tirto.id - Ucapan terima kasih diungkapkan sebagai bentuk penghargaan atas perbuatan baik yang dilakukan orang lain untuk kita.
Nilai-nilai budaya, praktik pengasuhan, dan pendidikan, berperan dalam kebiasaan seseorang untuk membalas kebaikan dengan mengucapkan terima kasih. Di Amerika Serikat, anak biasa melukis sesuatu sebagai hadiah untuk orang tua - suatu bentuk rasa terima kasih yang sangat umum.
Namun, sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Royal Society Open Science menunjukkan kata terima kasih makin jarang diucapkan.
Dalam studi baru tentang penggunaan bahasa sehari-hari di seluruh dunia dan dalam suasana informal, peneliti mengamati bagaimana seseorang hampir selalu memberikan bantuan kepada orang lain dengan memenuhi permintaan akan suatu objek atau layanan.
Tetapi atas upaya yang sudah dilakukan tersebut, mereka yang telah memberikan bantuan jarang menerima ungkapan terima kasih. Studi menemukan hanya sekitar satu ucapan terima kasih dari 20 tindakan meminta batuan.
Meski temuan tersebut tampak seperti sebuah kemunduran kesopanan atau nilai tata krama, tapi ahli dalam penelitian ini punya pendapat lain. Minimnya ungkapan terima kasih menurut peneliti lebih berkaitan dengan tradisi linguistik.
Di beberapa tempat, kelompok yang memiliki hubungan erat akan dengan mudahnya membantu atau bekerja sama satu sama lain, tanpa perlu balasan ucapan terima kasih.
“Dalam interaksi informal sehari-hari, menanggapi perilaku kooperatif orang lain tanpa mengucapkan terima kasih secara eksplisit dan kemudian melanjutkan aktivitas orang tersebut adalah normal,” ungkap Nick Enfield, ahli bahasa di University of Sydney yang memimpin penelitian.
Sehingga menurutnya kita seharusnya tak mencampuradukkan rasa terima kasih dengan tindakan mengungkapkannya. Sebab di masyarakat, wajar untuk meminta bantuan dan membalas dengan kebaikan, namun bukan hanya dengan kata-kata.
Penggunaan terima kasih yang sering diucapkan, justru membuat ungkapan tersebut menjadi kurang berarti. "Terima kasih digunakan hampir dalam kehidupan sehari-hari. Kita mengatakannya sepanjang waktu kepada semua orang sehingga tidak terlalu reflektif. Kita mengatakannya hanya untuk bersikap sopan," ujar Elaine Hsieh, profesor dari Universitas Oklahoma.
Menurut Elaine, dalam bahasa Inggris ungkapan terima kasih yang digunakan sangat transaksional. Kesan umum saat orang mengucapkan terima kasih atau menunjukkan rasa terima kasih lebih seperti merasa berhutang pada yang memberikan kebaikan.
Padahal, tidak semua budaya menggunakan terima kasih seperti itu. Ungkapan terima kasih yang kita kenal selama ini lebih banyak digunakan dalam budaya barat.
Di beberapa budaya, terima kasih tidak diucapkan terlalu sering, karena terima kasih dicadangkan untuk beberapa momen paling menyentuh hati untuk menandakan pentingnya rasa terima kasih mereka.
Elaine melanjutkan, di India, misalnya, ungkapan terima kasih bukanlah sesuatu yang biasa diucapkan. Namun, meskipun Anda tidak mengucapkan terima kasih, ada rasa yang melekat bahwa rasa terima kasih dirasakan dan seringkali diungkapkan melalui perilaku nonverbal, daripada kata-kata terima kasih.
Namun di sisi lain rendahnya frekuensi ucapan terima kasih dipandang berbeda oleh Amit Kumar dan Nicholas Epley yang merupakan psikolog University of Chicago. Hal ini terkait dengan penelitian mereka mengenai alasan seseorang seringkali gagal mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang lain.
Serangkaian studi yang dipublikasikan di jurnal Psychological Science memaparkan bahwa manusia memiliki bias egosentris yang membuat sulit memprediksi secara akurat bagaimana perasaan orang lain atau bahkan diri sendiri dalam situasi tertentu.
Artinya, seseorang cenderung berasumsi bahwa perasaan yang mereka rasakan saat itu adalah perasaan orang lain. Termasuk memiliki asumsi tidak perlu mengucapkan terima kasih lagi pada orang yang memberi bantuan karena mereka sudah mengetahuinya.
Bias egosentris dianggap malah membuat seseorang secara sistematis meremehkan nilai positif yang terjadi saat seseorang mengucapkan terima kasih dengan tulus.
"Intinya saat Anda berpikir Anda tidak membuat dampak sebanyak itu (saat mengucapkan terima kasih), Anda merasa tidak perlu repot-repot melakukannya," kata Kumar.
