Menuju konten utama

Memahami Sistem Zonasi Sekolah di PPDB 2019

Penerapan sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya.

Memahami Sistem Zonasi Sekolah di PPDB 2019
Orangtua dan calon siswa mengantre penyerahan dan pemeriksaan berkas pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 tingkat SMA-SMK di SMAN 2 Bandung, Jawa Barat, Senin (17/6/2019).ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 masih menggunakan jalur zonasi, sebagaimana yang termaktub dalam Permendikbud No.51/2018 tentang penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020.

Penerapan sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya masing-masing.

Peserta didik bisa memiliki opsi maksimal tiga sekolah, dengan catatan sekolah tersebut masih memiliki slot siswa dan berada dalam wilayah zonasi siswa tersebut.

Berdasarkan Permendikbud nomor 51/2018 diatur PPDB melalui zonasi. Seleksi calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yang ditetapkan.

Jarak tempat tinggal terdekat dimaksud adalah dihitung berdasarkan jarak tempuh dari Kantor Desa/Kelurahan menuju ke sekolah.

Jika jarak tempat tinggal sama, maka yang diprioritaskan adalah calon peserta didik yang mendaftar lebih awal.

Umumnya, jalur zonasi memiliki kuota paling besar dari semua jalur penerimaan. Misalnya, di PPDB SMA Jawa Timur, kuota jalur zonasi adalah 50 persen, sedangkan di PPDB DKI Jakarta kuota yang disediakan untuk zonasi adalah 60 persen.

Sistem seleksi PPDB zonasi dilakukan dengan cara pemeringkatan, yang berbeda-beda di setiap provinsi. Akan tetapi, umumnya, pemeringkatan untuk jalur zonasi dilakukan dengan jarak, nilai UN, usia peserta didik, dan waktu mendaftar.

Di PPDB SMA Jatim misalnya, seleksi dilakukan berdasarkan pada pemeringkatan berdasarkan zona dengan kuota sebesar 50 persen, yaitu pemeringkatan yang berdasarkan jarak tempat tinggal dalam zona dengan sekolah yang dipilih.

Jika jarak sama, maka pemeringkatan berdasarkan nilai Ujian Nasional dan waktu pendaftaran.

Pemeringkatan berdasarkan nilai UN dengan kuota sebesar 20 persen, pemeringkatannya berdasarkan nilai UN. Jika terdapat kesamaan nilai, maka diperingkat berdasarkan urutan nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris.

Jika masih terdapat kesamaan, maka diperingkat berdasarkan waktu pendaftaran.

Sementara itu di PPDB SMA DKI Jakarta, seleksi PPDB dilakukan dengan urutan nilai rata-rata hasil UN/UNPK untuk Calon Peserta Didik Baru lulusan SMP/Madrasah, urutan pilihan sekolah, usia Calon Peserta Didik Baru, dan waktu mendaftar.

Setiap jenjang yang membuka jalur zonasi PPDB memiliki pemeringkatan tertentu, tetapi umumnya pemeringkatan didasarkan pada nilai rata-rata hasil US/M-BN untuk Calon Peserta Didik Baru lulusan SD/Madrasah, urutan pilihan sekolah, usia Calon Peserta Didik Baru, dan waktu mendaftar.

Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, pada pelaksanaan PPDB tahun lalu, sistem zonasi masih kurang baik, sehingga masih perlu evaluasi dan perbaikan.

Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim menilai ada empat masalah sistem zonasi pada pelaksanaan PPDB 2018.

"Masalah itu berupa munculnya jalur SKTM di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pada pasal 16 ayat 1 sampai 6 Pemendikbud Nomor 14 Tahun 2018 [tentang PPDB] tidak ada istilah Jalur SKTM," kata Satriwan saat diwawancara Tirto pada Juni 2018.

Masalah kedua berkaitan dengan perpindahan tempat tinggal tiba-tiba. FSGI menemukan kasus, salah seorang siswa asal Cibinong, Bogor, menumpang nama di Kartu Keluarga saudaranya di Kramat Jati, Jakarta Timur, demi bisa bersekolah di salah satu sekolah di daerah itu, alih-alih di tempat asalnya. Dengan kata lain, sistem zonasi bisa dikelabui.

Masalah ketiga yang masih berkaitan dengan kewajiban menerima 90 persen calon siswa yang tinggal di lokasi dekat sekolah. Di lapangan, hal ini membuat sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga biasanya ada di pusat kota sepi peminat. Misalnya yang terjadi di 12 SMP di Solo, Jawa Tengah, atau di 53 SMP di Jember, Jawa Timur.

Masalah terakhir masih berkaitan erat dengan poin tiga. Ketika di satu sisi ada sekolah yang kekurangan siswa, di sisi lain ada sekolah yang kelebihan peminat karena ada berada di zona padat, misalnya SMA Negeri 1 Jepon yang zonanya ada di tiga kecamatan sekaligus: Jepon, Jiken, dan Bogorejo.

Mendikbud mengakui pada pelaksanaan PPDB tahun lalu, sistem zonasi masih kurang baik, sehingga masih perlu evaluasi dan perbaikan.

"Yang kurang kita perbaiki, yang udah baik kita tingkatkan perbaikannya, tetapi intinya semua solusi dalam bidang pendidikan dalam tingkat kementerian pusat," ujar Muhadjir di Kantor Kemendikbud, Jakarta Selatan, Kamis (27/12/2018).

Dalam upaya memperbaiki sistem zonasi, ia akan mendeteksi wilayah mana saja yang harus ditangani. Mulai dari persebaran guru, fasilitas yang belum merata, dan juga jumlah siswa yang tidak merata.

Baca juga artikel terkait PPDB 2019 atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Agung DH