tirto.id - Gita Muttahari sempat terganggu dengan pertanyaan “kapan nikah”, terutama sejak ia lulus kuliah. Namun, kupingnya lama-lama menebal. Ocehan keluarga ia anggap sebagai angin lalu.
Pertengahan tahun 2019 Gita akan memasuki usia 31. Ia sudah tenang bersama kariernya sebagai salah satu pengelola co-working space sekaligus kedai kopi di Yogyakarta. Bukan karena pertanyaan soal berumah tangga mereda. Namun, karena teman-teman seusianya di kantor maupun tempat nongkrong juga banyak yang menjomblo.
“Ya ada yang seperti aku, pilihan aja. Jomblo karena pilihan. Haha.. Tapi ada juga yang fokus kuliah lagi. Yang pada punya pacarpun kan nikah enggak segampang itu,” katanya melalui pesan singkat WhatsApp, Rabu (1/1).
Gita hanya satu dari sekian warga milenial yang menunda usia pernikahan mereka. Hal ini sempat membuat heran seorang peneliti Nancy Smith-Hefner saat sedang berbincang dengan mahasiswa-mahasiswa Yogyakarta, sebagaimana dilaporkan Cassie Werber untuk Quartz pada pertengahan November 2018.
Werber mengutip data yang menunjukkan berapa minoritasnya perempuan Indonesia yang tak pernah menikah di ujung usia 40-an di Indonesia: dua persen. Namun, Werber mengamati tren keinginan para mahasiswi Indonesia kekinian untuk menyelesaikan pendidikan tingginya, menjajaki karier, baru memikirkan soal menikah.
Jika beberapa dekade yang lalu perempuan usia kepala tiga yang belum dipersunting jadi topik hangat pergosipan tetangga, kini orang-orang lebih santai menanggapinya. Orang-orang juga cenderung lebih bisa memaklumi alasan-alasan di balik kejombloan tersebut.
Marcia Inhorn adalah profesor antropologi hubungan internasional di Yale University. September lalu ia memandu konferensi yang membahas fenomena penundaan keputusan-keputusan besar dalam generasi muda kekinian, termasuk menunda pernikahan.
“Salah satu tren global yang benar-benar terlihat di berbagai hasil penelitian (yang dipresentasikan dalam konferensi) adalah penundaan pernikahan terutama di antara warga berpendidikan, terutama lagi perempuan,” kata Inhorn sebagaimana dikutip Werber.
Tren tersebut muncul di Yordania, Cina, Amerika Serikat, Rwanda, Jepang, hingga Guatemala. Untuk konteks Afrika, buktinya bisa mengacu pada riset Margaret Frye, profesor sosiologi University of Michigan.
Phys.org melaporkan Frye dibantu koleganya mengolah data dari 721 perempuan dari 30 negara di sepanjang Sub-Sahara Afrika. Hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan formal seadanya pun bisa membuat perempuan di Afrika menunda pernikahannya.
Frye menjelaskan, sekaligus menegaskan temuan Inhorn, bahwa di mana-mana perempuan yang berpendidikan akan menunda pernikahannya. Perbedaannya cuma soal akses.
Saat pintu menuju bangku sekolah terbatas untuk minoritas, perempuan yang kurang berpendidikan cenderung menikah jauh lebih awal ketimbang yang berpendidikan. Saat akses dibuka secara inklusif, perempuan berpendidikan rendah maupun tinggi berperilaku serupa untuk penundaan pernikahan—meski lama penundaannya tetap berbeda.
Penundaan pernikahan juga hanya satu bentuk dari penundaan-penundaan besar lain. Inhorn serta ilmuwan sosial lain mengistilahkannya sebagai waithood.
Waithood pertama kali dicetuskan oleh Diane Singerman, profesor American University, Washington DC, dalam risetnya tentang generasi muda Timur Tengah. Ia mempublikasikannya pada akhir 2007 dengan judul The Economic Imperatives of Marriage: Emerging Practices and Identities among Youth in the Middle East.
Ada beragam faktor yang melatarbelakangi penundaan menikah. Artinya tren tersebut didorong oleh sesuatu lebih kompleks ketimbang “pilihan” seperti yang diungkapkan Gita. Melalui berbagai penelitian soal waithood, muncul faktor-faktor di luar diri seseorang yang sifatnya memaksa.
Salah satu kasus yang diselidiki Singerman adalah Mesir. Anak muda Mesir menunda pernikahan bukan karena tidak ingin, tapi tidak punya cukup uang untuk hidup mandiri tanpa tinggal di rumah orangtua, membiayai upacara pernikahan, sampai menafkahi keluarga sendiri.
Singerman telah mengamatinya sejak 1990-an. Problemnya kian pelik karena tingkat pengangguran di Mesir tergolong tinggi, terutama saat terjadi ketidakstabilan politik dalam negeri. Sebagaimana Singerman katakan pada William Kremer BBC Magazine tahun 2015 silam, pernikahan bukan lagi sulit, tapi hampir mustahil.
“Problem finansial besar ini tiba-tiba muncul dan menjadi akar permasalahan lain,” katanya.
Misal, lanjutnya, masalah psikologis karena seks di luar pernikahan itu tabu. Muda-mudi Mesir otomatis dilanda kesepian akut. Belum lagi stigma seseorang belum dianggap dewasa sebelum menikah. Namun karena mereka juga bukan lagi anak-anak, maka mereka terjebak dalam penundaan tanpa kepastian.
Penantian panjang itulah yang menjadi asal muasal waithood. Istilah untuk para praktisi waithood bermacam-macam. Di Italia disebut bambossioni (bocah besar). Yo-yo generation di Inggris. Youthmen di Afrika Selatan. Furita di Jepang. Dan slackers di Amerika Serikat.
Para orangtua secara umum memakai standar usia dalam memandang kedewasaan (18 atau 21 tahun ke atas). Tapi Singerman juga menitikberatkan persepsi kultur lokal. Ada yang mendasarkannya pada pernikahan, seperti di Timur Tengah. Di Eropa selatan, dewasa sama dengan punya anak. Sedangkan di Eropa utara, tanda kedewasaan adalah saat si anak tidak lagi tinggal di rumah orangtua.
William Kremer turut mengutip hasil penelitian antropolog Alcinda Honwana di Mozambique, Afrika Selatan, Senegal, dan Tunisia. Sebagian muda-mudi di negara-negara itu terjebak waithood. Kondisi tersebut membuat mereka bertahan hidup dengan berbagai cara.
“Orang-orang bersedia mencari kerja di sektor informal, bermigrasi, atau mengafiliasikan diri mereka kepada kelompok-kelompok radikal-revolusioner. Mereka menanggapi waithood sebagai situasi yang dipaksa hadir untuk mereka tanggung karena kegagalan kebijakan ekonomi pemerintah yang korup.”
Ada banyak aktivis di demonstrasi Musim Semi Arab tahun 2011 yang berstatus sebagai kaum muda, terdidik, tapi dikucilkan secara sosial serta punya terlalu banyak waktu luang.
Singerman percaya migrasi orang-orang Timur Tengah dan Afrika ke wilayah baru sedikit banyak didorong oleh motif mencari uang untuk menikah. Ia bahkan menilai bahwa susah menikah bisa menjadi salah satu faktor lahir serta berkembangnya ISIS. Masuk akal, sebab ISIS merekrut anak muda dengan janji istri. Terlebih, perkosaan juga marak dilakukan oleh anggota ISIS di daerah konflik.
Sekali lagi, tiap wilayah punya faktor khas pendorong waithood. Di kawasan yang stabil seperti Eropa atau Amerika Utara, generasi milenial mencoba mendobrak kemapanan hidup ala orangtuanya.
Pernikahan dianggap sudah terlalu umum, sehingga ditunda pun tak masalah—bahkan tidak melaksanakannya pun tak mengapa. Mereka lebih tertarik mengunjungi tempat-tempat baru, melakukan aktivitas atau hobi baru, yang bagi mereka sama berharganya dengan menikah atau mengelola rumah tangga. Bak sedang membentuk status quo baru.
Editor: Windu Jusuf