tirto.id - Pemerintah kembali merombak sistem penerimaan siswa untuk tahun ajaran baru mendatang. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi bakal diganti dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) mulai tahun ajaran 2025/2026. Dalihnya menciptakan sistem penerimaan siswa yang lebih transparan, objektif, akuntabilitas tinggi, serta lebih inklusif bagi semua calon siswa.
Namun, bukan berarti publik tidak boleh curiga. Pasalnya, jamak diketahui bahwa pejabat dan birokrat di Indonesia kerap merombak sistem atau istilah birokrasi untuk kosmetik belaka tanpa perubahan substansial.
Misalnya, sistem PPDB sistem zonasi diterapkan untuk menggantikan sistem sebelumnya dengan niat mulia: menghapus dikotomi antara sekolah unggulan dan sekolah “biasa”. Namun, dalam praktiknya, sistem ini justru melahirkan celah kecurangan baru: manipulasi domisili, ketimpangan kualitas sekolah, dan pembatasan hak orang tua dalam memilih sekolah untuk anak mereka.
Kini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah berjanji SPMB akan menyulam kekurangan PPDB. Salah satu perubahan signifikan adalah mengubah sistem zonasi dengan sistem domisili. Jika sistem zonasi mengacu pada jarak, sistem domisili akan lebih mengacu pada wilayah siswa dan sekolah.
Sistem domisili diperuntukkan bagi calon siswa yang berdomisili di dalam wilayah administratif yang ditetapkan pemerintah daerah sesuai kewenangannya.
Dalam keterangannya, Kemendikdasmen menyatakan bahwa SPMB tetap mempertahankan 4 jalur masuk. Itu terdiri dari jalur domisili yang menggantikan sistem zonasi, jalur afirmasi, jalur prestasi, dan jalur mutasi.
Jalur afirmasi diperuntukkan bagi siswa dari keluarga kurang mampu, sementara jalur prestasi untuk calon siswa yang memiliki prestasi di bidang akademik dan nonakademik. Adapun jalur mutasi bisa digunakan calon siswa yang pindah domisili karena perpindahan tugas dari orang tua atau wali serta untuk anak guru.
Untuk kuota SPMB, jenjang SD tidak ada perubahan atau sesuai dengan yang telah diterapkan dalam sistem PPDB. Perubahan dilakukan pada jenjang SMP dengan adanya penyesuaian persentase. Pada SPMB jenjang SMA, calon siswa juga bisa lintas kabupaten/kota dengan ketentuan yang akan ditetapkan oleh pemprov.
Salah satu inovasi baru SPMB lainnya adalah pelibatan sekolah swasta dalam proses penerimaan siswa. Ini dilakukan agar calon siswa yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri tetap bisa mengakes pendidikan yang berkualitas. Juga diharapkan bisa mengurangi kepadatan siswa di sekolah negeri yang sering kali dipadati peminat.
Tidak hanya pengalihan, biaya pendidikan untuk siswa yang beralih ke sekolah swasta juga direncanakan akan ditanggung oleh pemda.
Berbagai inovasi baru dalam sistem SPMB tersebut tentu diharapkan mampu berjalan sesuai dengan niatannya. Namun, coreng-moreng penerimaan siswa yang selalu muncul saban tahun sebenarnya tidaklah cukup hanya diperbaiki dengan mengganti sistem. Pemerintah perlu melakukan pembenahan yang lebih tegas dan mengakar untuk menutup celah kecurangan dan praktik malaadministrasi.
Celah untuk Kecurangan Harus Ditutup
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menilai tidak terjadi perubahan yang signifikan antara sistem SPMB dengan PPDB. Perubahan sistem zonasi menjadi sistem domisili juga dinilai masih menyisakan satu celah masalah yang sama. Pasalnya, masih ada orang tua yang melakukan manipulasi data atau menggunakan data fiktif agar anaknya bisa bersekolah di daerah tertentu.
Parahnya, sekolah juga sering kecolongan atau bahkan sengaja meloloskan siswa dengan data fiktif. Tentu saja , itu bisa berjalan mulus dengan adanya uang pelicin atau gratifikas. Jika praktik ini tidak dibasmi, Rakhmat menilai centang perenang penerimaan siswa baru akan kembali terulang.
“Nah, apa yang menjadi penting di sini adalah, menurut saya, kontrol mekanismenya dan verifikasinya. Itu yang lemah karena orang masih banyak melakukan manipulasi lolos,” kata Rakhmat kepada wartawan Tirto, Jumat (31/1/2025).
Oleh karena itu, Rakhmat mendorong agar mekanisme penegakan hukum terhadap sekolah yang sengaja meloloskan calon siswa bermasalah dipertegas. Misalnya, dengan menahan penyaluran dana BOS agar terjadi efek jera bagi sekolah.
Di sisi lain, Rakhmat menilai bahwa pemerintah harus mengupayakan pendekatan infrastruktur berbasis kependudukan.
Selama ini, sekolah-sekolah masih terpusat di perkotaan atau di kecamatan yang padat penduduk. Alhasil, masih ada siswa yang tidak bisa mengikuti sistem zonasi atau domisili sebab daerahnya tidak memiliki sekolah. Rakhmat berharap pemerintah mengupayakan pemerataan institusi pendidikan agar apa pun sistem penerimaan siswa yang diterapkan, semua bisa mengaksesnya.
“Yang relatif jauh dia tidak memiliki sekolah dan artinya harus ada peningkatan berbasis demografi. Kecamatan-kecamatan yang memiliki jumlah populasi besar juga bisa ditambah jumlah sekolahnya,” ucap Rakhmat.
Sementara itu, pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, mengapresiasi upaya Mendikdasmen, Abdul Mu’ti, yang berniat memperbaiki sistem penerimaan siswa baru.
Namun, dia menekankan bahwa jangan sampai ia hanya sekadar ganti istilah, dari zonasi menjadi domisili. Pemerintah harus serius memperbaiki teknis, prosedur, dan sistem penerimaan siswa secara keseluruhan.
Secara politis, kata Edi, kebijakan ganti istilah mungkin memang bisa memuaskan pihak-pihak yang dirugikan oleh sistem zonasi. Namun, perlu diingat bahwa zonasi atau domisili pada dasarnya baru satu jalur atau sistem saja.
“Yan perlu ditekankan, menurut saya, adalah perlunya pemahaman bahwa sekolah negeri harus berpegangan salah satunya pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Edi kepada wartawan Tirto, Jumat.
Edi menilai sudah benar ada empat ragam jalur masuk. Hanya saja, celah-celah kecurangannya mesti ditutup. Mekanisme seleksi bisa dibuat lebih terbuka, melibatkan banyak pihak, dan tidak melibatkan pihak yang memiliki potensi konflik kepentingan dalam tim seleksi. Ruang aduan pun harus dibuka untuk publik dengan tim yang responsif.
Sekali lagi, perlu ditekankan bahwa karut-marut selama ini akan tetap muncul bila celah-celah kecurangan tidak diantisipasi.
Akar dari praktik kecurangan adalah ambisi untuk masuk sekolah negeri yang dilabeli favorit. Maka selama label favorit, unggulan, atau bonafide itu masih ada, masalah akan tetap ada.
Cara mengatasinya adalah pemerintah harus meningkatkan fasilitas, kualitas pembelajaran, kompetensi guru, hingga sarananya agar semua sekolah negeri setara kualitasnya.
“Ini PR berat tentunya, melibatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah, termasuk dukungan masyarakat melalui komite sekolah, dewan pendidikan, korporasi melalui CSR-nya, dan lainnya,” terang Edi.
Agar Masalah Tak Berulang
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan bahwa selama sistem penerimaan siswa baru belum berkeadilan dan menggunakan kompetisi, masalah justru bertambah marak. Pemerintah harus ingat bahwa pendidikan adalah hak semua anak dan pola penerimaan siswa yang bersifat kompetitif hanya akan melahirkan praktik culas antara orang tua dan sekolah.
