tirto.id - Melalui change.org, Nur Iskandar membuat sebuah petisi penetapan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional. Hingga 31 Mei 2016, petisi tersebut sudah ditandatangani 280 orang. Menurut Nur Iskandar, Sultan Hamid II sudah terbukti sebagai perancang lambang negara Garuda Pancasila. Sultan Hamid II juga terbukti tidak terkait dengan Westerling ataupun peristiwa APRA di Bandung.
Nur Iskandar adalah salah satu penyusun buku Sultan Hamid II: Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila. Dua penulis lainnya adalah Anshari Dimyati dan Turiman Faturachman Nur. Biografi politik Sultan Hamid II itu diterbitkan TOP Indonesia pada 2013.
Yayasan Sultan Hamid II, cukup serius mengajukan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional. Mereka sudah menemui Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di Jakarta pada 15 April 2016. Sebelumnya, dukungan dari rakyat Pontianak dihimpun.
“Do'a dan dukungan penuh dari Kesultanan Qadriyah Pontianak serta masyarakat Pontianak sangat besar, baik dari unsur Pemerintah kota, kabupaten, maupun provinsi, pun seluruh elemen masyarakat Pontianak dari berbagai kalangan,” papar Anshari Dimyati, Ketua Yayasan Sultan Hamid II.
Setelah berdiskusi dengan Direktorat Jenderal Kepahlawanan Keperintisan Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial, Yayasan Sultan Hamid II menyiapkan segala kelengkapan persyaratan administratif untuk pengajuan.
“Kami sebetulnya telah melakukan Seminar Nasional dan Pameran tentang Sejarah atau Proses Perancangan Lambang Negara RI Garuda Pancasila untuk pertama kalinya di Pontianak, Kalimantan Barat, pada Maret tahun 2000 di Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak dan April tahun 2000 di Hotel Kapuas Pontianak. Hasil dari kedua agenda tersebut membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah Perancang Lambang Negara RI Garuda Pancasila,” ujar Anshari.
Sultan Hamid II tentunya sudah menjadi tokoh yang dihormati di Kalimantan Barat. Menurut Yayasan Sultan Hamid II, dia adalah Sultan Pontianak yang ikut membangun kembali Pontianak dan sekitarnya yang hancur karena Perang Pasifik. Namun, diakui ada pihak-pihak yang punya pandangan berbeda soal Sultan Hamid II.
Negarawan Federalis
Dalam buku sejarah kemerdekaan Indonesia, nama Sultan Hamid II dikenal sebagai ketua dari Bijeenkomst Federaal Overleg (BFO) yang merupakan forum negara federal di bekas wilayah Hindia Belanda. Negara-negara ini dicap sebagai Negara Boneka buatan van Mook dalam kurun waktu 1945 hingga 1949, untuk memperlemah posisi Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera.
Sebagai ketua BFO, Sultan Hamid II yang menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) juga memberikan tanda-tangannya. Republik Indonesia dan negara-negara BFO itulah yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Sultan Hamid II kemudian menjadi menjadi Menteri Negara tanpa Portofolio RIS juga. Hamid yang mewakili Daerah Istimewa Kalimantan Barat sejak 1947 hingga 1950, adalah seorang yang federalis.
”Dalam konsep bernegara, Sultan Hamid II adalah seorang federalis 100 persen dan sikap inilah yang kemudian membuatnya berkonflik dengan kaum unitaris, para penganut paham negara kesatuan yang menginginkan adanya dominasi atau sentralisasi,” tulis Anshari Dimyati di situs Kesultanan Kadriah.
Sebelum Hamid, ketua BFO adalah Mr Tengku Bahruin dari Sumatera. Hamid dipilih setelah setelah menang perhitungan suara melawan Mr Anak Agung Gde Agung, Raja Gianyar yang pernah menjadi Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT).
Anak Agung Gde Agung juga seorang federalis seperti Hamid. Anak Agung Gde Agung bukan bekas militer seperti Hamid, melainkan sarjana hukum bergelar Meester in Rechten (Mr). Namun, Anak Agung Gde Agung punya pasukan tempur sendiri. Menurut Geoffrey Robinson, dalam bukunya Sisi Gelap Pulau Dewata (2006), Pemuda Pembela Negara (PPN), yang dibentuk Anak Agung Gde Agung, pernah bertempur melawan milisi pro Republik Indonesia. PPN ikut menindas pejuang Republiken, dari 1945 hingga 1948. Anak Agung Gde Agung dinilai oportunis yang pro dengan Belanda. Meski dia dianggap tidak begitu suka dekat dengan Belanda.
Anak Agung Gde Agung sudah jadi Pahlawan Nasional sejak November 2007, seperti tertuang dalam Keputusan Presiden RI Nomor 068/TK/Tahun 2007 tanggal 6 November 2007.
Memperjuangkan Pahlawan Nasional
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda, Jasa dan Tanda Kehormatan (UU No. 20/2009), Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada Warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Lambang negara Garuda Pancasila tentu bisa dianggap sebuah karya yang sangat berguna bagi negara Indonesia. Dalam hal ini Sultan Hamid II memenuhi syarat. Itu mengapa Yayasan Sultan Hamid II terus mendorong agar Sultan Hamid II dijadikan sebagai pahlawan nasional.
Untuk mengupayakannya, pengurus yayasan sudah bertemu dengan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada 15 April 2016. Hasilnya, Mensos Khofifah memberikan dukungannya.
“Yayasan Sultan Hamid II telah melakukan audiensi dengan Kementerian Sosial Republik Indonesia pada 15 April 2016 lalu. Kami bertemu dengan Ibu Khofifah Indar Parawansa, dan hasil dari pertemuan kami sangat baik, yaitu support/dukungan penuh dari Ibu Menteri beserta jajaran atas pengajuan atau pengusulan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional,” jelas Anshari yang sudah beberapa kali menulis di media terkait perkara Sultan Hamid.
Menurut Anshari, sejarah tentang Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara Indonesia mulai terbuka ke publik sejak awal tahun 2000an. Sebelumnya, sejarah Sultan Hamid tertutupi oleh sejarah pemenang kekuasaan. Publik tak begitu paham sejarah tersebut.
Anshari dan pengurus Yayasan Sultan Hamid II melihat antusiasme masyarakat Indonesia sangat besar terhadap sejarah beberapa waktu karena media internet. Mereka yakin gambaran buram soal Sultan Hamid II memudar.
“Kami beberapa tahun ini sibuk mengelilingi undangan-undangan seminar serta dialog sejarah Sultan Hamid II dan Lambang Negara RI. Hal tersebut karena animo masyarakat yang sangat besar serta merupakan bentuk penghargaan yang besar publik terhadap pencipta lambang negara, Sultan Hamid II,” ucap
Tidak mudah mengungkap tabir ini. Bagi pihak-pihak yang tidak suka dengan Sultan Hamid II, mereka membongkar rencana penyerangan Gedung Pejambon untuk membunuh Sri Sultan, Simatupang dan Ali Budiarjo.
Soal tuduhan subversif, Sultan Hamid II sudah mendekam di penjara karenanya meski di kemudian hari tak terbukti. Apapun tuduhan miring terhadapnya, Sultan Hamid II adalah orang yang berjasa dalam perjalanan Republik ini. Ia telah merancang lambang negara yang sampai kini masih dijunjung tinggi di Indonesia. Kapan dia dijadikan pahlawan nasional?
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti