tirto.id - Ardian Yunizar (38 tahun) sedang berada di tanah rantau. Ia menemani istrinya, Rahmah Fithriani yang sedang melanjutkan kuliah di Texas, Amerika Serikat. Belum tuntas masa studi istrinya, Ardian didiagnosa menderita tumor otak. Ia sempat tidak sadarkan diri. Istrinya yang sedang kuliah harus merawatnya dan juga mengurus dua anak mereka yang masih kecil-kecil.
Biaya perawatan Ardian di sebuah rumah sakit di Amerika Serikat tentunya tidak sedikit. Total kebutuhan dana diperkirakan mencapai Rp650 juta. Rahmah tentu saja sangat berat memikul beban itu mengingat Ardian sebelumnya sudah berhenti dari pekerjaannya. Abdul Aziz, salah seorang rekan mereka pun berinisiatif menggalang dana untuk membantu keluarga kecil tersebut melalui kitabisa.com.
Hingga 20 Oktober 2016, dana yang terkumpul sekitar Rp292 juta atau 45 persennya. Pihak rumah sakit kemudian juga memberikan potongan hingga 40 persen dari total biaya rumah sakit sebesar $110.495. Perjuangan mereka belum tuntas karena Ardian masih harus menjalani serangkaian pengobatan sebelum akhirnya akan pulang ke tanah air pada Februari 2017.
Lain lagi kisah Moyang Kasih Dewimerdeka, yang memiliki seorang teman yang terkena lupus dan kesulitan dengan biaya pengobatan yang menggila. Agar beban temannya yang sakit itu sedikit berkurang, Moyang dan beberapa teman satu lingkarannya memutuskan urun dana.
Dari urun dana kecil-kecilan itu, dana sekitar enam juta terkumpul. Tetapi Moyang dan teman-temannya kemudian sadar, kekuatan mereka dengan jumlah yang hanya belasan, tidak akan mampu menanggulangi kebutuhan biaya pengobatan teman mereka yang sakit.
Sabtu, 9 Juli 2016, Moyang mencoba memanfaatkan sebuah situs bernama Kitabisa.com. Ia adalah sebuah situs crowdfunding buatan sejumlah anak muda Indonesia. Melalui laman di situs itu, Moyang menceritakan apa yang terjadi pada temannya, proses pengobatan yang sudah dijalani dan yang dibutuhkan, juga perkiraan biaya pengobatan. Ia menargetkan dana terkumpul Rp50 juta dalam 31 hari.
Setelah detail cerita termaktub dalam laman itu, Moyang dan teman-temannya menyebarkan tautan ke teman-teman mereka yang lain. Segala media sosial digunakan, Facebook, Twitter, Instagram. Dalam beberapa jam, kabar itu menjadi viral di media sosial, bahkan menjadi pemberitaan media massa.
Cuma butuh waktu dua hari saja untuk mengumpulkan donasi Rp30 juta. Itu baru yang donasi online via Kitabisa, belum lagi donasi offline yang langsung ke rekening Moyang yang nilainya kini juga menyentuh angka Rp30 juta. Pada hari ke lima, jumlah donasi di Kitabisa sudah mencapai Rp43,5 juta atau 86 persen dari total dana yang dibutuhkan.
Ia masih punya 26 hari lagi untuk mencapai target Rp50 juta. Upaya Moyang mengumpulkan dana bisa dikatakan berhasil. Namun, tak semua bernasib baik seperti Moyang. Terkadang, pencarian donor lewat situs crowdfunding membuahkan hasil yang tidak maksimal..
Misalnya cerita Livia Agatha, seorang mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara. Ia dan teman-temannya sedang membuat sebuah proyek film pendek sebagai tugas akhir. Untuk membuat film pendek itu, ia butuh dana sekitar Rp30 juta. Mereka membutuhkan bantuan membiayai setengahnya.
Lewat laman situs crowdfunding yang sama dengan Moyang, Livia menjelaskan rencana pembuatan filmnya. Rincian dana yang diperlukan juga ikut dicantumkannya. Tak ketinggalan, garis besar cerita dalam film berjudul Senja Bersemi itu juga ikut digambarkan.
“Donasi yang terkumpul akan kami gunakan untuk dana produksi senja bersemi yang kami rencanakan akan berjalan di akhir Juli,” tulis Livia. Para donatur akan mendapat sejumlah reward atau tanda balas jasa yang bentuknya disesuaikan dengan jumlah donasi. Ada yang ditulis dalam credit film, ada juga yang mendapat cendera mata.
Namun, 16 hari menjelang tenggat, donasi yang terkumpul hanya Rp200 ribu, jauh dari target Rp11 juta. Itu pun Rp100 ribu-nya berasal dari tim Livia sendiri. Padahal kampanye Livia sudah dimulai sejak Juni lalu.
Efektivitas pengumpulan dana pada situs-situs crowdfunding memang beragam. Ia sangat bergantung pada konten yang ditulis pengumpul dana, jenis proyek, dan profil si pengkampanye. Jika ia orang yang dikenal banyak orang, pengumpulan dana akan bergulir lebih cepat.
Kampanye Moyang dan Livia adalah dua jenis crowdfunding yang berbeda. Moyang sedang melakukan donation-based crowdfunding atau urunan dana berbasis donasi. Sedangkan Livia berada di jalur reward-based crowdfunding atau urunan dana berbasis penghargaan.
Model yang dilakukan Moyang tidak jauh beda dengan konsep sedekah. Para donatur tidak mengharapkan kompensasi apapun dari dukungannnya atas proyek pengumpulan dana tersebut.
Sedangkan model yang tengah dijalani Livia biasanya memberikan penghargaan non tunai kepada para donatur. Bentuknya bisa berupa barang, plakat, ataupun bentuk-bentuk ucapan terima kasih lainnya. Crowdfunding jenis ini pernah sukses mendanai sebuah film komersil yang disutradarai Sammaria Simanjuntak pada 2012.
Film itu berjudul Demi Ucok. Sammaria memulai proses urunan dana sejak Januari 2012. Mereka, para donatur akan terdaftar sebagai co-producer. Nama mereka dicantumkan dalam poster dan credit film. Sammaria dan timnya berhasil mengumpulkan Rp1 miliar lewat jalur ini.
Waktu itu, ia tak menggunakan situs-situs crowdfunding melainkan membuat website sendiri untuk proses urunan dana. Kesuksesan Sammaria tentu juga didukung oleh namanya yang sudah cukup besar, dan didukung kesuksesan film perdananya berjudul cin(T)a.
Pertumbuhan Volume Dana
Seiring makin banyaknya situs crowdfunding di dunia, nilai uang yang berhasil dikumpulkan dari pendanaan model ini juga terus tumbuh berkali-kali lipat. Sampai tahun 2012 saja, ada lebih dari 450 situs crowdfunding di dunia.
Canada Media Fund pernah merilis data, dana yang berhasil dikumpulkan seluruh situs crowdfunding di dunia pada tahun 2012 mencapai $2,7 miliar atau setara Rp35 triliun. Dua tahun kemudian, nilainya melonjak tajam menjadi $16,2 miliar atau sekitar Rp200 triliun.
Salah satu situs crowdfunding di Indonesia bernama Kitabisa, sudah membantu 1.788 inisiatif terdanai. Total dana yang dikumpulkan melalui situs itu sejak pertama kali dirilis pada Juli 2013 sudah mencapai Rp27 miliar. Kitabisa ini adalah jenis situs crowdfunding yang fokus pada kebutuhan sosial.
Di Indonesia, ada beberapa situs serupa dengan fokus berbeda-beda. Beberapa yang cukup populer bernama Wujudkan, Gandengtangan, Indves, Crowdtivate, dan Ayopeduli. Ada yang fokus pada urunan dana berbasis donasi, ada juga yang berbasis investasi, pinjaman, atau penghargaan. Ada yang fokus pada kegiatan sosial, ada juga yang menaruh perhatian pada proyek kreatif dan permodalan usaha mikro.
Crowdtivate misalnya, ia lebih fokus pada proyek-proyek kreatif. Ia adalah situs crowdfunding asal Singapura yang pada akhir tahun 2014 masuk ke pasar Indonesia. Start up ini lebih mengkhususkan pada proyek-proyek pembuatan komik, film, buku, atau ide kreatif lainnya.
Indonesia juga punya situs crowdfunding yang berbasis pinjaman atau lending-based crowdfunding bernama GandengTangan. Ia memungkinkan para penggagas proyek meminjam dana dari publik yang nantinya akan dikembalikan ketika proyek berjalan dan mendapat profit.
Platform-platform ini biasanya memotong biaya administrasi dari total dana yang berhasil dikumpulkan. Kitabisa mengenakan biaya 2,5 persen untuk urunan dana di bidang darurat medis dan 5 persen untuk sektor lain. Khusus untuk bencana alam, Kitabisa tak mengenakan potongan apa-apa.
Biaya administrasi ini memang digunakan untuk operasional situs. Namun, belum ada aturan yang mengatur berapa laiknya besaran biaya administrasi dari platform-platform crowdfunding.
Tahun ini Statista merilis data tentang kategori proyek yang paling sering muncul dalam situs-situs crowdfunding pada 2012. Proyek-proyek sosial yang sifatnya donasi menjadi juaranya. Sebanyak 30 persen inisiatif merupakan persoalan sosial. Sektor sosial ini juga lebih cepat mendapat dukungan dari pada donatur. Ini terlihat jelas dari inisiatif yang dilakukan Moyang untuk membantu temannya yang sakit kritis.
Sektor bisnis dan wirausaha mendapat posi 16,9 persen. Di posisi ke tiga ada sektor film dan seni pertunjukan yang mendapat porsi 11,9 persen. Musik hanya mendapat bagian 7,5 persen. Sedangkan energi dan lingkungan lebih kecil, 5,9 persen. Sisanya, Statista menggolongkan pada inisiatif lain-lain di luar kategori itu.
Traksi dari crowdfunding mulai menguat sejak peluncuran ArtistShare pada 2003. Ia adalah sebuah platform urunan dana bagi para musisi untuk menghasilkan karya. Lalu muncul IndieGoGo pada 2008, Kickstarter pada 2009, dan Microventures pada 2010.
Semakin ke sini, jumlah platform urunan dana terus bertambah. Kesadaran masyarakat untuk menggunakan dan ikut berpartisipasi memberikan dana juga semakin tinggi, tercermin dari pertumbuhan nilai dana yang tumbuh lebih dari dua kali lipat setiap tahunnya.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti