tirto.id - Sekitar 500 pengusaha berkumpul di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Jumat (9/12/2016) malam. Mereka adalah para wajib pajak besar (prominent) yang sengaja diundang untuk mengikuti sosialisasi program amnesti pajak yang dicanangkan pemerintah sejak Juli 2016.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berharap, para pengusaha kakap tersebut bisa berkontribusi dalam program yang menjadi andalan Presiden Jokowi itu. “Saya yakin yang ada di ruangan ini masih bisa membantu lebih banyak lagi atau lebih besar lagi bagi kita untuk membangun Indonesia yang lebih baik,” kata Sri Mulyani.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan, dari 500 wajib pajak (WP) besar yang hadir dalam pertemuan itu, 258 di antaranya dikumpulkan dari beberapa Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terutama di wilayah Jakarta. Dari jumlah data 258 WP itu, terdapat 100 WP besar yang belum ikut program pengampunan pajak ini.
Sedangkan 242 WP lainnya adalah mereka yang masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes dan Globe Asia tahun 2015. Ironisnya, tercatat 8 orang di antaranya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sayangnya, Kementerian Keuangan tidak mau mengungkap identitas mereka dengan dalih undang-undang.
“Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,” demikian bunyi Pasal 34 ayat (1) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUT).
Wajib Punya NPWP
Contoh di atas sedikit dari kasus yang terekspos ke publik. Bisa jadi terdapat WP lain dengan berbagai profesi yang berpotensi menjadi objek penerimaan pajak, tetapi selama ini tidak terdata karena tidak memiliki NPWP, baik karena disengaja, maupun karena ketidaktahuannya soal kewajiban memiliki NPWP ini.
Mengapa wajib pajak harus memiliki NPWP?
Secara sederhana, NPWP merupakan nomor identitas yang diberikan kepada WP sebagai sarana administrasi dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Salah satu fungsinya adalah untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat setiap WP hanya diberikan satu NPWP.
Karena itu, pemerintah mendorong agar semua WP memiliki NPWP. Dalam konteks ini, setiap WP yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP.
Bagi WP yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, maka akan ada sanksi pidana. Hal ini dapat diberlakukan apabila ada unsur kesengajaan, yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dari penerimaan pajak yang seharusnya dibayarkan. Jika hal ini terjadi, maka WP akan dipidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun sesuai dengan Pasal 39 ayat (1) UU KUP.
Ironisnya, meskipun bisa diancam pidana, tetapi jumlah WP yang memiliki NPWP masih terhitung sangat rendah. Misalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja mencapai 93,72 juta orang, namun hingga tahun 2015, WP yang terdaftar dalam sistem administrasi Ditjen Pajak hanya mencapai 30.044.103 WP. Jumlah itu terdiri dari WP Badan, WP Orang Pribadi Non Karyawan, dan WP Orang Pribadi Karyawan.
Artinya, baru sekitar 29,4 persen dari total jumlah Orang Pribadi Pekerja dan berpenghasilan di Indonesia yang terdaftar sebagai WP. Kemudian, dari jumlah total 30.044.103 WP terdaftar tersebut, hanya sekitar 18.159.840 WP yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT.
Karena itu, pemerintah berharap agar program amnesti pajak yang dicanangkan sejak Juli 2016 dimanfaatkan sebaik mungkin oleh WP yang selama ini tidak pernah melaporkan harta kekayaannya, serta belum memiliki NPWP. Namun, jika mereka tidak memanfaatkan program amnesti pajak ini, maka akan dikenakan Pasal 118 UU Pengampunan Pajak.
“Bila sudah akhir tax amnesty, dalam waktu 3 tahun setelah selesai, kami temukan harta yang terkait wajib pajak tersebut, akan dikenakan tarif 25 persen dan denda 2 persen per bulan sampai 24 bulan. Jadi total akan sekitar 75-80 persen terhadap harta apa aja,” tegas Sri Mulyani.
Kepatuhan WP Rendah
Pemilik NPWP memang meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2013 pemilik NPWP berjumlah 27.998.617 WP dan meningkat menjadi 30.044.103 WP dua tahun berikutnya. Akan tetapi, kepatuhan WP dalam menyampaikan surat pemberitahuan tahunan (SPT) masih terbilang sangat rendah.
Misalnya, dari jumlah total 30.044.103 WP terdaftar, ada sekitar 18.159.840 WP yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT, yang terdiri atas; 1.184.816 WP Badan, 2.054.732 WP OP Non Karyawan, dan 14.920.292 WP OP Karyawan. Sayangnya, dari jumlah tersebut, baru 10.945.567 WP yang menyampaikan SPT pada tahun 2015, atau 60,27 persen dari jumlah total WP yang wajib SPT.
Jika diperinci lagi, maka jumlah WP yang menyampaikan SPT tersebut terdiri atas 676.405 WP Badan, 837.228 WP OP Non Karyawan, dan 9.431.934 WP OP Karyawan. Artinya, tingkat atau rasio kepatuhan WP Badan baru mencapai 57,09 persen, WP OP Non-Karyawan 40,75 persen, dan WP Karyawan 63,22 persen. Parahnya lagi, dari jumlah tersebut hanya 1.172.018 WP Bayar, yang terdiri atas 375.569 WP Badan, 612.881 WP OP Non Karyawan, dan 181.537 WP OP Karyawan.
Angka 375.569 WP Badan Bayar atau Non SPT-Nihil jelas sangat kecil jika dibandingkan dengan 3 juta lebih perusahaan yang ada dan beroperasi di Indonesia. Sedangkan jumlah 612.881 WP Bayar OP Non Karyawan dan 181.537 WP Bayar OP Karyawan, jauh sangat tak berarti jika dibandingkan dengan jumlah total 93 juta lebih penduduk Indonesia yang bekerja dan menerima penghasilan.
Dalam konteks ini, meningkatnya jumlah pemilik NPWP ternyata tidak sebanding dengan kepatuhan WP dalam melaporkan SPT tahunan, padahal pelaporan SPT adalah hal yang penting untuk menggali potensi pajak. Persoalan ini menjadi pekerjaan rumah Ditjen Pajak yang selama ini belum terpecahkan.
Pemerintah patut risau karena rendahnya kepatuhan WP melaporkan kewajiban perpajakannya juga menjadi salah satu faktor rendahnya rasio pajak di Indonesia selama ini. Karena itu, salah satu upaya pemerintah meningkatkan rasio pajak tersebut adalah dengan kebijakan amnesti pajak. Pemerintah berharap, kebijakan ini dapat membenahi sektor pendapatan negara dan mendorong rasio kepatuhan SPT sebagai tolak ukur dari pendapatan negara dari sektor pajak.
Akankah strategi ini berhasil? Sejauh ini program amnesti pajak Indonesia dinilai cukup sukses. Hingga tahap pertama berakhir, uang tebusan telah mencapai Rp100 triliun. Namun, Sri Mulyani tetap merasa tidak puas karena angka Rp100 triliun belum ada apa-apanya dibandingkan dengan potensi yang sebenarnya bisa ditarik.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti