tirto.id - Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Dewi Sartika tak memungkiri bahwa proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berpotensi terjadi pungutan liar atau jual beli bangku. Namun ia sudah menegaskan bahwa proses PPDB terbebas dari beban biaya.
"Iya riskan [pungli]. Tapi kami sudah umumkan bahwa PPDB ini adalah proses yang nol rupiah alias gratis," ujarnya kepada Tirto, Rabu (19/6/2019).
Ia juga menekankan bahwa semua pihak yang terlibat dalam PPDB didorong untuk berkomitmen mewujudkan layanan yang bersih dan jujur.
"Kami ada fakta integritas dengan kepsek dan operator. Mereka harus melakukan tugas sebaik-baiknya. Begitu juga saya dengan KCD. Kami berharap tidak ada transaksional," ujarnya.
Lebih lanjut ia katakan, pihaknya juga bekerjasama dengan aparat kepolisian untuk mengantisipasi terjadinya pungli.
"Sebelumnya, kalau itu [pungli] sudah ada di tim cyber pungli dan itu sudah menjadi satu kesatuan. Mereka juga akan monitoring untuk lokasi-lokasi PPDB ini," tuturnya.
Sebelumnya, Kepala Ombudsman Kantor Perwakilan Jawa Barat, Haneda Sri Lastoto mengatakan sejumlah laporan yang ditemukan tersebut mengindikasikan adanya jual beli kursi antara pihak sekolah dan orang tua calon siswa. Ombudsman, menurutnya, masih mengumpulkan bukti dari sang pelapor.
Jika laporan tersebut benar dengan masih terjadi adanya jual beli kursi, kata dia, akan menjadi pukulan bagi pelayanan pendidikan masyarakat yang seharusnya berlangsung dengan baik.
"tu merupakan kelemahan yang sangat mendasar, sistem zonasi dan sistem daring atau online itu salah satunya berfungsi untuk memastikan bahwa dalam mekanisme PPDB tidak ada interaksi langsung. Itu kan tujuannya untuk menghilangkan itu [pungli]," ujarnya di Bandung, Selasa (18/9/2019).
Menurutnya persoalan pungli tak lepas dari label sekolah favorit yang masih mengendap dibenak para orangtua murid. Sementara di Bandung, ada beberapa SMA yang dicap sebagai sekolah favorit, di antaranya adalah SMA Negeri 3 dan 5 Bandung.
"Ini masalahnya, kan memang publik memberi stigma sendiri, dan kemudian dibenarkan sekolah favorit itu. Akhirnya menaikkan gengsi sekolah itu. Problemnya justru di situ," ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari