tirto.id - Saya masih ingat saat ibu melahirkan adik. Beliau menjadi sering marah, menjadi pendiam, bahkan ingin kabur dari rumah. Rumah yang dulu hangat mendadak terasa sesak. Ibu yang selama ini hadir dengan penuh kasih sayang dan senyuman, kini terlihat rapuh. Tidak ada yang sepenuhnya mengerti, bahkan ibu sendiri, bahwa kondisi ini merupakan gejala depresi pasca melahirkan.
Masyarakat menganggap ibu adalah sosok yang tangguh. Padahal, ibu juga mengalami kelelahan fisik, tekanan sosial, dan perubahan hormon yang memengaruhi kondisi mental. Maternal Mental Health Alliance (2023) mencatat 39 persen kematian ibu dalam beberapa minggu setelah melahirkan berkaitan dengan masalah kesehatan mental, seperti depresi atau kecemasan berat.
Dalam studi tentang aspek neurobiologis dan perilaku gangguan psikologis perinatal, Oancea dkk (2024) menyebut kondisi ini sebagai Postpartum Mood and Anxiety Disorders (PMADs), yaitu kondisi psikologis dan emosional yang memengaruhi wanita selama kehamilan dan pasca persalinan, termasuk depresi, kecemasan, dan gangguan suasana hati.
Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) (2023) merilis data bahwa 27 persen wanita mengalami depresi pasca melahirkan. Selain itu, data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tahun 2024 menyatakan bahwa 57 persen ibu menunjukkan gejala baby blues. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan prevalensi PMADs tergolong tinggi.
Ironisnya, berdasarkan penelitian Suryandari & Fajarsari (2023) mengenai ibu postpartum, hanya 14-16 persen ibu yang mendapatkan pertolongan profesional. Hal ini menggambarkan bahwa masih banyak ibu yang terbelenggu oleh PMADs.
Bukan Perkara Sepele
Lauren Dickason, seorang dokter asal Afrika Selatan yang tinggal di Selandia Baru, pada 2021 tega mengakhiri nyawa ketiga anaknya diduga karena mengalami depresi pasca melahirkan. Tragedi ini merupakan bentuk pengabaian terhadap PMADs yang berdampak serius.
Sebagian pihak masih menganggap PMADs sebagai hal wajar, bukan gangguan serius yang memerlukan penanganan. Gangguan kesehatan mental kerap dipersepsikan sebagai kelemahan pribadi yang memalukan, sehingga banyak ibu enggan mencari bantuan.
Padahal, dalam studi Taiwo dkk (2024) mengenai penurunan depresi pasca melahirkan, pengabaian terhadap PMADs dapat menimbulkan risiko serius, baik bagi ibu maupun anak, seperti keterlambatan perkembangan neurologis, masalah perilaku, gangguan keterikatan emosional, serta depresi dan kecemasan pada anak hingga remaja.
Dalam wawancara dengan BBC (2021), Psikiater Elvine Gunawan menegaskan bahwa stigma terhadap pengobatan psikiatri menyebabkan rendahnya kepatuhan pasien. Tanpa sistem kesehatan yang terintegrasi dengan dukungan psikososial pasca persalinan, PMADs menjadi beban sunyi yang dialami banyak ibu.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mencanangkan berbagai program, seperti pelatihan deteksi dini baby blues untuk bidan di puskesmas, hingga penyusunan modul mindfulness, self-talk, dan skrining dini gangguan mental pasca melahirkan.
Namun, upaya tersebut belum optimal dan pos pelayanan masih terfokus kepada anak. Selain itu, kunjungan rumah jarang diberdayakan sebagai intervensi dari tenaga terlatih untuk mengurangi beban mental pada ibu.
MCI Optimalkan Layanan yang Ada
Inilah urgensi yang ingin dijawab oleh MCI, Motherhood Care Intervention. Tidak dengan menciptakan sistem baru, melainkan mengoptimalkan peran dan sistem Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang sudah ada. MCI akan berfokus pada deteksi dini serta dukungan psikososial terhadap ibu dengan gejala PMAD. MCI akan mengadaptasi dan menyempurnakan komponen yang sudah ada melalui mekanisme home visit dan peran aktif puskesmas serta posyandu.
Program ini berlandaskan pendekatan komunitas dan bukti ilmiah. Thinking Healthy Programme (THP) pertama kali dikembangkan di Pakistan (2008) dan diadopsi oleh WHO sebagai model intervensi berbasis komunitas untuk negara dengan sosio-ekonomi rendah.
THP merupakan pendekatan kunjungan rumah yang menekankan hubungan empatik dan penerapan prinsip CBT ringan oleh tenaga non-spesialis untuk ibu yang mengalami depresi pasca melahirkan.
Hasilnya di negara Pakistan, tingkat pemulihan PMADs mencapai 3 dari 4 wanita. Ini membuktikan bahwa perubahan nyata tidak hanya soal alat medis, tetapi juga hadirnya sistem yang humanis.
Pelaksanaan MCI di Indonesia dapat diwujudkan dengan mengoptimalkan peran dari berbagai pihak sebagai pilar utama, di antaranya:
1. Regulator
Kementerian Kesehatan, BKKBN, ahli jiwa dan psikolog menetapkan regulasi, SOP, dan bimbingan teknis untuk mendukung protokol skrining PMADs
mengintegrasikannya ke dalam program KIA serta memberi mandat pada puskesmas dan posyandu sebagai pusat pelatihan dan supervisi kader atau bidan.
2. Pelaksana
Posyandu dan puskesmas bertugas melakukan skrining awal menggunakan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), melakukan home visit dengan pendekatan 5A (Ask, Assess, Advise, Assist, Arrange) berbasis Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang dimodifikasi.
3. Pendukung Struktural
Kolaborasi sektor pemerintah dan swasta dalam membentuk kebijakan yang mendukung kesehatan mental ibu, seperti tempat kerja yang ramah keluarga, hukum yang melindungi ibu dan anak, serta pemerataan akses layanan kesehatan untuk ibu.
4. Pengganda
Penyebaran informasi dilakukan melalui program posyandu, media komunitas, serta kerja sama dengan PKK, organisasi perempuan, dan komunitas ibu untuk menormalisasi percakapan tentang PMADs di ruang publik.
Pelaksanaan home visit dengan pendekatan 5A sebagai tahapan inti dalam MCI secara teknis mengikuti mekanisme berikut ini:
1. Identifikasi dan Penjadwalan
Skrining menggunakan metode EPDS mengklasifikasikan ibu ke dalam tiga tingkat risiko, yaitu hijau (EPDS < 9), kuning (EPDS 9–10), dan merah (EPDS ≥10).
Ibu dalam kategori kuning dan merah dijadwalkan untuk kunjungan prioritas oleh kader atau bidan di bawah koordinasi puskesmas.
2. Kunjungan Home Visit dengan Pendekatan 5A
Kunjungan dilakukan sebanyak 10-15 kali sebagai tahap intervensi. Fokus kunjungan adalah menciptakan ruang aman bagi ibu untuk berbagi dan memahami konteks psikososial yang memengaruhi kondisinya. Pendekatan 5A dilakukan dengan cara:
a. Ask, menggali perasaan dan membantu ibu memahami proses yang dialami.
b. Asses, mengamati lingkungan, dukungan sosial, dan relasi ibu-bayi.
c. Advise, memberi saran praktis, validasi emosi, dan normalisasi.
d. Assist, membantu membuat rencana self-care dan menjelaskan kondisi ibu kepada keluarga.
e. Arrange, merujuk ke psikolog, layanan daring, atau kunjungan lanjut jika dibutuhkan.
Pendekatan 5A harus disusun dan diadaptasi dari low-intensity CBT yang terbukti efektif diterapkan oleh tenaga non-spesialis di layanan primer, seperti kader atau bidan. Melalui Ask, Asses, dan Advise, kader dapat memberikan psychoeducation dan membantu ibu mengenali serta menormalkan emosinya.
Dalam Assist dan Arrange terdapat ruang untuk membantu ibu mengubah cara pandang negatif terhadap dirinya serta menyusun aktivitas sederhana sebagai bentuk behavioral activation.
Pendekatan ini telah digunakan dalam program Healthy Mother-Healthy Baby (HMHB) di Pakistan, di mana intervensi berbasis prinsip CBT oleh tenaga nonspesialis terbukti menurunkan risiko depresi pasca persalinan hingga 80%. Dengan demikian, 5A bukan sekadar pendekatan komunikasi, melainkan menjadi medium efektif dalam intervensi psikososial berbasis komunitas.
3. Pendampingan Praktis dan Psikoedukasi
Kader atau bidan membantu ibu dalam membangun rutinitas harian, mengelola pikiran negatif, serta memperkuat dukungan keluarga melalui pendekatan kolaboratif berbasis low intensity CBT yang lebih sederhana dan dapat lebih mudah menjangkau ibu.
4. Tahap Akhir
Hasil observasi kunjungan diklasifikasikan menurut keadaan ibu dan dilaporkan kepada puskesmas untuk ditindaklanjuti. Puskesmas memberikan umpan balik dan supervisi terhadap pelaksanaan home visit secara rutin, memastikan intervensi berjalan sesuai pedoman dan kebutuhan
Intervensi berdasarkan kunjungan rumah terbukti menurunkan rasa depresi pada ibu. Mundorf dkk (2018) meneliti efektivitas kunjungan rumah & teknologi oleh tenaga nonspesialis dalam menurunkan depresi pasca persalinan. Hasilnya, skor EPDS ibu yang didampingi hanya 4,15 pada 6 bulan pasca melahirkan, lebih rendah dibanding kelompok kontrol (6,26).
Peran Krusial

Tantangan akan muncul dalam menyikapi program MCI ini, salah satunya dari sang ibu sendiri. Tidak semua ibu atau keluarga siap menerima kunjungan rumah dengan dalih terkait privasi.
Pada tahap ini peran pilar pengganda menjadi krusial. Ketika pemahaman masyarakat meningkat, stigma bisa terkikis. Strategi 5A yang empatik dan tidak invasif memungkinkan ibu merasa aman, didengar, dan tidak diasingkan. Kolaborasi kader dan keluarga membuat proses ini terasa sebagai dukungan, bukan interogasi.
Selain itu, beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa intervensi ini sebaiknya ditangani langsung oleh profesional kesehatan mental, bukan kader atau bidan, tetapi keterlibatan tenaga non-spesialis justru menjadi kekuatan dari pendekatan MCI.
WHO melalui mhGAP (Mental Health Gap Action Programme) menyatakan bahwa pelatihan tenaga kesehatan primer untuk menangani gangguan mental ringan hingga sedang merupakan strategi yang terbukti efektif dan cost-efficient di negara berpenghasilan menengah ke bawah.
Keberhasilan MCI juga ditentukan oleh perubahan struktural yang terjadi. Perubahan secara bertahap dilakukan sebagai upaya intervensi yang holistik.
Oleh karena itu, kolaborasi lintas sektor pemerintahan, organisasi pemberdayaan perempuan, dan sektor swasta menjadi elemen penting untuk membantu para ibu.
Lebih dari itu, pendekatan low-intensity CBT yang digunakan dalam MCI bukan pengganti terapi spesialis, melainkan langkah awal untuk deteksi dini, dukungan empatik, dan edukasi, agar kondisi ibu dapat ditangani sedari dini. Pendekatan ini memungkinkan layanan kesehatan menjangkau lebih banyak ibu dalam waktu yang lebih cepat, terutama di wilayah dengan keterbatasan psikolog klinis atau psikiater.
Jika MCI diimplementasikan secara luas dan konsisten, Indonesia berpeluang menciptakan ekosistem kesehatan ibu yang inklusif. Dalam jangka panjang, program ini dapat menurunkan angka depresi pasca melahirkan, memperkuat ikatan ibu-anak, dan meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak sejak dini.
Sudah saatnya kita berempati dengan peran Ibu. Jika dulu saya bingung bagaimana cara menghadapi dan memahami ibu saya, kini kita bisa berperan untuk hadir menemani ruang yang dibutuhkan oleh Ibu melalui MCI. Mari wujudkan Motherhood Care Intervention sebagai langkah empati bagi sosok kunci untuk generasi terbaik di negeri ini.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Statistik Universitas Tanjungpura, penerima Djarum Beasiswa Plus (Beswan Djarum) 2024/2025. Tirto.id bekerjasama dengan Djarum Foundation menayangkan 16 Finalis Nasional Essay Contest Beswan Djarum 2024/2025. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Editor: Zulkifli Songyanan
Masuk tirto.id


































