tirto.id - Akun Instagram Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) kebanjiran komentar beberapa hari terakhir ini. Isinya: kritik (atau bisa dibilang keluhan) calon siswa dan orangtua terhadap penyelenggaraan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 yang sedang dalam tahap pendaftaran.
Komentar mengenai isu ini bahkan muncul dalam unggahan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan penerimaan siswa. Misalnya pada foto Mendikbud Muhadjir Effendy sedang menendang bola di salah satu lapangan di Padang, Sumatera Barat.
"Kenapa nama saya di seluruh SMK NTB tidak ada? Jujur NEM saya lebih tinggi dari teman saya yang diterima itu..." kata salahseorang warganet.
"Ngapain belajar. Mending pindah rumah dekat sekolah yang diinginkan. Teman-teman saya yang pintar, NEM di atas 300, kalah sama yang NEM-nya 130, rumah dekat [sekolah yang dipilih]," keluh yang lain.
Asal muasalnya adalah sistem zonasi. PPDB tahun ini mewajibkan sekolah menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima. Niat awal sistem ini adalah pemerataan, demikian kata Muhadjir tahun lalu, ketika pertama kali menerapkan sistem ini.
"Ke depan kita tidak ingin ada lagi 'kastanisasi' sekolah. Kita tidak ingin ada sekolah favorit dan tidak favorit," kata Muhadjir, dikutip dari Antara.
Niat baik itu sayangnya tidak semulus yang direncanakan. Salah satu yang paling kentara adalah tidak seimbangnya daya tampung sekolah dengan jumlah siswa. Akibatnya, banyak di antara siswa yang tidak tertampung oleh sekolah. Padahal, rumah dan sekolah yang dituju tidak terlalu jauh.
Misalnya yang dialami Rini, seorang warga asal Bekasi. Rumahnya hanya berjarak sekitar 480 meter dari SMAN 5 Bekasi. Rini mendaftarkan anaknya ke SMAN 5 Bekasi melalui jalur Warga Penduduk Setempat (WPS). Dalam sistem PPDB Jabar, WPS mendapatkan slot 10 persen, atau untuk SMAN 5 Bekasi sekitar 34 siswa. SMAN 5 Bekasi merupakan salah satu SMA favorit di Bekasi.
Pada hari pertama pendaftaran, nama putri Rini masih berada di daftar calon siswa. Namun, menjelang penutupan PPDB tahap lokal, nama putrinya sudah terdepak oleh WPS lain yang rumahnya lebih dekat. Pada hari penutupan, baru diketahui bahwa 34 siswa yang diterima, jarak terjauh hanya 380 meter dari sekolah. Rini mencoba mendaftarkan anaknya pada tahap kedua yakni jalur NHUN. Sayangnya, ia langsung diwanti-wanti oleh petugas pendaftaran agar tak perlu repot-repot mendaftar ke SMAN 5 jika nilai UN di bawah 30.
"Sistemnya sangat merugikan. Rumah hanya berjarak kurang dari 600 meter, tidak diterima juga. Mau ambil SMA yang lebih jauh, skor jaraknya pasti berkurang. Dan kalaupun sekolah jauh, ujung-ujungnya siswa yang repot dan ongkos menjadi lebih mahal," kata Rini. Ia akhirnya memutuskan untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah swasta yang masih membuka gelombang ketiga. Tentu saja, uang yang harus dikeluarkan menjadi lebih mahal.
Kota Bekasi total memiliki 22 SMA dan 15 SMK Negeri. Jumlah ini tentu saja tidak akan dapat menampung calon siswa SMK di Kota Bekasi. Jika diambil rerata setiap SMA/SMK 1 angkatan ada 300 siswa, maka daya tampung hanya sekitar 11.100 siswa. Padahal, untuk tahun 2018 saja, total peserta Ujian Nasional (UN) SMP di Kota Bekasi mencapai sekitar 31.691.
Empat Masalah Sistem Zonasi
Keterbatasan daya tampung hanya satu dari sekian banyak masalah yang muncul. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), lewat pantauan lapangan di berbagai daerah, menemukan empat kelemahan sistem PPDB yang membuatnya harus dirombak total atau setidaknya diperbaiki di banyak aspek.
"Masalah itu berupa munculnya jalur SKTM di Jawa Tengah dan Jawa Barat," kata Satriwan Salim, Wasekjen FSGI kepada Tirto, Senin (9/7/2018) malam. Menurut Satriwan, jalur SKTM itu mengada-ada. "Pada pasal 16 ayat 1 sampai 6 Pemendikbud Nomor 14 Tahun 2018 [tentang PPDB] tidak ada istilah Jalur SKTM," tambahnya.
Dan memang begitu adanya. Hanya ada dua pasal yang menyebut kata "SKTM" dalam aturan itu, yaitu Pasal 19 ayat 2 dan 3. Itu pun tidak ada kaitannya dengan jalur penerimaan.
Di sana hanya disebutkan kalau SMA/SMK/sederajat harus menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu sebesar 20 persen dari kuota. Untuk membuktikan itu perlu lampiran SKTM dari orangtua peserta didik yang diterbitkan pemerintah.
Satriwan menilai tafsir yang sesuai dari pasal-pasal itu adalah sekolah tidak membuka jalur khusus SKTM, namun hanya memenuhi kota dari jalur normal.
Masalah kedua berkaitan dengan perpindahan tempat tinggal tiba-tiba. FSGI menemukan kasus, salah seorang siswa asal Cibinong, Bogor, menumpang nama di Kartu Keluarga saudaranya di Kramat Jati, Jakarta Timur, demi bisa bersekolah di salah satu sekolah di daerah itu, alih-alih di tempat asalnya. Dengan kata lain, sistem zonasi bisa dikelabui.
Hal ini dimungkinkan karena lagi-lagi pasal karet dalam Pemendikbud 14/2018 yang menyebut kalau "domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat Kartu Keluarga yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB" (Pasal 16 ayat 2).
"Pasal ini tidak mengukur dengan jelas alasan migrasi dari suatu daerah ke daerah lain, sehingga banyak ditemukan migrasi dipergunakan untuk memperoleh peluang bersekolah di sekolah favorit dan menutup peluang siswa alih jenjang di zona tersebut," terang Satriwan.
Masalah ketiga yang masih berkaitan dengan kewajiban menerima 90 persen calon siswa yang tinggal di lokasi dekat sekolah. Di lapangan, hal ini membuat sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga biasanya ada di pusat kota sepi peminat. Misalnya yang terjadi di 12 SMP di Solo, Jawa Tengah, atau di 53 SMP di Jember, Jawa Timur.
Poin ini juga mengakibatkan kerugian bagi para guru. Siswa yang sedikit berbanding lurus dengan jumlah jam mengajar. "Akibatnya guru tidak mendapat tunjangan sertifikasi," kata Satriwan, yang juga merupakan guru di salah satu sekolah swasta di bilangan Jakarta Timur.
Masalah terakhir masih berkaitan erat dengan poin tiga. Ketika di satu sisi ada sekolah yang kekurangan siswa, di sisi lain ada sekolah yang kelebihan peminat karena ada berada di zona padat, misalnya SMA Negeri 1 Jepon yang zonanya ada di tiga kecamatan sekaligus: Jepon, Jiken, dan Bogorejo.
"Siswa yang ingin alih jenjang jumlahnya sekitar 40 kelas, sementara hanya ada tujuh kelas yang diperebutkan di SMA Negeri 1 Jepon," kata Satriwan.
Ari Santoso, Kepala Biro Komunikasi Layanan Masyarakat serta Hamid Muhammad, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, coba kami minta pendapatnya mengenai temuan ini. Namun sampai berita ini ditulis keduanya belum menjawab.
Mendikbud Muhadjir Effendy sendiri telah berkali-kali berkomentar soal penerapan sistem Zonasi. Terakhir pada 6 Juli lalu. Ketika itu ia bilang kalau salah satu kendalanya adalah pola pikir orangtua siswa yang masih kolot. Mereka masih menilai ada sekolah favorit, dan ada pula yang tidak.
Kendala lain adalah masih banyak daerah yang belum sepenuhnya mengadopsi sistem baru ini.
"Masih ada yang belum bisa menafsirkan peraturan secara tepat dan ada juga kondisi daerah yang belum memungkinkan untuk diterapkan sistem zonasi secara penuh," kata Muhadjir, di Padang.
Penulis: Rio Apinino