tirto.id - Ada istilah "Perempuan sisa" yang merujuk bagi mereka yang masih melajang. Istilah ini masuk ke dalam buku bertajuk Laporan Situasi Bahasa di Cina (2006) yang berisi kata-kata populer di Cina. Dilaporkan oleh Quartz, buku yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan Cina itu menyebutkan bahwa "Perempuan sisa" merujuk pada perempuan dengan usia di atas 25 tahun yang belum menikah.
Di masyarakat Cina daratan hari ini, perempuan lajang masih dipandang sebelah mata. Status menikah punya derajat lebih tinggi ketimbang tingkat pendidikan dan kesuksesan karier. Meski demikian, semakin banyak perempuan yang memutuskan hidup melajang dengan alasan lebih bahagia.
“Buatku, melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan spiritualitas dan mengupayakan jenjang karier yang baik lebih penting dan bermakna daripada mengurus suami dan anak,” kata Sochoe Wang, 40 tahun, kepada media Singapura Strait Times.
Bagi perempuan, keputusan hidup melajang bisa dilihat sebagai upaya melawan ketakutan. Stereotipe buruk terhadap perempuan dewasa yang melajang tidak hanya berlaku di Cina melainkan pula di banyak negara Asia lain (termasuk Indonesia), Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa. Psikolog asal University of California Bella DePaulo bahkan menyatakan stereotipe tersebut sebagai pandangan yang telanjur diterima khalayak umum.
Sebagian perempuan masih rela tertekan dalam hubungan cinta yang hambar dan berusaha mati-matian untuk memahami pasangan ketimbang bersikap tegar menghadapi omongan nyinyir masyarakat yang menganggap mereka tidak sempurna.
“Enam tahun lalu aku memilih putus setelah lama pacaran. Dia sebenarnya pria yang sangat baik, tapi aku enggak cinta dia. Setelah putus, aku menemukan sisi lain diriku yang menarik. Aku merasa lebih independen, bebas jalan-jalan ke sana sini, dan pindah kerja sesuka hati. Aku benar-benar bangga karena bisa melawan stigma terhadap perempuan lajang,” kata Diana, 33 tahun kepada Huffington Post.
“Selama ini orang selalu disuguhi pandangan bawa pernikahan bisa membuat seseorang lebih bahagia, sehat, dan panjang umur. Hal itu bikin orang menilai hidup lajang sebagai ancaman. Padahal, melajang bisa meningkatkan kreativitas, spiritualitas, membuat orang lebih relaks, dan mampu mengembangkan diri secara optimal,” kata DePaulo yang konsisten melakukan penelitian tentang kaum lajang.
“Yang perlu diingat, pendapat orang lain itu enggak penting. Yang penting itu kenyamanan dirimu dan kamu harus percaya dengan nalurimu,” kata Lori, 45 tahun.
Lembaga riset pasar Mintel pernah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa 61% perempuan merasa lebih bahagia karena menjalani hidup lajang. Profesor dari University of Essex, Emily Grundy menganggap hal tersebut terjadi karena perempuan lebih mampu bersosialisasi dan cenderung mampu lebih luwes dalam melakukan berbagai aktivitas seorang diri.
Time pernah mengumpulkan beberapa pendapat pakar tentang keuntungan hidup melajang. Penulis dan pengamat relasi romantis Susan Winter berkata hidup lajang menyebabkan keterbukaan pola pikir dan kesempatan memikirkan berbagai impian baru. “Biasanya jika kita berada dalam sebuah hubungan, sebagian besar pikiran kita tersita untuk memikirkan pasangan dan arah hubungan.”
Psikolog asal New York Dardashti yakin melajang bikin seseorang lebih berani mengambil risiko dalam hidup dan tertantang dalam menjalani hal-hal tak terduga yang mungkin terjadi.
“Seseorang bisa jadi lebih kreatif ketika single karena bisa lebih fokus memikirkan hal-hal yang hendak ia lakukan,” kata Dardashti seperti yang terulis dalam Time.
Penulis How to Be Single and Happy, Jenny Taitz bilang bahwa melajang adalah kesempatan untuk memahami dengan baik hal-hal yang dibutuhkan dan hendak dilakukan dalam hidup. Dan, yang tak kalah penting, melajang bisa membuat seseorang mandiri secara finansial.
Dari sisi kesehatan, ada pula pendapat yang menyebut melajang meningkatkan kualitas tidur dan mampu memotivasi seseorang untuk melakukan lebih banyak aktivitas fisik.
Di Negara Paling Membahagiakan
Selain dikenal sebagai salah satu negara dengan indeks kebahagiaan warga yang tinggi, Swedia juga punya predikat sebagai tempat rumah tangga tunggal. Going Solo: The Extraordinary Rise and Surprising Appeal of Living Alone (2012) karya Eric Klinenberg menuliskan bahwa pada 1930 muncul sebuah kolektif yang terdiri dari arsitek, social planners, dan kaum feminis, yang bertujuan menciptakan tempat tinggal kolektif bagi perempuan lajang.
Tempat tinggal itu diberi nama ‘collective house’-- di zaman sekarang bentuknya lebih mendekati apartemen. Kondisi perekonomian Swedia yang stabil dan bertambahnya pilihan orang untuk hidup lajang membuat pemerintah setempat memperbanyak proyek collective house.
Hal itu membuat Swedia jadi negara pertama yang memandang hidup lajang sebagai sebuah kewajaran. Klinenberg bilang bahwa pada awal 2010-an, keputusan untuk tinggal seorang diri bahkan terjadi di kaum muda berusia awal dua puluhan. Alasannya karena situasi mendukung dan mereka menikmati hidup mandiri.
Tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa mereka kesepian. Klinenberg menyatakan bahwa sejak dulu orang Swedia mampu bersosialisasi dengan baik dan punya inisiatif untuk melakukan berbagai aktivitas dalam kelompok.
Sampai saat ini populasi kaum lajang di Swedia, Norwegia, Finandia, dan Denmark terus meningkat. Catatan Klinenberg menyebut jumlah rumah tangga tunggal di tiap negara tersebut lebih dari 40%.
“Kami melihat kesendirian memberi kebebasan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan sosial secara intens,” kata Klinenberg.
Ia mengamati Cina, India, dan Brazil sebagai negara-negara dengan pertumbuhan rumah tangga tunggal yang terbilang pesat. AS pun mengalami hal serupa. Negara yang tadinya mendukung pentingnya seseorang untuk berkeluarga, kini sudah mengakui pandangan bahwa kebahagiaan tidak lagi bergantung dari relasi romantis melainkan kebebasan untuk melakukan kehendak pribadi.
Menua sendirian pun tak lagi jadi momok. “Family of Choice Are Remaking America” mencantumkan hasil penelitian yang menyebut perempuan lansia lajang selalu mendapat dukungan dan bantuan dari orang-orang di sekelilingnya.
“Kita harus ingat bahwa kaum lajang justru mampu menjaga kedekatan dengan teman, kolega, dan keluarga.”
“Bila seseorang mampu mengoptimalkan kesendirian, maka ia sanggup meluapkan berbagai energi positif dalam diri,” kata Klinenberg.
Editor: Suhendra