Keengganan mengungkap rasa terima kasih ini pun juga muncul karena merasa tak nyaman ketika harus mengekspresikan emosi tertentu, seperti mencari kata-kata yang tepat. Dalam istilah psikologi sosial itu disebut dengan kompetensi. Yaitu, kondisi di mana seseorang berjuang untuk mengatakan atau melakukan sesuatu dengan cara yang benar. Kompetensi ini yang lebih sering menjadi pergumulan pada diri seseorang.
"Dalam beberapa kasus, fokus berlebihan terhadap kompetensi sebenarnya dapat menghalangi seseorang melakukan tindakan mengucapkan terima kasih," ungkap Kumar lagi.
Kekuatan Ucapan Terima kasih
Ungkapan terima kasih terdengar sederhana. Namun sejarah menunjukkan kelahiran ungkapan terima kasih itu tidak sesederhana yang dibayangkan. Dalam bahasa Inggris misalnya, ungkapan terima kasih baru muncul sekitar abad ke-14, meski kata terima kasih telah ada sejak awal bahasa Inggris.
Penutur bahasa Inggris kuno menggunakan kata terima kasih dalam karya atau teks di mana Tuhan sering menjadi objek ucapan terima kasih itu. Dalam perjalanannya, pada periode Elizabethan, berterima kasih dengan mudah ditemukan dalam sumber-sumber sastra dari Marlowe hingga Shakespeare.
Hanya saja pengungkapan terima kasih tidak dalam bentuk singkat seperti saat ini melainkan dengan dilakukan dengan menunjukkan rasa hormat yang menyinggung status sosial, seperti penggunaan gelar.
Pada abad ke-18, mengungkapkan rasa terima kasih merupakan bagian integral untuk menunjukkan kelas seseorang dan berasal dari keturunan yang tepat. Baru pada abad ke-19, ungkapan terima kasih digunakan secara luas dan umum—bukan hanya untuk kelas atas saja.
Meluasnya penggunaan kata terima kasih menunjukkan bahwa kata itu menjadi kosakata yang berpengaruh dalam kehidupan sosial dan tidak ada yang salah dengan mengungkapkan terima kasih kepada orang lain.
Kumar menemukan bagaimana orang yang menerima ungkapan terima kasih dapat memiliki hari yang menyenangkan hanya karena menerima ekspresi tersebut sejak awal.
Sara Algoe, psikolog yang mengelola Emotions and Social Interactions in Relationships Laboratory di University of North Carolina, Chapel Hill mengatakan, manusia membutuhkan, menghargai, dan mendambakan hubungan sosial agar terhubung dengan orang lain.
Dan meski terlihat sederhana, mengucapkan terima kasih dalam hal ini menjadi katalis unik untuk menemukan koneksi antar manusia dan juga memperkuatnya.
Studi tahun 2022 yang dipublikasikan di Scientific Reports memperkuat pendapat tersebut. Dalam studi yang melibatkan 125 pasangan selama lima minggu, Algoe bersama rekannya menemukan bahwa pasangan yang mengungkapkan lebih banyak rasa terima kasih terbukti meningkatkan jumlah waktu yang mereka habiskan bersama-sama rata-rata sekitar 68 menit sehari.
Hanya saja bagi beberapa orang mungkin merasa aneh atau canggung memulai kebiasaan untuk mengungkapkan terima kasih ini.
Dalam hal ini David Ludden Ph.D dalam artikelnya di Psychology Today menyarankan untuk mengurangi kekhawatiran mengenai kompetensi (menemukan kata terima kasih yang tepat) dan lebih fokus dengan ungkapan terima kasihnya.
Sebab pada akhirnya, tidak ada yang peduli apakah memang seseorang telah menggunakan kata yang tepat atau tidak, dan lebih memerhatikan ketulusan emosi yang terungkap.
Kata-kata yang dibuat terlalu apik malah bisa dianggap tidak tulus. Sebaliknya, kata-kata sederhana dan bahasa yang lugas lebih alami dan dapat diterima.
Jonathan Tudge, profesor dari Universitas North California pernah membuat penelitian yang mengungkapkan ada tiga bentuk ungkapan terima kasih pada anak-anak. Pertama, ungkapan verbal lewat kata-kata. Kedua, bentuk terima kasih konkret berupa pemberian hadiah, misalnya permen atau mainan. Dan yang ketiga, balasan terima kasih yang dilakukan dengan menawarkan pertemanan atau bantuan.
Di zaman ghosting menjadi fenomena baru yang lumrah dilakukan dan penggunaan emoji menjadi pengganti ucapan tulus terima kasih, membalas kebaikan orang lain memiliki beberapa pilihan yang sama dengan temuan Tudge. Berterima kasih secara verbal dan konkret dengan kata-kata dan hadiah (yang mungkin sekedar formalitas), atau menawarkan pertemanan yang kini semakin langka.
Penulis: MN Yunita
Editor: Lilin Rosa Santi