tirto.id - PT PLN (Persero), melalui subholding-nya, PLN Indonesia Power (PLN IP), resmi memulai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Proyek energi terbarukan ini memiliki kapasitas sebesar 92 megawatt peak (MWp) dan ditargetkan mulai beroperasi secara komersial pada November 2026.
PLTS Terapung Saguling diperkirakan mampu menghasilkan lebih dari 130 gigawatt hour (GWh) listrik setiap tahunnya. Kapasitas itu cukup untuk memenuhi kebutuhan energi sekitar 24.000 rumah tangga. Selain itu, pembangkit ini juga diharapkan dapat menekan emisi karbon hingga 104.000 ton CO₂ per tahun.
Kehadiran PLTS Terapung di Saguling juga diklaim sebagai langkah strategis dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Di sisi lain proyek ini memperkuat posisi Jawa Barat sebagai salah satu daerah pelopor pengembangan energi bersih di Indonesia.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyebut proyek ini sebagai salah satu tonggak penting dalam transformasi energi bersih di Indonesia. Menurutnya, keberadaan PLTS ini tidak hanya akan memperkuat ketahanan energi di wilayah Jawa Barat, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pengurangan emisi karbon secara nasional.
Senada, Direktur Utama PLN IP, Bernadus Sudarmanta, menyatakan bahwa PLTS Terapung Saguling merupakan bagian dari upaya strategis perusahaan dalam mewujudkan energi bersih dan memperkuat ketahanan energi daerah.
"Proyek ini bukan hanya simbol komitmen kami terhadap transisi energi bersih, tetapi juga bentuk nyata kontribusi PLN Indonesia Power dalam memperkuat ketahanan energi daerah dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat sekitar," ujarnya dikutip dari Antara, Jumat (3/10/2025).
Seperti dilaporkan oleh Reuters, Indonesia berencana menambahkan 42,6 gigawatt kapasitas energi terbarukan ke dalam jaringan listrik nasional hingga tahun 2034, yang mencakup hampir 61 persen dari total tambahan kapasitas listrik yang direncanakan. Dari jumlah tersebut, energi surya diperkirakan berkontribusi sebesar 17,1 GW.
Langkah Awal yang Patut Diapresiasi
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Saguling merupakan bagian dari upaya diversifikasi pembangkit listrik yang sudah lama dilakukan oleh PLN. Menurutnya, PLN memang telah mulai mengarahkan pengembangan ke sektor energi terbarukan, seperti tenaga angin, surya, dan laut.
Meski PLN telah mulai mengembangkan energi bersih, Fahmy menilai upaya tersebut masih belum optimal. Untuk mencapai target NZE 2060, menurutnya, seluruh pembangkit listrik PLN harus berasal dari sumber energi terbarukan. Dengan masih dominannya penggunaan batu bara, target tersebut dinilai masih jauh dari tercapai.
"Secara total, sekitar 56 persen pembangkit listrik kita masih menggunakan batu bara, karena dari sisi biaya memang masih yang paling murah. Sementara, untuk energi baru terbarukan itu biayanya masih sangat mahal,” ujarnya kepada Tirto, Senin (6/10/2025).

Meski demikian, Fahmy tetap mengapresiasi proyek PLTS Terapung Saguling sebagai bagian dari proses transisi yang memang harus dilakukan secara bertahap. Ia menyebut proyek ini sebagai langkah awal yang baik menuju target jangka panjang.
"Tetapi sebagai bagian dari usaha PLN tadi, meskipun hasilnya masih belum tinggi, saya kira hal yang baik. Sehingga pada saatnya tahun 2060, itu sudah benar-benar mencapai 100 persen,” sambungnya.
Ia juga mengaitkan proyek PLTS Saguling dengan visi energi dari Presiden Prabowo Subianto. Orang nomor satu Indonesia itu, menurut Fahmy, menekankan pentingnya kedaulatan energi—yaitu pemanfaatan sumber energi nasional yang bersih, melimpah, dan tidak tergantung pada energi fosil.
“Artinya yang ingin dicapai oleh Prabowo dalam kedaulatan energi itu bukan energi fosil, bukan energi batu bara, tapi energi bersih. Nah, kalau PLN melakukan itu, ya saya kira supported,” ujarnya.
Kemitraan PLN dengan Swasta Jadi Kunci
Namun Fahmy mengingatkan bahwa PLN tidak bisa berjalan sendiri. Keterbatasan dana menjadi kendala utama untuk memenuhi target 100 persen EBT pada 2060. Oleh karena itu, keterlibatan investor sangat diperlukan.
Menanggapi model bisnis proyek PLTS Saguling yang melibatkan ACWA Power dari Arab Saudi, Fahmy melihat kolaborasi ini sebagai bentuk kemitraan yang saling menguntungkan. Ia juga menyebut bahwa investor asing melihat sektor EBT di Indonesia cukup prospektif karena negara ini memiliki dua keunggulan utama: sumber daya alam yang melimpah dan pasar yang besar.
“Mereka melakukan kerja sama yang saling menguntungkan untuk menghasilkan energi baru terbarukan (EBT). Dan, bagi investor sesungguhnya, investasi di EBT Indonesia ini cukup prospektif. Karena kita punya resource yang sangat berlimpah. Kemudian kita punya pasar yang sangat besar. Sehingga apapun yang dihasilkan itu tadi, dia akan terbeli oleh PLN dan distribusikan konsumen,” ujarnya.
Meski demikian, Fahmy menyoroti sejumlah hambatan struktural yang masih menghambat percepatan adopsi PLTS skala besar. Di antaranya adalah keterbatasan teknologi dalam negeri serta ketergantungan pada pihak asing untuk sistem pembangkit.
“Memang kita punya resource yang sangat besar, tetapi kita tidak punya teknologi untuk mengolah menjadi pemakaian listrik dengan teknologi tertentu. Kemudian yang kedua, kita tidak punya kecukupan dana untuk membangun tadi,” ujarnya.
Pertimbangan Dampak Sosial Ekonomi
Direktur Sosio-Bioekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Fiorentina Refani menekankan, pentingnya mempertimbangkan secara menyeluruh struktur sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar Waduk Saguling sebelum dan selama pembangunan PLTS terapung dilakukan.
Ia menyarankan agar proyek ini tidak hanya dilihat dari potensi listrik dan nilai finansial, tetapi juga dari bagaimana masyarakat selama ini memanfaatkan waduk tersebut untuk berbagai keperluan.
“Entah itu pemanfaatan air untuk irigasi pertanian, nelayan tangkap, fungsi rekreatif, fungsi ekosistem, konservasi air, pengendalian banjir, dan lain-lain,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, seluruh bentuk pemanfaatan ini harus dicatat dan dinilai secara kuantitatif melalui pendekatan Cost Benefit Analysis (CBA). Tujuannya adalah untuk mengukur apakah proyek PLTS terapung benar-benar memberikan atau mempertahankan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat sekitar, dan bukan sekadar menciptakan keuntungan finansial bagi investor.
“Ini juga untuk memastikan bahwa pembangunan dan operasional PLTS terapung tidak menciptakan financial burden bagi masyarakat,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa pembangunan PLTS ini harus memastikan tidak ada beban finansial atau sosial tambahan yang ditanggung oleh masyarakat. Salah satu kekhawatiran yang disorot adalah potensi penggusuran ruang hidup.
“Meminimalisir forced community displacement. Jangan sampai operasionalnya nanti malah membatasi dan mencerabut masyarakat dari ruang hidupnya, misal nelayan tangkap yang tergusur jauh dari wilayah sekitar waduk,” ujarnya.
Selain itu, Fiorentina juga menyoroti pentingnya keberlanjutan operasional proyek dalam jangka panjang.
“Operational cost juga harus menghitung biaya transmisi, pemeliharaan struktur apung, dan degradasi material akibat kondisi lingkungan perairan dapat mengurangi efisiensi dan meningkatkan biaya per kWh dalam jangka menengah dan panjang,” ujarnya.
Terakhir, Fiorentina juga menyoroti perlunya reformasi dalam sektor kebijakan kelistrikan yang saat ini cenderung bersifat sentralistik dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Ia menegaskan bahwa penguatan peran komunitas sangat penting agar suara masyarakat lokal benar-benar didengar dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan proyek energi.
Menurutnya, selama ini, partisipasi publik dalam proses pemantauan dan pelaporan pelanggaran (grievance mechanism) masih sangat minim. Kekurangan ini berpotensi menjadi celah kebijakan yang dapat merugikan masyarakat setempat.
“Tanpa monitoring publik, skema ini akan menjadi loophole kebijakan yang berpotensi merugikan masyarakat. Harus ada suatu mekanisme kebijakan yang melindungi hak masyarakat dan komunitas ketika mereka menolak ekspansi proyek energi di wilayahnya,” pungkasnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