Menurut Ubaid, sebenarnya tidak ada perbedaan sistem yang signifikan antara PPDB dan SPMB. Perubahan hanya terjadi pada soal jangkauan domisili dan persentase penerimaan siswa. Perubahan itu pun justru memperlihatkan bahwa pemerintah masih berfokus pada urusan teknis.
“Padahal, masalahnya tidak hanya soal teknis, tapi sistemnya yang tidak berkeadilan untuk semua. Ada diskriminasi perlakuan antara anak yang diterima di sekolah negeri dan yang gagal lalu sekolah di swasta,” kata Ubaid kepada wartawan Tirto, Jumat.
Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai ada kesan SPMB memang cuma utak-atik istilah saja. Pun demikian dengan pergantian zonasi jadi domisili.
Meski begitu, P2G mengapresiasi peningkatan persentase jalur afirmasi. P2G memandang hal itu sebagai bentuk keberpihakan pemerintah pada masyarakat tidak mampu.
Namun, P2G tetap menilai bahwa sistem SPMB belum bisa jadi menjawaban untuk beberapa persoalan fundamental.
Pertama, soal keterbatasan sekolah negeri. Kedua, masih ada sekolah-sekolah yang kekurangan murid sebab jarak antara sekolah negeri dan tempat tinggal murid terlalu jauh. Karena ongkos transportasi yang tinggi, orang tua pun memilih sekolah atau madrasah swasta yang lebih dekat.
“Masalah laten ketiga adalah kecurangan. Pungli dan pelanggaran pidana manipulasi data dan dokumen kependudukan,” ucap Iman kepada wartawan Tirto, Jumat.
Iman mencontohkan bahwa pernah ada kasus sekolah justru menambah ruang kelas baru selama PPDB. Kemudian, orang tua membayar pungli hingga jutaan rupiah. Dia berharap sistem SPMB mengatisipasi hal-hal itu.
Kemendikdasmen harus menuliskan pasal larangan menambah kelas dalam peraturan SPMB. Lagi pula, penambahan kuota penerimaan akan membuat pembelajaran tidak efektif.
Pelibatan sekolah swasta juga harus diatur dengan jelas. Sebab, kata Iman, pembiayaan belajar di sekolah swasta seharusnya ditanggung pemda. Namun, draf Permendikdasmen tentang SPMB yang diterima P2G justru menyebutkan bahwa pembiayaan itu ada yang sepenuhnya dan ada yang tidak sepenuhnya.
Hal ini membuat aturan menjadi abu-abu. Kemungkinan, bisa saja terjadi seorang siswa didistribusikan ke sekolah swasta, tapi skema pembiayaannya malah tidak sepenuhnya.
“Oleh karena itu, siswa yang didistribusikan ke sekolah swasta oleh pemerintah seharusnya ditanggung sepenuhnya. Kami harap dalam pasal Permendikdasmen SPMB tercantum demikian,” ucap Iman.
Di sisi lain, Mendikdasmen, Abdul Mu’ti, memastikan bahwa pergantian dari PPDB menjadi SPMB tidak hanya sekadar pengubahan nama. Abdul mengklaim terdapat hal-hal baru dalam kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan terkait SPMB.
Abdul juga mengatakan bahwa seiring pergantian nama tersebut, kementeriannya juga melakukan penyempurnaan terhadap sistem yang sebelumnya berlaku. Perubahan kebijakan dan nama itu pun sudah disetujui oleh Presiden Prabowo Subianto dan kementerian lain yang terkait.
Bahkan, kata dia, Kemendikdasmen telah melakukan diskusi dengan berbagai stakeholder untuk kebijakan baru tersebut.
“Jadi, kami ganti dengan SPMB. Nah, alasannya diganti kenapa ya karena memang kami ingin memberikan layanan pendidikan yang terbaik bagi semua,” kata Abdul kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi