tirto.id - Ponsel saya berbunyi ketika saya sedang fokus melakukan rutinitas harian. Ada pesan WhatsApp dari seorang teman. Ia mengirim tangkapan layar akun Facebook-nya.
Media sosial yang didirikan oleh Mark Zuckerberg itu mengingatkan apa yang diunggah di tanggal tersebut, beberapa tahun yang lampau: foto kami. Lantas, kami pun bernostalgia, mengenang beragam peristiwa yang menyenangkan di masa itu.
Itulah media sosial. Saat ini, kita bisa menemukan miliaran foto dan utas terunggah pada berbagai media sosial, dengan berbagai macam emosi—canda, tawa, sedih, haru—beberapa di antaranya adalah foto Anda, baik yang ditandai oleh sahabat, kolega, atau saudara, atau mungkin Anda unggah sendiri.
Gambar dan utas tersebut kini terekam dalam memori dunia maya dan berkat perkembangan teknologi, beberapa tahun kemudian platform itu akan memunculkan gambar dan utas yang sama melalui fitur memori.
Media Sosial Menyimpan Kenangan, Termasuk yang Buruk
Keceriaan yang dibagikan di masa lalu mungkin bisa membuat kita geli melihatnya, tapi situs Scientific American mengingatkan kita bahwa algoritma internet tak memiliki empati. Artinya, ia bisa membikin kita bungah karena kenangan indah, tapi juga bisa bikin muram setelah menghadirkan kenangan pahit.
Artikel Nausicaa Renner di The New Yorker mengulas buku The End of Forgetting: Growing Up with Social Media yang ditulis oleh Kate Eichhorn. Menurut buku tersebut, fitur pengingat berbahaya bagi mereka yang sedang membangun identitas baru.
Contohnya pada seseorang yang sedang bertransisi. “Sekarang karena internet lebih permanen dan lebih luas, sulit untuk mengindari peninggalan identitas masa lalu,” tulis Renner.
Atau bayangkan jika yang muncul adalah gambar yang memunculkan trauma. Misalnya jika di masa lalu Anda pernah mengunggah foto keceriaan dengan mantan pasangan, tetapi hubungan itu harus berakhir setelah Anda mengalami kekerasan. Saat kondisi psikis Anda belum pulih sepenuhnya, memori itu muncul.
Kasus lain yang diulas Eichhorn adalah cerita dari Ghyslain Raza, seorang remaja belasan tahun asal Kanada yang pada 2002 merekam dirinya menggunakan bermain dengan bola golf retriever, seolah benda tersebut adalah lightsaber. Video itu kemudian ditemukan oleh rekan sekelasnya, diunggah ke internet dengan judul “Star Wars Kid”, dan ditonton jutaan orang. Video tersebut menjadi populer.
Apa yang terjadi setelah itu?
Raza mengalami perundungan di sekolah dan ia harus menjadi pasien di bangsal psikiatris. Rekam memori di media sosial akan menjadi tantangan besar bagi mereka yang memiliki trauma.
Ini menunjukkan bahwa kita tak bisa sekadar menganggap fenomena ini adalah konsekuensi. Bisa saja Anda hanya pengguna yang memanfaatkan platform untuk berjejaring, tapi di kemudian hari seorang rekan menandai Anda dalam unggahan mereka. Menurut Eichhorn, seperti diulas Renner, ini adalah bukti bahwa media sosial telah mempersempit privasi kita.
Media Sosial Bikin Tak Punya Pilihan
Dalam wawancaranya dengan Vox, Eichhorn mengatakan bahwa fitur memori ini memanjakan manusia, sehingga kita tak perlu repot mengingat. “Ini mungkin benar, tetapi secara bersamaan kita juga kehilangan sesuatu: kemampuan kita untuk mengendalikan apa yang kita bawa ke masa depan,” ujarnya kepada Vox.
Ketika perkembangan teknologi digital belum sepesat sekarang, kita masih bisa memilih foto masa lalu yang akan kita simpan, dan kepada siapa foto itu akan kita bagikan. Namun, sekarang, gambar itu lebih banyak daripada sebelumnya.
Situsweb Sccientific American mengatakan bahwa jejak digital membawa efek yang begitu kuat bagi para penggunanya. Ini adalah kekejaman algoritma yang tidak disengaja. “Dengan membuat notifikasi Facebook yang mengingatkan Anda pada kenangan tertentu yang mengganggu. Ini berpotensi mengubah diri Anda yang sebenarnya,” tulis Scientific American.
Menurut PsychCentral, hal berbahaya lainnya dari memori digital adalah sulitnya memaafkan. “Batas ingatan manusia memastikan bahwa kesalahan manusia pada akhirnya dilupakan,” ujar PsychCentral. Sebaliknya, dengan jejak digital yang tak bisa hilang, kita akan selalu teringat akan kejadian di masa lalu.
Dalam artikel di The New York Times, kurangnya kontrol diri atas privasi di media sosial bisa membuat kita terjerat dalam konsekuensi sosial seumur hidup, sebab hanya privasi yang bisa melindungi kita dari penilaian tak adil.
“Kita tidak mungkin mengendalikan apa yang orang lain katakan atau ketahui atau pikirkan tentang kita di dunia Facebook atau Google, kita juga tidak bisa secara realistis menuntut orang lain menghargai kita dan penghormatan yang menurut kita berhal kita dapatkan,” ujar The New York Times.
Editor: Maulida Sri Handayani