tirto.id - Satu kecamatan di daerah Bekasi, Jawa Barat bernama Bantar Gebang punya satu gunung yang sangat terkenal. Gunung itu jauh dari kata keindahan alam, tapi setiap hari banyak orang berkunjung ke sana, sebagian besar adalah pemulung. Gunung atau tepatnya tumpukan yang menggunung itu adalah sampah dari berbagai penjuru ibu kota yang dikirimkan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang.
Setiap harinya, pekerja di Bantar Gebang harus melewati gunungan sampah yang menumpuk. Meski tiap hari sampah tersebut didaur ulang, tapi jumlahnya tidak terlihat berkurang. Dessy Isya, staf dari Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) Bantar Gebang mau tak mau akhirnya menormalisasi pemandangan tersebut.
“Rutinitas kami memang akhirnya harus melewati gunung sampah itu,” kata Dessy kepada Tirto, Kamis (22/5/2023).
Data World Population Review pada 2021 menunjukkan, Indonesia sebagai negara kelima terbanyak penyumbang sampah plastik. Indonesia mencatatkan telah membuang 56.333 ton sampah plastik ke laut.
Jika dirata-rata, 30,78 juta ton sampah dihasilkan warga Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah itu, pada 2021 saja ada 10,94 juta ton atau sekitar 35,44% dari total sampah yang tidak terkelola.
Bantar Gebang pun punya masalah mengolah sampah yang setiap harinya masuk sekitar 7.200 ton dari Jakarta. Pengolahan sampah daur ulang di Bantar Gebang hanya mampu memproses sekitar 100 ton setiap harinya. Angka itu masih jauh dari optimal dan tak mengurangi gunungan sampah yang ada di Bantar Gebang.
Pemerintah sudah melengkapi Bantar Gebang dengan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang punya kapasitas menghasilkan listrik sebesar 30 megawatt. Jumlah sampah yang dibakar untuk jadi energi listrik tak bisa dianggap optimal dan hanya mengurangi tumpukan sampah sebanyak 100 ton tiap harinya.
“Belum sebanding (dengan sampah yang masuk) karena biaya juga besar untuk membangun sistem pengolahan sampah ini,” kata Dessy lagi.
Listrik yang dihasilkan pun akhirnya dipakai untuk kebutuhan PLTSa sendiri. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menggunakan PLTSa itu juga mengakui bahwa pembangkit listrik itu belum optimal.
Indonesia punya proyek untuk menyelesaikan 12 PLTSa sepanjang 2019-2022 dengan kapasitas pengolahan sampah 1.600 ton per harinya. Namun sampai sekarang belum semuanya selesai, termasuk salah satunya PLTSa yang rencananya akan dibangun di Cipeucang, Tangerang Selatan.
Startup Sampah Jadi Solusi?
Salah satu negara yang rendah emisi karbon, Denmark, punya startup pengelolaan sampah bernama Amager Bakke. Pengelolaan sampah ini memang bukan yang terbesar, tapi perusahaan bisa memanfaatkan sampah yang tidak bisa didaur ulang dari seluruh kota Kopenhagen untuk menghasilkan energi.
Sune Martin Scheibye yang merupakan Head of Press Relations dari divisi Amager Resource Center (ARC) menyampaikan, setiap tahunnya perusahaan ini membakar lebih dari 600 ribu ton sampah.
Startup ini dilengkapi dengan beberapa tempat pembakaran besar yang memungkinkan mereka menghasilkan energi listrik yang cukup untuk menyalakan listrik 90 ribu rumah di kota Kopenhagen. Masyarakat akhirnya memilih untuk membeli listrik dari Amager karena cenderung lebih murah dibanding listrik dari negara.
“Masalah kami sekarang mungkin bukan sampah, tapi carbon capture,” kata Sune ketika ditemui di pabrik ARC pada Senin (12/6/2023).
Meski dikatakan sebagai startup, sebenarnya target perusahaan sekarang tidaklah mengejar keuntungan atau profit. Perusahaan hanya menggunakan pengolahan sampah untuk agenda energi bersih, sedangkan keuntungan mereka justru biasanya didapat dari bisnis sampingan yang menyertainya –misalnya ada tempat makan yang dibuka di sekitaran area pabrik untuk komersil.
“Kami memang hanya ingin jadi balance saja,” ungkapnya. “Jadi kami tidak mencari untung, melainkan fokus pada keberlanjutan.”
Jika memang nantinya seluruh rumah tangga di Denmark tidak menghasilkan sampah yang harus dibakar untuk dijadikan energi, Sune mengaku PLTSa ini bisa saja ditutup. Yang penting, misi ARC adalah agar tidak ada pencemaran lingkungan di kota Kopenhagen.
Menyoal profit ini menjadi penting karena mau tak mau, startup pengelola sampah harus bisa mencari investor untuk bisa bertahan dan menyelesaikan masalah lingkungan di Indonesia.
Di Amerika Serikat, perusahaan pengelola sampah Waste Management awalnya berhasil meningkatkan nilai penjualannya dari 2017 senilai US$14,49 miliar menjadi 17,93 miliar dolar AS pada 2021. Namun hasil itu tidak serta-merta selalu baik.
Pada 2015 misalnya, Waste Management pernah mencatat kerugian pada kuartal pertama 2015 sebesar 16 juta dolar AS pada divisi daur ulangnya. Masih di tahun yang sama, Waste Management harus menutup 1 dari 10 fasilitas daur ulang yang perusahaan miliki.
Beruntung, Waste Management bisa bertahan karena pengelolaan sampah juga menjadi bisnis jangka panjang. Namun, tidak semuanya bernasib baik seperti Waste Management. CEO TerraCycle, Tom Szaky, berpendapat ekonomi dari pengelolaan sampah tidaklah bagus. Banyak sampah yang sulit untuk didaur ulang dan mesti membutuhkan biaya mahal seperti puntung rokok, popok anak, ataupun sikat gigi.
“Yang sulit adalah membuatnya menjadi menguntungkan, bukan hanya karena itu baik untuk lingkungan,” katanya dilansir CNBC.
Juru bicara startup Waste4Change, Stephanus Kenny Bara mengatakan, bahwa sejak 2014, perusahaan memang melihat minimnya fasilitas pengelolaan sampah di Indonesia. Hal ini membuat bisnis daur ulang sampah di Indonesia terlihat menjanjikan. Namun, sekali lagi, ketika ditanya soal keberhasilan perusahaan mendulang keuntungan, Waste4Change menolak untuk memberikan jawaban lengkap.
“Rahasia,” tulisnya singkat.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz