tirto.id - Kebakaran gedung menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gelombang demonstrasi yang muncul di berbagai kota di Indonesia pada akhir Agustus 2025.
Di Jakarta, misalnya, gedung milik perusahaan Astra Credit Companies (ACC) yang terletak di kawasan Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, dilalap api pada Jumat (29/8/2025) sore. Gedung yang berada tidak jauh dari Markas Komando (Mako) Brigade Mobil (Brimob) Kwitang itu mulai terbakar pada sekira pukul 16.20 WIB. Asap hitam membubung tinggi, keluar dari lantai dasar dan lantai dua gedung tersebut.
Salah seorang pria yang mengenakan jaket abu-abu dan celana merah sempat terjebak di lantai dua gedung berwarna putih itu. Sejumlah massa dan aparat TNI berjibaku memotong teralis besi agar pria itu bisa meloloskan diri dari kepungan api. Akhirnya, pada pukul 16.37, pria itu berhasil keluar dari dalam gedung. Tim Pemadam Kebakaran (Damkar) juga tiba di lokasi untuk memadamkan api pada pukul 16.43.
Situasi di sekitar gedung itu begitu mencekam. Tak jauh dari sana, ada sebuah mobil jenis hatchback berwarna putih yang juga habis terbakar. Massa aksi terus bentrok dengan para anggota Brimob yang berjaga di depan Mako. Gas air mata ditembakkan ke arah massa, membuat sebagian dari mereka kocar-kacir. Situasi itu berlangsung hingga Jumat malam. Pada sekira pukul 21.30, bangunan Halte Transjakarta Senen juga hangus terbakar. Terlihat ada seseorang yang melempar molotov ke arah halte itu.
Insiden kebakaran tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di kota-kota lainnya di Indonesia, seiring dengan gelombang demonstrasi yang menuntut penghapusan tunjangan bagi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan transparansi dalam pengusutan insiden tewasnya pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan (21), setelah dilindas oleh kendaraan taktis (Rantis) Brimob pada Kamis (28/8/2025) malam.
Di Makassar misalnya, Gedung DPRD Kota Makassar yang berlokasi di Jalan AP Pettarani terbakar pada Jumat malam. Insiden kebakaran itu terjadi setelah sebelumnya massa melakukan aksi demonstrasi secara kondusif. Semakin malam, massa semakin beringas, terutama setelah berhasil menjebol pagar kantor DPRD yang dijaga anggota Satpol PP. Massa yang berjumlah ratusan kemudian masuk dan membakar sejumlah sepeda motor yang terparkir di halaman kantor DPRD Makassar.
Setelah membakar sepeda motor, massa kemudian turut membakar sejumlah mobil yang ditinggal pemiliknya, baik kendaraan dinas maupun kendaraan pribadi milik anggota dewan dan pegawai kantor DPRD Makassar. Dari kebakaran mobil dan motor, api kemudian menjalar ke bangunan kantor DPRD yang berlantai tiga. Aksi ini menjadi tontonan ribuan warga di sekitar jalan AP Pettarani.

Pembakaran Gedung DPRD juga terjadi di Bandung. Pada Jumat sore sekira pukul 16.45, api membara di depan Gedung DPRD Jawa Barat, yang terletak di Jalan Diponegoro.
Selain Gedung DPRD Jawa Barat, sebuah rumah dinas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga terbakar. Kobaran api terlihat menyala hingga ke lantai dua rumah dinas tersebut. Hingga pukul 18.05, kebakaran masih belum dapat dipadamkan.

Sampai Minggu (31/8/2025), insiden kebakaran juga masih terjadi. Pada pukul 16.49, Damkar Jakarta Pusat menerima kabar bahwa Markas Gegana yang terletak di kawasan Kramat, Senen, Jakarta Pusat, terbakar. Sebanyak 9 unit mobil Damkar dan 40 personel dikerahkan untuk memadamkan api.
Setelahnya, polisi lalu menangkap lima orang terkait insiden kebakaran tersebut. Lima orang itu lebih dulu ditangkap oleh warga yang berada di sekitar lokasi kebakaran. Kelima orang tersebut langsung menjalani pemeriksaan di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya.
"Benar, ada lima orang yang diamankan warga," kata Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, AKBP Roby Heri Saputra, dalam keterangannya, Minggu.
Meskipun lokasi kebakaran berada di tempat yang berbeda-beda, pertanyaan yang juga muncul adalah, seperti apa api bekerja di tengah aksi massa seperti itu? Apa yang dibutuhkan sehingga sebuah gedung bisa terbakar? Apakah mungkin massa bisa membakar gedung tanpa alat dan keahlian khusus?
Sains di Balik Pembakaran Natural
Untuk menilai apakah suatu kebakaran terjadi secara natural atau tidak, salah satunya dapat dilihat dari sejumlah ciri-ciri kondisi bangunan yang rentan terbakar. Dalam buku “Petunjuk Praktis Manajemen Kebakaran” (2010), Soehatman Ramli menuliskan, bangunan yang rentan terbakar di antaranya adalah bangunan yang banyak terdapat material kayu, kain, hingga kertas di dalamnya. Selain itu, bangunan yang berada di kawasan padat penduduk juga memiliki kerentanan tinggi untuk terbakar, karena jarak antar bangunan sangat dekat.
“Akses pencegahan kebakaran yang sulit, misalnya akses untuk kendaraan roda empat. Penduduk bervariasi dalam hal usia, pendidikan, kondisi fisik, dan perilaku, yang akan mempersulit upaya pemadaman kebakaran dan penyelamatan. Media pemadam terbatas, terutama dari [ketersediaan] air yang cukup,” begitu tulis Soehatman dalam bukunya, dikutip pada Senin.
Shi Yang dkk. dalam penelitiannya pada 2025 menjelaskan, risiko kebakaran menjadi semakin tinggi bagi gedung-gedung yang berada pada ketinggian. Hal itu dikarenakan gedung-gedung tinggi diterpa oleh angin yang kencang. Dengan begitu, api menjadi lebih cepat menyebar dan memiliki pola penyebaran yang tidak teratur.
“Angin kencang juga dapat menyebabkan material insulasi eksterior terlepas dan bahkan dapat menyebabkan runtuhnya struktur, sehingga mempersulit upaya petugas pemadam kebakaran yang melakukan operasi di ketinggian,” tulis Shi Yang dkk.
Sedangkan jika kita melihat Gedung ACC di kawasan Kwitang yang terbakar, gedung itu tidak memiliki lantai yang tinggi. Sehingga, kemungkinan gedung itu diterpa oleh angin kencang pun kecil. Setiap gedung pun biasanya juga memiliki sistem pemadaman api yang mumpuni, sehingga kebakaran dapat dicegah sebelum api menjalar ke mana-mana.
Bagaimana Membedakan Kebakaran Alami dan Buatan?
Ahli Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, mengatakan, apabila suatu kebakaran terjadi dikarenakan adanya insiden natural seperti misalnya korsleting listrik, maka api akan merambat secara perlahan. Ia menjelaskan, pada awalnya, akan timbul asap, kemudian muncul api, dan secara bertahap api kemudian membesar. Perkembangan api itu biasanya berlangsung dalam hitungan jam.
Sedangkan bagi kebakaran yang dilakukan secara sengaja, Yayat menyebut, pelakunya pasti akan menggunakan bahan campuran tertentu untuk mempercepat proses penyebaran api. Itulah mengapa, biasanya, aksi pembakaran suatu objek secara sengaja memiliki api yang lebih besar dan lebih cepat merambat.
“Selain menggunakan bahan bakar [sebagai] pemicunya ya, orang bisa menggunakan bensin ya atau banyak lah. Apa saja kemudian juga bisa menggunakan bahan-bahan pemicu ya seperti thinner atau bahan-bahan lain,” kata Yayat saat dihubungi wartawan Tirto, pada Senin (1/9/2025).
Selain menggunakan bahan-bahan tambahan, Yayat menjelaskan, pelaku pembakaran juga biasanya menyulut api di suatu material yang mudah terbakar, seperti gorden, jok, hingga kursi. Material itu dibakar agar kemudian api menyebar ke seisi ruangan dengan cepat.
Sehingga, menurutnya, dalam melakukan penyelidikan terhadap penyebab kebakaran sejumlah gedung, polisi dapat melihat dari mana awalnya titik api bermula. Dari situ, nantinya dapat dinilai apakah kebakaran itu disengaja atau memang terjadi secara natural.

“Sumber awal kebakarannya dari mana itu kan bisa terlihat. Jadi yang sengaja dibakar dan terbakar itu berbeda,” tutur Yayat.
Yayat beranggapan, cepatnya penyebaran api pada sejumlah gedung yang terbakar di Jakarta menunjukkan adanya indikasi gedung-gedung itu sengaja dibakar. Ia juga menduga ada pembiaran dari orang-orang yang terlibat aksi itu, sehingga ketika api menjalar ke berbagai sisi, mereka tidak melakukan pencegahan.
“Kalau misalnya sengaja dibakar, memang apinya tidak sengaja dipadamkan, tapi dipercepat supaya dia lebih besar. Itu yang membedakan,” sebutnya.
Hal ini juga senada dengan tulisan dari Gregg A. Hine (2004) berjudul "Fire Scene Investigation: An Introduction for Chemists". Hine menulis, bukti yang paling sering dikumpulkan dari lokasi kebakaran yang diduga disengaja biasanya berupa puing-puing dan material lain seperti lantai, karpet, papan dasar, hingga potongan furnitur. Semua ini kemudian diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya cairan mudah terbakar. Informasi dari saksi dan hasil pemeriksaan lapangan akan membantu penyidik kebakaran menentukan titik asal api.
Setelah titik asal ditemukan, penyidik akan menelusuri penyebab spesifik dari kebakaran tersebut. Jika ada dugaan bahwa kebakaran bersifat incendiary (disengaja), maka sampel dari lokasi biasanya diambil untuk mengecek penggunaan bahan pemercepat api (accelerant). Namun, tidak semua pelaku menggunakan cairan khusus—banyak yang memanfaatkan benda sederhana seperti kertas, kardus, atau material ringan lain untuk memicu dan mempercepat penyebaran api.
Karena itu, peran penyidik terlatih sangat penting untuk membaca tanda-tanda khas penggunaan cairan mudah terbakar. Indikasinya bisa berupa pola sebaran api yang tidak wajar, kerusakan intens di area tertentu, keberadaan wadah cairan, bau produk berbasis minyak bumi, lapisan mengilap di genangan air, atau pola bekas bakar yang sesuai dengan penggunaan bahan pemercepat api.

Pengamat Tata Kota, Azas Tigor Nainggolan, juga menilai bahwa terbakarnya gedung-gedung di Jakarta itu tidak terjadi secara natural. Ia menyoroti pola serupa dalam pembakaran gedung secara sengaja, seperti yang pernah ia alami pada tahun 1998 silam.
“[Pembakaran] gedungnya atau haltenya itu nggak natural. Itu sih masalah gampang saja, itu mudah saja. Karena saya punya pengalaman juga, saya tahun 1998 itu kan saya relawan kemanusiaan yang bantu korban yang masih kebakar-kebakar di mal,” ucap Azas kepada wartawan Tirto, pada Senin.
Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 menunjukkan, insiden kebakaran yang terpusat di Jakarta pada waktu itu dilakukan oleh kelompok provokator. Kelompok itu bertugas memancing keributan, melakukan pengrusakan, pembakaran, hingga mendorong penjarahan.
Laporan TGPF juga mencatat, kelompok ini datang dari luar, tidak berasal dari penduduk setempat, dalam kelompok kecil (lebih kurang belasan orang), terlatih (mempunyai kemampuan terbiasa menggunakan alat kekerasan), dan bergerak dengan mobilitas tinggi.
Media Narasi juga pernah mempublikasikan analisis mereka terhadap pembakaran Halte TransJakarta Sarinah pada 8 Oktober 2020, yang menunjukkan adanya pola yang terencana. Dengan menggabungkan video dari berbagai sumber terbuka, tim Narasi mengungkap bahwa para pelaku memang datang khusus untuk membakar halte dan memperburuk situasi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja. Mereka sempat berfoto, melakukan pengamatan, lalu berpencar untuk menyalakan api. Saat bentrokan mahasiswa dan polisi pecah di perempatan Sarinah, kelompok ini justru sibuk merusak halte dan menyulut api dari dalam.
Dalam waktu hanya satu jam, api berhasil membesar dan membuat bara di Jalan MH Thamrin. Temuan Narasi juga menegaskan bahwa pelaku bukan bagian dari mahasiswa maupun buruh yang menjadi motor utama aksi penolakan UU Cipta Kerja.
Kembali pada Azas. Ia menduga, pembakaran-pembakaran di demonstrasi akhir Agustus dilakukan dengan menggunakan molotov. Menurutnya, para pelaku juga bisa jadi menambahkan bahan styrofoam hingga bensin campuran untuk membuat api menjalar lebih besar.
Azas menjelaskan, apabila tanpa adanya bahan-bahan tambahan, kebakaran tidak akan terjadi dalam waktu yang cepat. Apabila hanya menggunakan sedikit sumber api, kebakaran juga menurutnya akan padam dengan sendirinya.
“Kalau tidak terlalu banyak [sumber apinya], dia akan mati sendiri, dia [tidak] menyebar. Kalau dari molotov [saja] ya. Tapi kali ini kan ada juga disertai bahan campuran. Terus juga bahan-bahan tambahan, misalnya kaya styrofoam, kayak gitu,” sebutnya.
Ia menambahkan, untuk mempercepat penyebaran api, pelaku pembakaran itu bisa saja menggunakan bahan-bahan kimia terlarang dalam menyulut api menjadi lebih besar. Meski begitu, ia mengatakan bahwa bahan-bahan kimia terlarang tidak mudah untuk didapatkan. Sehingga, bisa saja orang yang melakukan pembakaran itu sudah terlatih dan memiliki akses khusus.
“Jadi nggak sembarangan orang, itu bisa jadi memang [menggunakan bahan kimia terlarang] itu. Tapi terus nggak sembarangan orang bisa beli itu,” tutupnya.
Penulis: Naufal Majid
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































