bermain-main. Terutama di aturan mengenai seleksi lolos menjadi PPIU dan pengawasan penyelenggaraan ibadah umrah.

Arfi Hattim, Kasubdit Pembinaan Umrah Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) dari Kementerian Agama mengaku sudah mempersiapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) ibadah umrah sejak dua tahun lalu. Ia sudah menyebarkannya kepada asosiasi agar bisa sama-sama mengkaji aturan tersebut. Arfi mengatakan aturan SPM itu adalah pengembangan dari SPM yang ada di Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2015.

Hal-hal baru yang akan diatur dalam regulasi itu salah satunya adalah mekanisme pendaftaran dan jadwal keberangkatan umrah. “Kami akan mengatur batas waktu pendaftaran dan keberangkatan. Selama ini kan belum ada aturannya. Ada yang daftar sekarang, dan baru berangkat dua tahun yang akan datang. Itu kan tidak benar,” kata Arfi. “Yang jelas enggak lebih dari setahun.”

Pihaknya juga akan mengatur ihwal lain seperti asuransi yang dipakai, jarak hotel dengan Masjidil Haram, jumlah petugas kesehatan yang mendampingi, dan hal teknis lainnya. “Kan standar pelayanan jadi harus detail.”

Arfi juga menilai harga minimum atau harga referensi juga masih dibutuhkan sebagai acuan regulator untuk melakukan audit. “Jadi kalau harga yang mereka jual murah sekali, kan regulator bisa pergi menginvestigasi: mengapa Anda menjual di bawah harga referensi?” tambahnya.

Aturan itu nantinya juga akan mempertegas posisi pengawasan PPIU yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Agama. Sehingga turut mengatur biaya dan mekanisme pengawasan. Namun, ia sendiri belum dapat memastikan kapan aturan ini akan disahkan. “Paling lambat tahun ini,” tambahnya.

Arfi mengingatkan bahwa SPM ini dibikin semata-mata demi perlindungan konsumen, agar ‘Kasus First Travel’ lainnya tidak terjadi lagi.

Kasus First Travel telah memunculkan berbagai wacana perbaikan "bolong-bolong" penyelenggaraan umrah, mulai gagasan soal badan penyelenggara umrah sebagai badan pengawas, hingga soal ketentuan standar minimum umrah.

Baca juga artikel terkait FIRST TRAVEL atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra