Menuju konten utama

Kasus First Travel Memunculkan Ide Badan Pengawas Umrah

Kasus First Travel memunculkan beberapa usulan untuk membentuk badan pengawasan khusus umrah hingga satgas khusus pengawasan umrah.

Kasus First Travel Memunculkan Ide Badan Pengawas Umrah
Direktur Pembinaan Umrah dan Haji Khusus Kementerian Agama Muhadjirin Yanis (kiri) bersama Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Haji Umrah dan Inbound Indonesia (Asphurindo) Syam Resfiady (kanan) melepas jamaah umrah usai meresmikan fasilitas Umrah Lounge di Bandara Hotel, Tangerang, Banten, Senin (10/4). ANTARA FOTO/Fajrin Raharjo/Spt/17

tirto.id - Kasus First Travel telah membuka sebagian tabir persoalan serius sedang terjadi dalam penyelenggaraan umrah di Indonesia. First Travel telah melakukan pelanggaran soal penghimpunan dana masyarakat oleh pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Puncaknya, pemerintah melalui kementerian agama (kemenag) mengeluarkan surat pencabutan izin First Travel sebagai salah satu perusahaan penyelenggara umrah.

Ketua Rabithah Haji Indonesia Ade Marfudin menilai langkah pemerintah mencabut izin First Travel sudah tepat. Menurut Ade, pihak First Travel harus bertanggung jawab sebagai konsekuensi telah menghimpun dana umat.

"First travel harus menjamin keberangkatan jemaah lewat mana pun," seru Ade dalam sebuah diskusi di daerah Senayan, Jakarta, Minggu (6/8/2017).

Kegiatan umrah merupakan sumber pundi-pundi uang bagi kegiatan bisnis jasa penyelenggra. Jumlah jemaah umrah mencapai 850.000 orang sampai 1,2 juta orang per tahun di Indonesia. Kebutuhan umrah memang tidak diakomodasi oleh pemerintah, termasuk pengawasan yang masih lemah. Penyelenggara umrah umumnya adalah pihak swasta

Ade menerangkan, kepengurusan jemaah yang berangkat umrah dilakukan oleh perusahaan travel. Perusahaan travel mengurus segala akomodasi hingga keberangkatan termasuk biaya. Kementerian Agama dan Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) memang sudah menetapkan biaya ideal untuk umrah minimal US$ 1.700. Persoalannya, di lapangan banyak penyimpangan termasuk munculnya penyelenggara umrah dengan biaya sangat murah. Kasus First Travel hanya puncak gunung es yang perlu pengawasan.

"Justru umrah ini luput dari pemantauan komisi pengawas. Yang ada justru komisi pengawas haji. Umrah nggak ada," kata Ade.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, bisnis di bidang travel, terutama penyelenggara umrah memang menggiurkan. Ia menilai permasalahan First Travel bukan hal baru dalam masalah umrah. Ia menggolongkan, kegiatan First Travel sebagai investasi bodong. Menurut Bhima permasalahan kasus First Travel akibat minimnya kewenangan dalam penyelenggaraan umrah.

Menurut Bhima pemerintah terlambat dalam mencegah masalah First Travel sehingga masyarakat menjadi korban. Padahal tindakan First Travel bisa dianggap sebagai penipuan sehingga kepolisian seharusnya bisa menjerat secara hukum. Ia menggarisbawahi peran pencegahan seharusnya tidak melibatkan kepolisian dan kementerian agama. OJK perlu terlibat karena ada permasalahan uang yang masuk dan dikelola oleh perusahaan travel umrah.

Anggota DPR Komisi VIII yang membidangi masalah keagamaan, Khatibul Umam Wiranu tidak memungkiri soal minimnya pengawasan dalam penyelenggaraan umrah. Politikus Partai Demokrat ini mengatakan Komisi VIII sudah lama menyoroti masalah penyelenggaraan umrah. Ia menyampaikan pihak Kementerian Agama mengklaim tidak bisa mengawasi umrah secara serius akibat minim tenaga pengawas.

"Problemnya memang kementerian agama belum punya orang. Yang bertugas membidangi masalah umrah hanya 3 orang di kementerian agama," kata Umam di acara yang sama.

Umam mengatakan, pihak DPR menilai pengawasan penyelenggaraan umrah terlalu lemah apabila bergantung dengan sumber daya manusia yang terbatas. "Ya kan memprihatinkan kalau cuma 3 orang," tutur Umam.

Komisi VIII mengusulkan adanya pembentukan direktorat khusus umrah di kementerian agama. Ini karena banyaknya penyelenggara umrah dari pribadi maupun perusahaan travel di Indonesia. Umam menilai, regulasi yang ada saat ini masih bisa mengakomodir perlindungan umrah. Pemerintah cukup mengeluarkan Peraturan Menteri Agama untuk mengatur masalah travel penyelenggara haji.

"Kalau memang perlu UU konsultasikan ke DPR untuk dibuat," katanya.

Sementara itu, tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi menilai, umrah sebagai salah satu bisnis yang perlu diperhatikan pemerintah. Kasus First Travel menjadi indikasi bahwa penghimpunan dana umrah malah bertujuan untuk mencari keuntungan. Oknum travel menggunakan promo murah dan menghimpuna dana, kemudian menggunakan dana yang dihimpun untuk memberangkatkan orang lain.

"Karena uang yang digunakan itu uang yang dibayarkan digunakan dulu sebagai modal bagi mereka yang berangkat duluan. Maka memang ini perlu diatur juga oleh pemerintah soal umrah," kata Zuhairi.

Menurut Zuhairi, pemerintah perlu merevisi UU Nomor 13 tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 34 tahun 2009 tentang penyelenggaraan ibadah haji. Sepakat dengan Zuhairi, Ade Marfudin dari Rabithah Haji Indonesia mengusulkan agar pemerintah merevisi peran Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI).

Dalam undang-undang tersebut, peran dari KPHI memang hanya berfokus dalam mengawasi penyelenggaraan haji. Pasal 12 ayat 3 dan ayat 4 menyatakan bahwa KPHI hanya bertugas memantau dan pengawasan penyelenggaraan ibadah haji. Peraturan tersebut tidak merinci bahwa KPHI juga mengawasi masalah umrah.

Di sisi lain, masalah umrah memang diatur dalam pasal 43-46 UU Nomor 34 tahun 2009, yang mengakomodir perjalanan ibadah harus melalui penyelenggara ibadah, syarat umrah, ketentuan penyelenggara umrah, berikut juga sanksinya. Selain itu, Kementerian Agama mengeluarkan Permenag Nomor 18 tahun 2015 tentang penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. Dalam aturan tersebut hanya mengatur teknis penyelenggaraan. Pengawasan hanya dinyatakan dipantau oleh dirjen yang dilihat dari indikator pelayanan.

Sementara itu, Bhima Yudhistira dari Indef menilai perlu ada satgas khusus untuk mencegah kasus First Travel terulang di masa depan. Alasannya setiap instansi seperti OJK dan Kemenag mempunyai tugas berbeda. Ia mencontohkan, Kemenag mengeluarkan izin penyelenggaraan umrah, tetapi tidak bisa menangani adanya unsur pengumpulan dana masyarakat oleh travel penyelenggara umrah karena kewenangan pengawasan ada di tangan OJK.

Sehingga perlu ada koordinasi intens antara OJK, Kemenag, dan Polri untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran hukum sehingga kasus First Travel tidak terulang.

"Sekali lagi, izinnya berbeda, penanganannya berbeda. Nggak bisa. Ini harus diselesaikan dengan satu satgas khusus untuk menangani umrah yang abal-abal," jelas Bhima.

Baca juga artikel terkait FIRST TRAVEL atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Current issue
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Suhendra