tirto.id - Partai Demokrat bereaksi keras terhadap kabar pergantian prasasti Bandara Internasional Lombok yang ditandantangani Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan prasasti atas nama Jokowi. Isu ini menguat seiring dengan pergantian nama bandara itu menjadi Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid.
Bandar Udara Internasional Lombok resmi ganti nama lewat Surat Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KP 1421 tahun 2018 tanggal 5 September 2018. Keputusan ini sendiri mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, salah satunya diberikan kepada Tuan Guru Kiai Haji M. Zainuddin Abdul Madjid. Buat mengenang jasanya, maka Abdul Madjid dipakai sebagai nama bandara.
Tuan Guru Kiai Haji M. Zainuddin Abdul Madjid adalah kakek Gubernur NTB saat ini, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi. Sementara TGB yang dulunya merupakan kader Partai Demokrat pada Pilpres 2019 menyatakan mendukung Jokowi untuk periode kedua.
Ketua DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menyebut kebijakan Jokowi mengubah nama Bandara Internasional Lombok, tidak tepat. Menurut dia, alih-alih mengganti nama Bandara, Jokowi lebih baik fokus memulihkan keadaan di Lombok setelah rentetan gempa yang terjadi sepanjang Agustus 2018.
“Memang pencitraan Pak Jokowi kebablasan sekali di sini. Terlebih NTB ini kan belum selesai dari peristiwa gempa,” kata Ferdinand di Rumah SBY, Mega Kuningan, Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Syarifudin Hasan. Menurutnya, pengubahan prasasti hanya melanjutkan klaim-klaim Jokowi atas program-program SBY.
“Kalau sekadar programnya dilanjutkan, kami tentu senang. Tapi kalau mengklaim, ya tidak bisa begitu dong. Pemerintahan Pak SBY sudah bekerja banyak," kata Syarifudin kepada reporter Tirto, Kamis (13/9/2018).
Beberapa program Jokowi memang banyak yang mirip dengan program SBY. Sebut saja Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang mirip dengan program BPJS era SBY. KIS juga masih menggunakan dana BPJS, meskipun Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek saat peluncuran KIS tetap menilai program ini berbeda dengan BPJS lantaran sasarannya berbeda.
Lalu kawasan wisata Mandalika, NTB yang diresmikan Jokowi pasa 20 Oktober 2017 setelah 29 tahun tidak selesai. Jokowi saat peresmian mengklaim itu sebagai bagian dari kinerjanya. Partai Demokrat pun memprotes klaim itu karena pada 2011 lalu, SBY dianggap telah meresmikan groundbreaking pembangunan kawasan tersebut.
Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto membantah pemerintahan Jokowi suka mengklaim program SBY. Ia menyatakan, Jokowi tidak pernah berniat mengubah nama prasasti di Bandara Internasional Lombok dan tidak pernah berniat mengklaim keberhasilan SBY di pemerintahan sebelumnya.
“Jadi kami berkampanye yang berkeadaban, membangun Indonesia. Masa berkampanye merobohkan,” kata Hasto menanggapi serangan politikus Partai Demokrat.
Klaim Untungkan Jokowi, Rugikan Rakyat
Direktur Populi Centre Usep S Ahyar menilai politik klaim seperti yang dilakukan Jokowi memang bisa menguntungkannya secara elektoral. Sebab, menurut dia, rakyat akan memiliki penilaian baik atas kinerjanya.
“Rakyat pasti membandingkan pemerintahan Jokowi dengan pemerintahan sebelumnya. Mereka akan menganggap Jokowi cekatan menyelesaikan pekerjaan dengan klaim-klaim itu," kata Usep kepada reporter Tirto.
Menurut Usep, ini terbukti dari tingkat kepuasan masyarakat terhadap Jokowi dari hasil survei lembaganya yang mencapai 70 persen. “Itu paling banyak puas dengan pembangunan di era Jokowi. Artinya klaim infrastruktur itu berpengaruh," kata Usep.
Sebaliknya, kata Usep, kinerja SBY bakal perlahan dilupakan rakyat karena tertutupi dengan klaim-klaim Jokowi. "Jadi wajar kalau Demokrat marah. Mereka tidak bisa mengkapitalisasi peninggalan SBY buat elektoral," kata Usep.
Hanya saja, Usep menganggap politik saling klaim ini tidak produktif bagi masyarakat. Alasannya, kata Usep, hal itu bakal membuat program-program pemerintah tidak lagi murni berorientasi pada kepentingan rakyat, melainkan hanya demi elektoral.
"Hasilnya ya pembangunan seringkali tidak merata dan tidak tepat sasaran. Hanya di kantong-kantong potensi suara saja,” kata Usep.
Hal itu, kata Usep, bisa dilihat dari fokus pembangunan Jokowi di NTB, Jawa Barat, dan Papua. Menurut dia, di tiga wilayah itu Jokowi tidak memiliki basis suara yang kuat. Sehingga, butuh mengakselerasi pembangunan untuk merebut simpati masyarakat.
"Jadi memang lebih baik pembangunan itu tidak jadi alat politik ya,” kata Usep.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz