Menuju konten utama

Megawati dan SBY: Ketika Pilpres 2019 Gagal Membuat Keduanya Rujuk

Perseteruan Megawati dan SBY berlangsung dalam 3 babak: Kudatuli 1996, Kabinet Gotong Royong, dan dari Pilpres ke Pilpres.

Megawati dan SBY: Ketika Pilpres 2019 Gagal Membuat Keduanya Rujuk
Megawati dan SBY bersalaman dan saling menyapa saat keduanya hadir di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/8/2017). Keduanya mengikuti upacara peringatan hari ulang tahun Republik Indonesia ke-72. Dokumentasi Susilo Bambang Yudhoyono/Anung Anindito

tirto.id - Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri pertama kali bekerja bersama dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.

Megawati menjabat wakil presiden, sedangkan SBY menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben). Sebelumnya, SBY meniti karier sebagai prajurit TNI Angkatan Darat selama 27 tahun. Pangkat terakhirnya letnan jenderal. Sementara karier politik Megawati mulai moncer ketika menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1993 dan dipaksa lengser oleh pemerintah Orde Baru tiga tahun sesudahnya.

SBY hanya setahun mengemban jabatan Mentamben. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kemudian mengangkat laki-laki kelahiran 9 September 1949 tersebut sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan (Menkopolsoskam) pada 23 Agustus 2000.

Memasuki 2001, pemerintahan Gus Dur diterpa prahara. DPR mengeluarkan Memorandum I untuk Gus Dur atas kasus buloggate dan bruneigate. Gus Dur dinilai melanggar haluan negara dan tidak bebas korupsi pada Februari 2001. Pada 30 April 2001, DPR mengeluarkan Memorandum II.

Penjelasan UUD 1945 menyebutkan apabila dalam waktu 30 hari setelah Memorandum II dikeluarkan DPR menilai presiden tidak melakukan koreksi diri seperti yang diminta, DPR dapat meminta MPR menggelar Sidang Istimewa (SI) untuk memakzulkan presiden. Jelang 30 hari setelah Memorandum II, Gus Dur bergeming.

Peneliti komunikasi politik Tjipta Lesmana menuliskan dalam Dari Soekarno Sampai SBY (2008) bahwa pada sidang kabinet 25 Mei 2001 Gus Dur mengajukan kompromi: wakil presiden akan diberikan kekuasaan eksekutif untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari dan sejumlah partai akan diberi tambahan kursi di kabinet. Sebagai imbalan, Gus Dur meminta Megawati menghentikan proses impeachment atas presiden. Megawati diberi batas waktu memutuskan menerima atau menolak tawaran itu hingga tengah malam.

Sekretaris Wakil Presiden Bambang Kesowo mengatakan Gus Dur akan mengeluarkan dekrit atau maklumat keadaan darurat apabila batas waktu itu dilewati. Gatramelaporkan dekrit itu kabarnya berisi tiga hal: pemberlakuan darurat sipil, pembubaran DPR, serta pemilu untuk memilih anggota DPR/MPR baru 60 hari setelah dekrit dikeluarkan. Menurut Tjipta Lesmana pula, Juru Bicara Kepresidenan Adhie Masardie tidak membantah atau tidak mengiyakan kabar yang disebutkan Bambang Kesowo.

Menanggapi Memorandum II, Gus Dur mengeluarkan Maklumat pada 28 Mei 2001. Isinya memerintahkan Menko Polkam SBY segera memulihkan keamanan, ketertiban, dan menegakkan hukum. Merespon itu, SBY mengatakan Maklumat bukanlah pernyataan darurat sipil, militer, dan dekrit pembubaran DPR. Setelahnya, SBY menemui Megawati.

"Saya pastikan bahwa penugasan ini sesungguhnya sangat tidak luar biasa, dan berbeda atau jelas tidak sama dengan Supersemar dalam era pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru. Maklumat Presiden itu bukan pula pengganti Dekrit Presiden," ujar SBY kepada Gatra.

Sehari kemudian, tepat 30 hari setelah Memorandum II dikeluarkan, DPR memutuskan bahwa MPR harus segera menyelenggarakan SI. Lalu, pada 1 Juni 2001, Gus Dur mencopot SBY dari jabatan Menkopolsoskam.

"Karena SBY tidak melaksanakan Maklumat Presiden dan terjadi ketegangan antara Presiden Wahid dengan DPR, SBY dicopot dari jabatannya sebagai Menko Polsoskam pada 1 Juni 2001," catat Garda Maeswara dalam Biografi Politik Susilo Bambang Yudhoyono (2009).

Babak #2: Kabinet Gotong Royong

Amien Rais, yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus Ketua MPR, mengumumkan pada 21 Juli 2001 bahwa pihaknya akan mempercepat penyelenggaraan SI, yakni pada 23 Juli 2001.

Sehari sebelum SI digelar, Amien dan Megawati bertemu di kediaman Megawati di Kebagusan, Jakarta Selatan. Seusai pertemuan, Amien mengatakan Indonesia akan memiliki presiden baru. Sementara di Istana Negara, Agum Gumelar, Menkopolsoskam pengganti SBY, membujuk Gus Dur agar tidak mengeluarkan dekrit.

Namun, Gus Dur tetap mengeluarkan dekrit berjudul "Maklumat Presiden Republik Indonesia" pada 23 Juli 2001 dini hari. Melalui dekrit itu, Gus Dur membekukan MPR dan DPR, mempercepat penyelenggaraan pemilu dalam waktu 1 tahun, dan membekukan Partai Golkar.

Meski demikian, MPR tetap menggelar SI pada pagi harinya. MPR memakzulkan Gus Dur dan memilih presiden baru. Pada hari itu, Megawati dilantik MPR menjadi presiden.

Sehari setelah Megawati dilantik, MPR menggelar SI untuk memilih wakil presiden, jabatan yang sebelumnya dipegang Megawati. Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia mencalonkan SBY sebagai wapres. Namun, menantu Jenderal Sarwo Edhie itu hanya mendapat 122 suara, kalah dari Ketua Umum PPP Hamzah Haz dan Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung. Akhirnya, Hamzah Haz terpilih sebagai wapres.

SBY urung menjabat kursi RI 2. Namun, ada yang menyebut Megawati "menyelamatkan" karier politik mantan Kassospol TNI AD tersebut.

"Saya meminta Mas untuk membantu saya lagi, dengan jabatan seperti dulu, sebagai Menko Polkam," ujar Mega saat menelepon SBY, sebagaimana dicatat Garda Maeswara dalam Biografi Politik Susilo Bambang Yudhoyono (2009).

Balas SBY, "Bu, kalau ini memang kepercayaan, kemudian untuk tujuan yang baik, untuk pemerintahan kita. Saya siap mengemban tugas itu."

Ada pula yang mengatakan, sebagaimana disebut Maeswara, "Awalnya Mega ragu karena tingkah laku SBY selama di ranah politik tidak menunjukkan loyalitas. Akan tetapi karena SBY terus meminta dan berjanji akan bekerja sebaik-baiknya naluri keibuan Mega tak tega menolak SBY."

Megawati akhirnya menggandeng SBY juga. Suami Kristiani Herrawati itu dilantik sebagai Menkopolkam pada 23 Agustus 2001. Tidak sampai sebulan kemudian, SBY mendirikan Partai Demokrat pada 9 September 2001—tepat di hari ulang tahunnya.

Menurut Maeswara, selama menjabat Menkopolkam, SBY membangun citra sebagai orang yang mengendalikan Megawati. Putri Sukarno itu hemat bicara, jadilah SBY menjadi semacam juru bicara pemerintah. Namun, kepopuleran SBY ini juga yang mengusik Megawati.

Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004, friksi antara Megawati dan SBY meruncing. Pada Februari 2004, SBY merasa tidak nyaman. Dia tak dilibatkan dalam rapat-rapat pengamanan pemilu. Menurut SBY, itu adalah tugasnya. Namun, rapat tersebut malah dipimpin Menteri Sekretaris Negara Bambang Kesowo.

Pada 1 Maret 2004, Taufiq Kiemas, suami Megawati, mengatakan SBY jenderal yang kekanak-kanakan. "Kalau memang bukan anak kecil dan merasa dikucilkan lebih baik mundur saja," ujar Taufiq yang juga politikus PDIP.

Tepat 11 Maret 2004, SBY mengundurkan diri dari Kabinet Gotong Royong. Tak lama setelahnya dia menyatakan maju sebagai kandidat presiden di Pilpres 2004.

"Sekarang, dengan lapang dada, tanpa emosi, tanpa sakit hati, saya memutuskan mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam," begitu kata SBY kepada wartawan saat mengumumkan pengunduran dirinya.

Babak #3: Ketika Mega Tak Lagi ke Istana

SBY maju sebagai kandidat presiden di Pilpres 2004. Megawati, presiden petahana, menjadi lawannya. SBY menggandeng Jusuf Kalla (JK), saudagar dari Makassar yang juga politikus Golkar. Sementara Megawati menggaet Hasyim Muzadi, yang saat itu merupakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Dalam perhelatan tersebut, SBY-JK menang.

Lima tahun kemudian, giliran Megawati maju sebagai kandidat presiden penantang petahana SBY di Pilpres 2009. Megawati dan Prabowo Subianto, eks Danjen Kopassus dan bekas menantu Presiden Soeharto, bersatu. Prabowo maju sebagai calon wakil presiden Megawati. Pasangan yang dijuluki Mega-Pro itu kalah dari SBY yang menggaet Boediono, mantan Gubernur Bank Indonesia.

Selama dua periode pemerintahan SBY, Megawati mengarahkan PDIP sebagai oposisi. SBY sempat menawari PDIP untuk masuk dalam koalisi partai pendukung pemerintah saat periode kedua pemerintahannya, namun Megawati menolak. Selama 10 tahun itu pula Megawati tidak pernah menghadiri perayaan Hari Kemerdekaan di Istana Negara.

Enam bulan sebelum Pilpres 2009, Megawati diwawancarai Tempo. Ia ditanya, “Anda merasa sakit hati terhadap SBY?”

Megawati menjawab, “Saya enggak merasa sakit hati. Saya hanya enggak mau ketemu saja dengan orang yang menurut saya kok sikapnya seperti itu. Tidak boleh? Ya, boleh saja, itu kan hak saya.”

Dalam wawancara yang dimuat Tempo edisi 22-28 Desember 2008 itu, Megawati mengatakan dia membolehkan suami (Taufiq Kiemas) dan anaknya (Puan Maharani) bertemu SBY. Pada 2005, misalnya, Taufiq bertemu SBY sebanyak 5 kali. Sedangkan Puan baru saja bersua SBY di Yogyakarta sepekan sebelum Tempo mewawancarai Megawati. Namun, apabila SBY meminta bertemu, Megawati enggan memenuhi permintaan itu.

“Ya diemin sajalah. Kalau mau ketemu, terus untuk apa? Kok ya minta ketemunya hari-hari ini,” ujar Mega.

Infografik 3 Babak Megawati vs SBY

Babak #1: Mengusik Kembali Kudatuli

Peneliti politik Indonesia hafal betul dengan kelakar "Hari ini politikus bilang A, besok bilang B. Kemarin politikus itu dukung C, hari ini dukung D". Politik Indonesia itu dinamis, kata mereka, merangkum dan memaklumkan situasi tersebut dalam kalimat yang terkesan ilmiah.

Ali Mochtar Ngabalin pada Pilpres 2014 tampil sebagai pendukung Prabowo. Setelah diangkat sebagai Kantor Staf Presiden (KSP), Ngabalin muncul sebagai pembela garis keras Jokowi. Kejadian serupa juga terjadi pada La Nyalla Mattaliti. Pada 2014, La Nyalla mendukung Prabowo, tetapi kini terang-terangan memihak Jokowi. PDIP dan Gerindra yang berbarengan sebagai oposisi selama periode kedua pemerintahan SBY dan mengusung Jokowi-Basuki di Pilgub DKI Jakarta 2012, kini seolah-olah bermusuhan karena mengusung kandidat capres-cawapres berbeda.

Namun, 14 tahun setelah Taufiq Kiemas mengatakan SBY sebagai jenderal kekanak-kanakan, tanda-tanda perdamaian Megawati dan SBY belum muncul. Pada Pilpres 2014 dan Pilgub DKI Jakarta 2017, PDIP dan Demokrat lagi-lagi tidak berkoalisi. Dalam empat kali perayaan Hari Kemerdekaan di Istana Negara pada era Presiden Jokowi, SBY hanya hadir sekali, yakni pada 2017.

Lalu, pada 26 Juli 2018, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tiba-tiba meminta SBY untuk mengungkap kasus "Kudatuli" dan akan melaporkan SBY ke Komnas HAM. "Kudatuli" merujuk penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 yang saat itu didiami kelompok pendukung Megawati pada 27 Juli 1996. Saat itu, Megawati menjabat Ketua Umum PDI versi Munas Kemang 1993. Namun, Soeharto berusaha menggembosinya lewat Soerjadi yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI melalui Kongres Luar Biasa PDI di Medan, Juni 1996.

Penyerbu merupakan kelompok Soerjadi. Namun peneliti militer Aris Santoso menuliskan dalam "Peristiwa 27 Juli: Konflik Para Jenderal AD, lalu Merapat ke Jokowi" (2018) bahwa penyerbuan itu juga hasil konflik internal dalam tubuh Angkatan Darat. Kala peristiwa terjadi, SBY menjabat sebagai Kasdam Jaya. Dia diduga terlibat, namun tidak pernah terbukti.

Jelang Pilpres 2019, pendukung Jokowi kerap mengklaim bahwa capaian Jokowi lebih baik daripada SBY—suatu hal yang ditolak pendukung SBY. Sedangkan SBY sempat mengatakan bahwa ada ketidaknetralan TNI, Polri, dan BIN bentukan pemerintahan Jokowi dalam Pilkada 2018. SBY dan Demokrat sudah menyatakan mendukung Prabowo, meskipun SBY pernah memuji Megawati dan kesempatan untuk mendukung Jokowi sempat terbuka.

Boleh jadi adagium "politik itu dinamis" tidak berlaku dalam relasi Megawati dan SBY, meskipun partai yang dipimpinnya berkoalisi dalam berbagai pemilihan kepala daerah. Pilpres 2019 pun gagal membuat Megawati dan SBY rujuk.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan