tirto.id - Pengadilan Negeri (PN) Depok batal membacakan putusan gugatan perdata yang dilayangkan korban biro perjalanan umrah First Travel, yang seharusnya dilakukan Senin (25/11/2019) lalu. Humas PN Depok Nanang Herjunanto menjelaskan kepada reporter Tirto kalau "majelis hakim belum selesai bermusyawarah."
Nanang lantas mengatakan pembacaan putusan dilakukan "Senin, 2 Desember 2019." Tak ada alasan spesifik mengapa musyawarah belum rampung, tambah Nanang.
Zuherial, salah satu penggugat, kecewa dengan keputusan ini. Dia juga mengaku sempat marah di ruang sidang.
Hal serupa dirasakan korban lain, katanya. "Jemaah tidak terima sidangnya ditunda. Sudah beberapa kali ada yang pingsan," Zuherial mengatakan kepada reporter Tirto.
"Masak dua minggu ditunda kemarin masih belum kelar?"
Zuherial, bersama Anny Suhartaty, Ira Faizah, Devi Kusrini, dan Ario Tedjo, menggugat First Travel ke PN Depok dengan nomor perkara 52/Pdt.G/2019/PN.DPK pada 4 Maret lalu. Mereka menggugat bos FT Andika Surrachman dengan turut tergugat Kepala Kejaksaan Agung cq Kepala Kejaksaan Negeri Depok.
Mereka meminta pengadilan memvonis tergugat telah melawan hukum dan membayar ganti rugi Rp49 miliar.
Tidak semua korban First Travel menggugat. Lima orang yang tadi disebut hanya mewakili 3.200 orang yang tergabung dalam Persatuan Agen dan Jamaah Korban (Pajak) First Travel, sementara jumlah seluruh korban mencapai 63 ribu.
Tidak Berperspektif Korban
Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Mappi FHUI) Dio Azhar mengatakan alasan "musyawarah belum selesai" tidak bisa diterima. Menurutnya dua pekan sudah lebih dari cukup untuk menyimpulkan perkara.
"Publik perlu tahu, apalagi ini kasus yang menyita perhatian dan eksekusi kejaksaan juga menunggu putusan tersebut," Kata Dio kepada reporter Tirto, Senin, (25/11/2019).
Dio mengingatkan kalau dalam buku dua tentang kehakiman, putusan perdata wajib diputus dan diminutasi paling lambat enam bulan setelah batal mediasi. Jika lebih dari itu, ketua majelis harus melapor ke ketua pengadilan negeri, ketua pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
"Kalau alasannya enggak jelas ya bisa kena kode etik profesionalitas, tapi balik lagi di kasus ini: dorong alasan jelas dari hakim," Dio menegaskan.
Sementara Andreas Marbun, peneliti dari Mappi FHUI, berkomentar lebih pedas. Ia memvonis penundaan ini sebagai bentuk kekacauan sistem peradilan dan bukti pengadilan "tidak berperspektif korban."
"Korban cuma dilibatkan jadi saksi demi kepentingan pembuktian salah-tidaknya terdakwa, tapi kerugian tidak dipedulikan oleh sistem peradilan," kata Marbun kepada reporter Tirto
"Sistem peradilan pidana kita belum bertujuan untuk memberikan pemulihan pada korban dan hanya berfokus pada menghukum penjahat," tambahnya.
Pendapat Lain
Jika Dio dan Andreas punya pandangan negatif, lain halnya dengan ahli hukum perdata dari Universitas Airlangga Faizal Kurniawan. Ia justru menduga penundaan putusan ini bukti kalau hakim tengah mempertimbangkan apa yang terjadi di ranah pidana.
Mahkamah Agung (MA) menyatakan putusan pidana Pengadilan Negeri Depok yang memvonis tiga bos First Travel--Andika Surrachman, Aniessa Hasibuan dan Kiki Hasibuan--bersalah sudah benar. Selain itu diputuskan pula aset perusahaan First Travel dilelang dan hasilnya disetorkan kepada negara.
Keputusan yang disebut terakhir lantas dipermasalahkan korban karena mereka merasa yang paling berhak memiliki aset First Travel sebagai bentuk ganti rugi, bukan negara.
Kepada reporter Tirto, Faizal mengatakan mungkin saja hakim tengah memikirkan "satu terobosan hukum" yang memungkinkan para korban mendapatkan kembali hak mereka.
Menurutnya penundaan putusan wajar dalam konteks tersebut. Hakim setidaknya harus memikirkan "apakah masih memungkinkan adanya ganti rugi" dan apakah terobosan yang dimaksud--lagi-lagi jika memang benar itu alasan penundaan--"dimungkinkan dalam kaidah-kaidah hukum yang ada."
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino