tirto.id - Pemerintah kini tengah gencar mengejar pemasukan negara dari pajak dan cukai. Setelah kenaikan cukai rokok dan pajak pertambahan nilai (PPN), kini giliran cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) jadi sasaran.
Menurut rencana awal, pemerintah akan memberlakukan cukai MBDK padatahun ini. Namun, Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan kemudian mempertimbangkan penundaan cukai tersebut hingga 2023. Dari perhitungan sementara, potensi penerimaan cukai ini mencapai Rp6,25 triliun per tahun.
Hitungannya didasari besaran cukai untuk teh kemasan sebesar Rp1.500 per liter dan soda sebanyak Rp2.500 per liter. Layaknya kenaikan cukai rokok, penarikan cukai MBDK ini juga bertujuan untuk mengurangi beban kesehatan negara. Maka pungutan atas keduanya karib disebut sebagai “pajak dosa”—meski terminologi pajak dan cukai berbeda.
“Angka Penyakit Tidak Menular (PTM) DI Indonesia sudah pasti memengaruhi pembiayaan kesehatan nasional,” tegas Ackhmad Afflazir, Ketua Tim Kerja Pembiayaan Kesehatan Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK) Kementerian Kesehatan dalam diskusi bertajuk “Urgensi Implementasi Kebijakan Cukai MBDK” padaKamis, (31/3/2022).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) memang menunjukkan persentase penduduk dengan obesitas meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun, dari semula 10,3 persen (2007) menjadi 21,8 persen (2018). Obesitas merupakan faktor risiko dari berbagai PTM kronis, termasuk tiga penyebab kematian terbesar di Indonesia: stroke, jantung iskemik, dan diabetes (2019).
Ketiga penyakit itu turut menjadi beban risiko ganda ketika bertemu COVID-19. Terutama diabetes sebagai penyebab utama dari 85 persen kasus kematian akibat COVID-19. Diabetes membikin risiko kematian meningkat hingga 8,3 kalilipat.
Statistik-statistik PTM akibat diabetes ini mau tak mau membikin efek domino pada biaya pelayanan kesehatan. Laporan Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyebut biaya layanan diabetes meningkat 8 persen setiap tahun dalam kurun waktu 3 tahun belakangan, dari semula Rp84 triliun (2017) menjadi Rp108 triliun (2019).
“Akar masalah harus diselesaikan lebih dahulu, yaitu pengendalian konsumsi makanan dan minuman tinggi Gula, Garam, Lemak (GGL). Cukai MBDK dapat dilihat sebagai cara efektif mengendalikan konsumsi minuman manis masyarakat,” lanjut Ackhmad.
Pertanyaannya, kenapa pengendalian GGL harus melalui penarikan cukai minuman berpemanis?
Pasalnya, tingkat konsumsi MBDK di Indonesia dalam 20 tahun terakhir mengalami peningkatan hingga 15 kali lipat, dari semula sekitar 51 juta liter (1996) menjadi 780 juta liter (2014). Pada kelompok anak saja, tingkat konsumsi minuman manis ini bisa mencapai 1-6 kali seminggu pada 1 dari 10 anak.
Ketergantungan masyarakat Indonesia pada konsumsi minuman manis kemasan membuat negara kita menempati posisi ketiga dalam daftar konsumsi MBDK terbanyak di Asia Tenggara pada 2020.
Efektivitas Cukai Turunkan Beban Kesehatan
Saat membaca artikel soal penarikan atau kenaikan cukai, sebagian masyarakat akan berpikir bahwa ini hanyalah jalan pemerintah untuk mendulang pemasukan tambahan dari sektor lain. Tidak salah memang. Peraturan Presiden Nomor 104/2021 mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022 turut menyinggung celah fiskal APBN 2022 yang dapat ditambal dengan cukai MBDK.
Layaknya “pajak dosa” lainnya, yakni cukai rokok yang digunakan untuk pembiayaan Jaminan Kesehtan Masional (JKN), peluang pemasukan tambahan dari cukai MBDKdapat berkontribusi menambal hampir seluruh defisit pendanaan BPJS di tahun 2020, yakni sebesar Rp6,36 triliun.
Di lain sisi, peningkatan harga akibat cukai MBDK terbukti berhasil menurunkan tingkat konsumsi minuman manis. Strategi ini sudah digunakan oleh banyak negara. Meksiko, misalnya, mampu menurunkan jumlah pembelian minuman manis sebesar 19 persen dengan penerapan cukai MBDK 10 persen.
Di kawasan Amerika, penerapan cukai MBDK juga diprediksi menurunkan konsumsi minuman manis sampai 24 persen.Sementara di Inggris, kebijakan ini berbuah pada penurunan kadar gula masyarakat sebesar 11 persen dalam periode 20016-2017. Produsen minuman pun kemudian terdorong untuk melakukan formulasi ulang agar produknya lebih rendah gula.
Dari sisi kesehatan, studi pemodelan di Thailand juga menunjukkan cukai MBDK sebesar 20-25 persen mampu menurunkan prevalensi obesitas sebesar 3,83-4,91 persen. Lalu, berapa besaran cukai minuman manis yang ideal diterapkan di Indonesia?
Peneliti dari Universitas Indonesia sekaligus pakar kebijakan publik Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Abdillah Ahsan merekomendasikan tarif minimum sebesar 20 persen dari harga produk. Besarannya bisa bervariasi tergantung komposisi pemanisnya—semakin tinggi kandungannya, cukai juga akan semakin besar.
“Kami merekomendasikan pemerintah segera menerapkan cukai MBDK pada semua produk, tanpa kecuali dan serentak, meliputi semua minuman berpemanis dalam bentuk gula asli maupun tambahan pangan,” katanya. CISDI merupakanorganisasi non-profit yang mendorong kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah.
Studi terbitan BMJ Global Healthmemformulasikan pemodelan cukai MBDK dan melihat dampak kesehatan jangka panjang di Indonesia. Penarikan cukai minuman manis sebesar Rp5 ribu per liter mampu mencegah angka kejadian diabetes, stroke, dan jantung iskemik sebanyak 63 ribu hingga 1,5 juta kasus dalam jangka waktu 25 tahun.
“Dengan besaran cukai tersebut, pemerintah diperkirakan dapat memperoleh pemasukan hingga Rp395 triliun setelah 25 tahun,” tulis Bourke dan Veerman sebagai peneliti.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi