tirto.id - Miersa Aqni Kurnia seorang penggemar berat serial anime Naruto. Mahasiswa S2 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM ini mengaku sudah mengikuti anime karya Masashi Kishimoto. Setidaknya saat duduk di bangku SMA pada 2004, Miersa sudah akrab dengan sosok Naruto. Bahkan ia sudah membaca komiknya sejak edisi pertama.
Pria yang biasa dipanggil Ersa ini mengaku tertarik membaca Naruto setelah melihat teman sekelasnya yang juga hobi. Ia sempat membatin, karena sosok Naruto tampilannya mirip dengan komik favoritnya yang lain, yaitu Dragon Ball.
“Kok gambarnya persis Dragon Ball? Naruto bajunya mirip Son Goku. Sasuke kok warnanya biru-hitam kayak Bezita?,” ujar Ersa kepada Tirto.id. “Plot ceritanya juga bagus-bagus, dari soal konfigurasi negara sampai intelijen, itu ada semua di Naruto,” imbuhnya.
Lantas, apa reaksinya saat mendengar bahwa komik favoritnya itu akan diadaptasi menjadi film oleh Lionsgate, Hollywood?
“Malah ketar-ketir nih aku. Hahaha,” bebernya. “Takutnya nanti Naruto bakal jadi adaptasi komik terburuk setelah Dragon Ball Evolution,” lanjut Ersa. Dragon Ball Evolution adalah versi“live-action” dari komik terkenal Dragon Ball yang diproduksi pada 2009 lalu.
Ersa berpendapat bahwa sineas di Holywood punya kecenderungan untuk seenaknya menerjemahkan komik ke dalam cerita film. Kecenderungan itu pun tidak hanya terjadi sekali saja.
“Belum lagi ada kecenderungan whitewashing [mengganti pemeran dengan orang kulit putih]. Lagian tren adaptasi anime ke live action kan sekarang udah banyak banget. Nggak cuma di Hollywood, tapi juga di Jepang sendiri. Dan rata-rata hasilnya kurang oke,” ujarnya.
Ia yakin bahwa sekalipun adaptasi Naruto dikerjakan oleh sineas Jepang sekalipun, hasilnya belum tentu menyamai komiknya. Komik Naruto memang tergolong susah diadaptasi karena plotnya yang cukup rumit. Serial anime-nya pun, menurut Ersa, tidak mampu sepenuhnya mengadaptasi versi komik dengan baik.
“Jangankan filmnya nanti, versi serial anime-nya saja aku nggak begitu ngikuti. Terlalu banyak plot tambahan, dan kualitas grafisnya nggak konsisten,” pungkas Ersa.
Ersa bukan satu-satunya penggemar Naruto yang kecewa atas rencana adaptasi menjadi live action ini. Sejak Shonen Jump—perusahaan komik yang memegang lisensi Naruto—mengumumkan via Twitter bahwa Lionsgate akan memulai produksi Naruto versi live action mulai tahun depan, reaksi negatif serentak bermunculan dari para netizen.
Hampir sama dengan Ersa, sebagian besar netizen mengkhawatirkan bahwa Lionsgate akan mengganti pemeran Naruto dengan aktor dan aktris kulit putih.
“Apakah Hollywood akan mengganti nama Naruto menjadi Nathan di versi live actionnya?,”sindir akun @chootalks.
“Kuharap mereka akan memilih Tilda Swinton untuk memainkan semua tokoh di Naruto,” cuit seorang netizen bernama Sung Won Cho, sekaligus menyindir pemilihan Tilda Swinton—seorang aktris keturunan Skotlandia—untuk memainkan karakter Ancient One dalam film Doctor Strange (2016). Sebagai informasi, karakter Ancient One dalam versi komik keluaran Marvel digambarkan berasal dari Tibet.
Suara-suara negatif terhadap Naruto versi live action juga terdengar di forum-forum internet lain seperti Reddit dan NeoGAF. Rata-rata netizen menentang proyek adaptasi. Namun, kafilah Lionsgate tampaknya memilih berlalu dari gonggongan para netizen.
Seperti diumumkan oleh Shonen Jump pada 15 Desember 2016 lalu, proyek live action Naruto sudah memasuki tahapan praproduksi. Lionsgate bahkan sudah menunjuk nama Michael Gracey di kursi sutradara. Gracey akan dibantu oleh Avi Arad, seorang produser terkemuka di balik kesuksesan film-film Spiderman. Masashi Kishimoto selaku pencipta Naruto juga akan dilibatkan dalam proses produksinya.
Hasrat Lionsgate untuk memfilmkan Naruto memang masuk akal. Naruto adalah salah satu karakter dunia komik dengan popularitas tertinggi di dunia. Selain itu, Naruto terbukti telah sanggup menangguk banyak uang.
Berdasarkan catatan Statista, penjualan komik Naruto di seluruh dunia per 7 Oktober 2016 mencapai angka 220 juta unit. Jumlah ini membuat Naruto menempati peringkat keempat dalam daftar manga terlaris di dunia. Penjualan Naruto berada di bawah One Piece (380 juta unit), Golgo 13 (280 juta unit), dan Dragon Ball (230 juta unit).
Naruto juga menghasilkan banyak keuntungan dari produk-produk lain seperti film animasi dan video game. Berdasarkan data Motion Picture Producers Association of Japan, dari enam judul film animasi yang sudah dilepas ke pasaran per Desember 2015, Naruto berhasil menyabet pendapatan hingga mencapai 8,49 miliar Yen. Sementara itu, TV Tokyo mencatat bahwa video game Naruto “Ultimate Ninja Storm 4” berhasil terjual hingga 1,5 juta kopi dalam kurun waktu Februari sampai Juni 2016.
Dosa Asal Produk Adaptasi
Mengadaptasikan komik Jepang ke dalam bentuk film live action di luar film animasi memang sebuah perkara yang tidak mudah. Selayaknya produk-produk hasil adaptasi lainnya, live action seakan menyimpan satu dosa asal, yaitu dianggap tidak sebaik produk aslinya.
Produk-produk komik Jepang memang memiliki plot, karakter, semesta dan cerita yang sangat khas sehingga seringkali susah diterjemahkan ke dalam dunia manusia. Selain itu, aneka komik Jepang sangat terkait erat dengan budaya negara itu, padahal, tidak semua orang yang mengadaptasi produk Jepang memahami budayanya secara utuh.
Hal ini membuat proses adaptasi produk Jepang, khususnya yang dilakukan oleh pihak luar seperti Hollywood, praktis harus memperhitungkan dua hal, pertama orisinalitas budaya Jepang yang melingkupi produk sekaligus selera para calon kosumen di luar Jepang sebagai targetnya. Kedua, menyeimbangkan antara sisi kualitas dan komersialisasi produk itu.
Kontributor film Forbes, Ollie Barder, berpendapat bahwa orang-orang di Hollywood kurang menghargai produk asli yang mereka adaptasi. Alhasil, mereka kerapkali memodifikasi produk asli tersebut dengan apa yang menurut mereka akan laku, sehingga akhirnya melahirkan karya yang sangat “asing”. Ia menunjuk kegagalan adaptasi dalam Dragon Ball Evolution (2009) sebagai contohnya, yang menampilkan seorang kulit putih untuk memerankan Son Goku, salah satu karakter komik paling dicintai di seluruh dunia.
“Kecenderungan yang terjadi di Hollywood adalah mereka tidak sensitif terhadap budaya manga dan anime di Jepang. Mereka kurang menghargainya,” papar Michael Arias, seorang sutradara asal Amerika yang berkiprah dalam perfilman Jepang, kepada Hollywood Reporter.
Permasalahan budaya bukan satu-satunya tantangan yang harus dihadapi dalam adaptasi komik Jepang. Komik-komik Jepang seringkali dibuat dengan latar belakang dunia khayali yang penuh dengan fantasi, teknologi masa depan, kekuatan supernatural, dan karakter-karakter aneh nan unik. Menampilkan keseluruhan hal itu ke dalam layar lebar tentu saja menerbitkan tantangan tersendiri.
Khanisa Krisman, seorang penggemar anime dan manga Jepang lainnya, turut mengamini hal itu. Perempuan yang bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini berpendapat bahwa persoalan memindahkan semesta komik ke live action ini harus benar-benar diperhatikan.
“So, manga and anime characters came from imaginary realm, where they escape from the real world, nah kemudian pertanyaan ku, live action itu tugasnya buat apa? Membuat versi manusia dari imaginary realm itu, atau mengadopsi imaginary realm ke dunia manusia?,” paparnya kepada Tirto.id.
Anime, menurutnya, memiliki satu unsur yang sangat magis yaitu apa yang disebutnya sebagai “wajah komikal.” Unsur ini adalah salah satu faktor yang mampu mengikat para pembaca, tetapi juga membuatnya susah untuk diadaptasi ke bentuk lain.
“Misalkan salah satu karakter awalnya serius, terus tiba-tiba penggambarannya jadi imut. Di live action pasti susah menerjemahkannya. Seorang aktor harus benar-benar ekspresif. Dia harus punya ekspresi serius dan ekspresi komikal yang bagus. Karena buatku yang kusuka dari manga dan anime ada ekspresinya yang ajaib,” jelas Khanisa.
Lantas, sebagai seorang penggemar anime manga dan manga, syarat apa yang harus dipenuhi oleh sebuah live action menurut Khanisa?
“Mungkin kalo aku sih, karakternya harus mirip dari sisi visual. Soalnya, penonton anime atau pembaca manga biasanya sudah punya standar, oh, si ini harusnya kayak gini lo. Tantangannya ya memanusiakan karakternya, padahal, karakternya bukan manusia. Nah, susah kan?” ujar Khanisa.
Ketika ditanya apakah ia akan menonton live action Naruto jika filmnya sudah jadi, Khanisa mengaku akan menunggu trailernya terlebih dahulu. Jika menarik, ia mungkin akan menontonnya.
“Kalau dari trailernya aja udah bikin bergidik, aku juga males. Apalagi kalau pengucapannya salah-salah nanti. Misalnya Kakashi jadi Kakesyi, atau, Naruto jadi Naruwto. Hahaha,”selorohnya.
Kita tunggu saja apa hasil Naruto cita rasa Hollywood.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Suhendra