tirto.id - Masjid Raya Brussels adalah masjid tertua di Belgia. Merangkap sebagai kantor Pusat Islam dan Budaya Belgia (CICB), masjid ini terletak di Cinquantenaire Park—sebuah taman luas yang sering digunakan untuk berbagai macam kegiatan seperti pesta kembang api, acara olahraga, dan konser.
Sebelum dijadikan masjid, bangunan pernah digunakan sebagai gedung pertunjukan pada Pameran Nasional 1880 dan lama terbengkalai setelahnya. Pada 1969, Raja Belgia Baudouin menyewakan secara gratis bangunan tersebut selama 99 tahun kepada Raja Arab Saudi, Faisal bin Abdulaziz Al Saud, sebagai bagian dari negosiasi untuk mendapatkan kontrak minyak yang lebih murah. Raja Faisal pun menyulap bangunan terbengkalai itu menjadi masjid.
Masjid ini bisa menampung sampai 2.000 jemaah. Salat Jumat sering disiarkan secara langsung ke seluruh Belgia. Namun, Oktober tahun lalu, sebuah komisi di Parlemen Belgia yang tengah bertugas menyelidiki teror bom di Brussels pada Maret 2017, merekomendasikan kepada pemerintah untuk menghentikan kontrak bangunan tersebut dengan Arab Saudi. Alasannya, Masjid Raya Brussels dipandang sebagai lahan persemaian bibit radikalisme.
Aktivitas-aktivitas di Masjid Raya Brussels dijalankan oleh Liga Muslim Dunia yang didanai Arab Saudi. Menurut laporan badan keamanan Belgia (OCAD/OCAM), yang dikutip Reuters, paham Wahabi yang diajarkan di masjid itu berpengaruh besar pada anak-anak muda Muslim.
“Masjid itu punya pengaruh untuk menyebarkan “’software’” kebencian ini,” kata seorang pejabat keamanan senior kepada Reuters. “Selama puluhan tahun, tidak ada yang memperhatikan hal itu.”
Tamer Abou El Saod, Direktur Eksekutif CICB, menyangkal tuduhan masjid yang dikelolanya adalah sarang paham Wahabi atau memiliki hubungan dengan Al-Qaeda dan ISIS. Ia menekankan bahwa yang diajarkan oleh CICB adalah kursus bahasa Arab, pelatihan imam, dan pelajaran Alquran untuk 700 anak.
Tamer Abou El Saod menambahkan orang-orang Muslim merupakan target mudah bagi kepentingan sesaat para politisi.
“Mereka tidak punya bukti apa pun yang mampu menghubungkan masjid ini dengan ekstremisme,” ujar El Saod seperti dikutip Inews.
Dalam “The Saudi Connection: Wahhabism and Global Jihad” (2015), Carol E. B. Choksy & Jamsheed K. Choksy menyebutkan bahwa di tengah kecamuk Perang Soviet-Afghanistan, pemerintah Saudi membangun ribuan pusat keislaman di sepanjang perbatasan Pakistan dan Afganistan.
Kebijakan ini sejalan tujuan kebijakan AS (sekutu Saudi) dalam Perang Dingin. Alih-alih menghasilkan ulama, lembaga-lembaga tersebut mencetak jihadis-jihadis berideologi Wahabi yang dipersenjatai Washington. Begitu Perang Afghanistan-Soviet selesai, para veteran ini menyebar ke Timur Tengah, wilayah Balkan dan Kaukasus, Asia Tengah, sampai Asia Tenggara.
Carol & Chosky menyebut Arab Saudi menghabiskan 4 miliar dolar AS per tahun untuk masjid, madrasah, penceramah, mahasiswa, dan buku-buku pelajaran untuk menyebarkan ajaran Wahabi.
Laporan Departemen Luar Negeri AS yang dikutip Telegraph pun menyatakan hal serupa, memperkirakan bahwa selama lebih dari empat dekade, Arab Saudi telah menginvestasikan dana sekitar 10 miliar dolar AS untuk yayasan-yayasan amal dalam upaya mempromosikan Wahabisme untuk menggantikan pandangan arus utama Islam Sunni.
Molenbeek dan Problem Belgia
Melihat sepak terjang Arab Saudi yang jorjoran menggelontorkan dana untuk menyebarkan Wahabisme dalam skala global, pemerintah Belgia pantas saja gusar soal keberadaan Masjid Raya Brussels yang selama puluhan tahun di bawah manajemen Riyadh.
Pemerintah Belgia pun dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa peristiwa teror di Paris, yang menewaskan 130 orang pada 2015, dan bom di ibu kota Belgia, yang merenggut 32 nyawa pada Maret 2016, ternyata direncanakan di Brussels.
Belum lagi fakta-fakta mencengangkan bahwa banyak dari pelaku serangan teror di Eropa memiliki keterkaitan dengan Molenbeek, sebuah distrik di Belgia. Dilansir dari The Guardian, Hassan el-Haski, salah satu pelaku teror bom Madrid 2004, berasal dari Molenbeek; Ayoub El Khazzani, pelaku penembakan kereta Thalys pada 2015 juga tinggal di Molenbeek; Mehdi Nemmouche, pelaku penembakan di Museum Yahudi Belgia pada 2014, pernah tinggal di distrik itu; dan rumah keluarga Salah Abdeslam, tersangka kunci serangan teror Paris pada 2015, berada di area tersebut.
Maka, tidak mengherankan jika Molenbeek—yang semula dijuluki “Manchester Kecil” karena proses modernisasi yang cepat pada abad 19—kini menyandang julukan “Ibu Kota Teror Eropa”, beriringan dengan Brussels yang praktis sejak 1999 didapuk jadi pusat administratif Uni Eropa. Gedung European Council hanya berjarak 4,5 km dari Molenbeek. Jarak itu juga mencerminkan kontradiksi dalam kehidupan di Belgia secara umum.
Sebagaimana ditulis Leo Cendrowicz dalam Brussels Times, sebagai kota lobi dan diplomasi, Brussels memang menjadi salah satu kota terkaya menurut GDP per kapita. Namun, di antara 1,18 juta penduduknya, 30 persen dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan yang sudah ditetapkan pemerintah. Ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan persentase rata-rata kemiskinan di Belgia secara nasional, yakni 15 persen.
Menurut Cendrowich, ketimpangan ini sering terlewat oleh tamu asing karena mereka kebanyakan tinggal di bagian timur dan selatan Brussels, kawasan yang umumnya terkucil dari bagian kota lain.
“Namun, lingkungan yang paling miskin hanya berjarak hitungan menit dari kompleks bangunan Uni Eropa yang cemerlang dan bagian kota yang rindang. Jurang di antara dua komunitas ini bisa menjelaskan sedikit kenapa ibu kota Eropa bisa tidak sengaja memelihara para teroris di balik serangan Paris dan Brussels,” tulisnya.
Teun Voeten, antropolog dan fotografer perang yang pernah tinggal di Molenbeek selama lima tahun, menulis persoalan yang menimpa distrik di sebelah barat Kota Brussels ini disebabkan oleh “kacaunya tata kelola pemerintahan dan budaya penyangkalan dalam tiap perdebatan tentang Islam di Belgia.”
Menurut Voeten, lemahnya otoritas pusat yang kuat dan pos-pos administrasi yang diisi oleh orang-orang yang inkompeten membuat Brussels tidak terurus. Namun, menurutnya, faktor paling utama adalah budaya penyangkalan di Belgia.
“Pembicaraan politik selama ini didominasi elite progresif yang terlalu percaya bahwa masyarakat bisa didesain dan direncanakan. Para pengamat yang berusaha menunjukkan besarnya angka kriminalitas di kalangan pemuda Maroko peranakan dan kecenderungan mereka terpapar paham radikal Islam, malah sering dituduh sebagai golongan sayap kanan ekstrem.”
Pemuda muslim radikal sering dilihat sebagai korban yang terpinggirkan secara ekonomi dan sosial terpinggirkan. Oleh mereka, anggapan umum ini kemudian diinternalisasi. “Akibatnya mereka seperti mendapat simpati dan merasa terbebas dari tanggung jawab,” tulis Voeten.
Tak heran, Molenbeek sangat ideal sebagai tempat rekrutmen ISIS. Menurut The Washington Post, kira-kira 470 dari 553 pejuang asing yang datang ke Suriah terkoneksi dengan Belgia. Jumlah alumni Belgia merupakan yang terbesar dibandingkan kombatan dari negara-negara Eropa lain.
Namun, Molenbeek tak melulu melahirkan sesuatu yang muram. Banyak warganya yang berusaha melawan stigmatisasi bahwa Molenbeek adalah sarang teroris. Salah satunya Académie Jeunesse Molenbeek. Sekolah sepakbola yang didirikan pada 2004 oleh Omar Tizguine ini menunjukkan contoh betapa terorisme bukanlah satu-satunya wajah Molenbeek.
Seperti dilansir The Guardian, Tim U-12 Académie Jeunesse Molenbeek pada 2015 menjuarai sebuah turnamen di Spanyol yang diikuti sekolah-sekolah sepakbola elite Eropa seperti Barcelona dan Real Madrid. Selain itu, mereka pun mendominasi kompetisi setempat. Namun, mereka melakukannya tidak untuk sepakbola semata.
“Prioritas kami bukanlah sepakbola tetapi disiplin dan menjaga anak-anak agar menjauhi kehidupan jalanan,” tutur Tizquine. “Banyak anak lelaki di Molenbeek berpendidikan rendah dan tak punya pekerjaan: mereka jatuh dalam pergaulan buruk yang membuat kehidupan mereka rentan."
Dalam acara malam solidaritas yang diadakan seminggu setelah peristiwa teror di Paris, 2.000 orang berkumpul di Molenbeek.
“Aku tidak suka bagaimana semua orang, bahkan pemerintahku sendiri, menstigmatisasi tempat ini,” kata Benoit kepada Al Jazeera.
Warga Brussels pun datang berduyun-duyun untuk menunjukkan solidaritas pada komunitas Muslim Molenbeek. “Kami harusnya mendukung, bukan malah membuat mereka terpuruk,” ujar Benoit.
Masih mengutip Al Jazeera, empat gadis berjilbab bernyanyi, “Kami bukan teroris, Islam adalah agama damai! Islam est la paix!” sembari membentuk hati dengan jari-jarinya.
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS