tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia segera meluncurkan sebuah aplikasi digital, yang diklaim sebagai terobosan transparansi dalam pelaksanaan kegiatan reses. Melalui aplikasi ini, publik nantinya dapat memantau lokasi, agenda, dan aktivitas para wakil rakyat selama masa reses.
Inisiatif ini mencuat di tengah sorotan tajam masyarakat terkait isu kenaikan tunjangan reses yang kini mencapai Rp702 juta per anggota.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan bahwa aplikasi tersebut ditargetkan siap digunakan pada masa reses berikutnya. Ia menjelaskan bahwa masyarakat akan dapat mengakses informasi secara langsung, mulai dari nama anggota DPR, asal partai, titik-titik kunjungan, hingga kegiatan yang dijalankan.
"Mudah-mudahan dalam waktu masuk reses sidang nanti, kami sudah bikin aplikasi. Jadi, kalau mereka klik mau anggota DPR siapa, dari partai apa, kegiatan resesnya apa dan di mana saja, itu mereka wajib sejumlah titik yang didatangi, acaranya apa dia harus upload," ujar Dasco kepada awak media, Tirto kutip Minggu (12/10/2025).
Menurut Dasco, data yang dikumpulkan melalui aplikasi ini juga akan menjadi bahan evaluasi Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI (MKD). Namun, ia menegaskan bahwa aplikasi hanya akan memuat catatan kegiatan, bukan laporan keuangan seperti struk atau kuitansi pengeluaran.
"Kalau struk dan lain-lain itu kan keuangan yang bukan untuk di-publish karena masing-masing anggota [DPR] itu kan pengeluarannya berbeda. Di tiap dapil itu mereka ada tim dapil yang tidak digaji oleh APBN. Kalau kami tulis pengeluaran untuk orang ini, ke tim ini, kan nggak bagus juga," tutur Dasco.
Bantah Isu Kenaikan Dana Reses
Rencana peluncuran aplikasi pelaporan dana reses DPR tidak bisa dilepaskan dari kontroversi soal kenaikannya yang belakangan ramai diperbincangkan. Dasco menjelaskan bahwa penambahan alokasi dana reses telah dirancang sejak awal masa jabatan DPR periode 2024–2029.
Menurutnya, tambahan dana reses sebesar Rp302 juta telah disusun berdasarkan kalkulasi kebutuhan riil anggota dewan di dapil. Ia menyebut penambahan itu merupakan respons atas aspirasi dari para anggota DPR sendiri, terutama terkait peningkatan jumlah titik kunjungan dan penyesuaian indeks pembiayaan.

"Periode 2024-2029, [uang reses naik] karena ada penambahan indeks dan jumlah titik, itu jadi Rp702 juta. Sudah diusulkan dari Januari 2025, tapi karena baru disetujui bulan Mei 2025, maka jadi Januari sampai Mei itu masih pakai angka Rp400 juta. Disetujui Kementerian Keuangan kan," kata Dasco dalam keterangannya kepada awak media, dikutip Tirto, Minggu (12/10/2025).
Ia juga mengingatkan bahwa dana reses bukanlah tunjangan bulanan. Dalam satu tahun, anggota DPR hanya menjalani reses sekitar empat hingga lima kali, bergantung pada agenda sidang yang ada. Karena itu, nominal tunjangan tersebut sebaiknya tidak dipersepsikan sebagai gaji rutin.
Apa Itu Dana Reses dan Bagaimana Landasan Hukumnya?
Mekanisme reses merupakan salah satu kewajiban konstitusional anggota DPR yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Skema reses disebut sebagai kewajiban DPR untuk melakukan kunjungan kerja. Secara definisi masa reses merupakan masa anggota dewan bekerja di luar gedung DPR. Masa ini untuk menjumpai konstituen di daerah pemilihannya masing-masing.
Fungsi ini untuk menjalankan tugas anggota dewan menjaring dan menampung aspirasi dari daerah pilihannya. Anggota dewan juga menjalankan fungsi pengawasan dikenal dengan kunjungan kerja.
Kemudian dalam Pasal 239 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, mengatur pemberian dana reses bagi anggota DPR. Persisnya Ayat (8) pasal tersebut menyatakan; "[...] untuk melaksanakan kunjungan kerja, anggota DPR berhak memperoleh dukungan administrasi keuangan dan pendampingan yang ditentukan oleh anggota."
Berdasarkan Panduan Pengelolaan Reses Anggota DPR yang Transparan dan Akuntabel, anggota DPR bertanggung jawab untuk menggunakan dana reses sebanyak lima kali dalam satu tahun. Seperti yang dijelaskan di atas, hal ini dilakukan untuk memperkuat fungsi representasi, menyerap dan menerima pengaduan masalah di daerah pemilihan (dapil) untuk diperjuangkan pada saat sidang.
Sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas, dana reses harus tetap dipertanggungjawabkan meskipun selama ini menggunakan sistem lump sum, alias dibayarkan sekaligus untuk semua biaya.

Apakah Aplikasi Pelaporan Dana Reses DPR Bisa Jadi Solusi Akuntabilitas dan Transparansi?
Terlepas dari klaim transparansi yang diusung, sejumlah pengamat menilai bahwa aplikasi reses DPR berpotensi hanya menjadi alat kosmetik digital tanpa substansi nyata.
Peneliti dari Indonesia Parliamentary Center (IPC) Arif Adiputro menyebut, hingga kini belum terlihat adanya uji coba (pilot project) atas aplikasi tersebut.
“Seharusnya DPR optimalkan website/aplikasi yang sudah ada. Kalau bikin yang baru lagi jadi kelihatan hanya membuat proyek baru bukan untuk bertujuan menyelesaikan persoalan akuntabilitas reses,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (14/10/2025).
Menurutnya, tantangan utama bukan terletak pada aspek teknologi, melainkan pada budaya politik DPR yang masih tertutup dan defensif terhadap upaya transparansi. Sebagai contoh, ia menyoroti masih rendahnya kepatuhan anggota DPR dalam melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Aplikasi ini, kata Arif, memang memiliki potensi sebagai instrumen transparansi. Namun, tanpa penegakan aturan yang ketat, perubahan budaya politik internal, dan adanya mekanisme pengawasan independen; efektivitas aplikasi tersebut patut diragukan.
“Meski disebut ada sanksi via MKD, tata tertib DPR saat ini (Peraturan DPR No. 1/2020) tidak spesifik soal hukuman untuk pelaporan reses yang buruk. Tanpa sanksi tegas – misalnya, pemotongan dana reses – anggota tidak punya insentif kuat untuk patuh," tuturnya.
Senada, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia atau Formappi, Lucius Karus, meragukan transparansi reses anggota DPR melalui aplikasi.
"Kalaupun aplikasi sudah dibikin, tetapi anggota DPR tidak mau terbuka, tidak akuntabel, ya tetap saja aplikasi itu nanti akan jadi rumah hantu," kata Lucius dalam keterangan tertulis kepada Tirto, Minggu (12/10/2025).
Keraguan Lucius berdasar pada kenyataan laman situs DPR selama ini yang belum menjawab isu transparansi atas penggunaan uang rakyat dan kinerjanya. Aplikasi itu akhirnya hanya menjadi formalitas agar ada kesan ada upaya anggota dewan mau terbuka dan akuntabel.
"Setelah aplikasinya ada, mereka gagap sendiri nanti menggunakannya. Akhirnya aplikasi hanya pajangan saja," ujarnya.
Lucius mewanti-wanti DPR perlu melakukan reformasi, alih-alih reaktif atas isu transparansi dan akuntabilitas anggaran. Bukan cuma tunjangan reses yang perlu ditinjau ulang, tapi sederet fasilitas lain yang dinikmati wakil rakyat.

Bangun Sistem Pelaporan yang Terpusat dan Terstandar
Sebagai solusi, IPC mengusulkan bahwa sistem pelaporan kegiatan reses seharusnya dibangun di atas platform digital terpusat. Platform tersebut nantinya dapat diakses publik secara terbuka, seperti melalui situs web resmi DPR atau integrasi dengan aplikasi mobile yang sudah ada, misalnya DPR Now atau Cakrawala.
Platform ini idealnya tersedia 24 jam dan memungkinkan anggota DPR untuk mengunggah laporan kegiatan secara real-time atau setidaknya dalam jangka waktu maksimal 48 jam setelah kegiatan selesai.
“Laporan wajib mencakup informasi esensial: lokasi kegiatan, dengan validasi GPS untuk memastikan keakuratan; deskripsi aktivitas, misalnya serap aspirasi atau kunjungan kerja; jumlah peserta; aspirasi utama yang dikumpulkan; dan rincian anggaran yang digunakan, contoh: biaya transportasi, akomodasi, atau bantuan masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut, agar platform ini benar-benar mendukung pengawasan publik, Arif menyarankan agar antarmukanya dirancang ramah pengguna, serta dilengkapi fitur pencarian berdasarkan nama anggota DPR, daerah pemilihan (dapil), maupun fraksi politik. Ia juga mengusulkan agar masyarakat dapat memberikan umpan balik atau penilaian terhadap laporan yang diunggah.
“Data agregat, seperti total pengeluaran reses per fraksi atau tren aspirasi masyarakat, perlu dipublikasikan secara berkala dalam format visual – misalnya, peta interaktif atau grafik – untuk memudahkan pemahaman masyarakat awam,” ujarnya.
Kedua, IPC menekankan pentingnya perancangan sistem pelaporan yang realistis dan operasional di lapangan. Menurutnya, agar tidak membebani anggota DPR secara administratif, sistem pelaporan kegiatan reses perlu disusun secara sederhana namun tetap terstandarisasi.
“Integrasi dengan sistem e-budgeting Kementerian Keuangan juga penting untuk menyinkronkan data anggaran secara otomatis, mengurangi risiko kesalahan manual,” ujarnya.
Terkait pengawasan, Arif menilai, selain dilakukan internal, oleh MKD, sistem pelaporan kegiatan reses seharusnya dilengkapi dengan mekanisme verifikasi eksternal. Verifikasi bisa melibatkan lembaga independen, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau melalui kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil yang kredibel.
“MKD dapat menggunakan algoritma otomatis untuk mendeteksi anomali, seperti laporan tanpa kegiatan di dapil atau pengeluaran yang tidak wajar. Sanksi bertahap harus ditegakkan, [mulai dari] peringatan untuk keterlambatan pelaporan, pemotongan dana reses untuk pelanggaran berulang, hingga eskalasi ke proses etik untuk kasus serius,” ujarnya.
Keamanan dan Aksesibilitas Harus Jadi Prioritas
Tak lupa, Arif juga menekankan bahwa keamanan dan aksesibilitas harus menjadi prioritas utama dalam perancangan sistem pelaporan kegiatan reses. Ia menyatakan bahwa seluruh data yang dikumpulkan melalui platform harus dienkripsi untuk melindungi informasi sensitif, termasuk aspirasi masyarakat yang bersifat pribadi atau rahasia.
Fitur anonimitas perlu disediakan guna melindungi pelapor dari kalangan masyarakat yang rentan terhadap tekanan atau intimidasi politik.
“Platform juga harus kompatibel dengan perangkat mobile sederhana agar dapat diakses oleh konstituen di pedesaan dengan literasi digital terbatas. Untuk menjaga biaya rendah, sistem dapat memanfaatkan infrastruktur cloud existing, seperti yang dikelola oleh GovTech, dengan uji coba awal di beberapa dapil sebelum peluncuran nasional,” ujarnya.
Terakhir, keberhasilan sistem ini bergantung pada regulasi pendukung dan komitmen politik. Arif menyebut, DPR perlu mengamendemen Peraturan DPR No. 1/2020, untuk memperjelas kewajiban pelaporan dan sanksi.
Sehingga tantangan utamanya tetap terletak pada komitmen internal DPR untuk menjalankan sistem ini secara konsisten, serta mengatasi resistensi dari budaya politik yang masih tertutup.
“Edukasi publik melalui kampanye media sosial atau kerja sama dengan komunitas lokal juga krusial agar masyarakat aktif memantau laporan. Evaluasi tahunan berdasarkan masukan pengguna (anggota DPR dan publik) harus dilakukan untuk memperbaiki sistem secara berkelanjutan. Dengan pendekatan ini, sistem pelaporan reses dapat memenuhi tuntutan transparansi tanpa mengorbankan efisiensi operasional,” pungkasnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































