tirto.id - Salah satu cabang Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) untuk program persiapan bahasa selama dua tahun berada di Banda Aceh. Sekolah ini dibuka 2009. LIPIA adalah lembaga pendidikan dengan sumber dana dari Kerajaan Arab Saudi yang berdiri di Jakarta pada 1980.
LIPIA menginduk Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud di Riyadh, dipimpin seorang direktur kebangsaan Saudi, di bawah pengawasan langsung Kedutaan Saudi di Jakarta. Salah satu kegiatan LIPIA adalah memberikan beasiswa kepada para siswa berbakat dari sejumlah pesantren tradisional dan modern terkemuka, dengan merekrut para pengajar dari sejumlah negara muslim.
Syahrul, usia 30 tahu, salah satu alumnus angkatan kedua LIPIA Banda Aceh pada 2010, tertarik ke kampus ini lantaran ingin mengasah kemampuan bahasa Arab yang selama empat tahun ditekuninya di Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Aceh.
“Waktu saya belajar di Aceh belum ada uang saku, hanya buku gratis. Tapi untuk takmily dan syariah di LIPIA Jakarta dapat 200 riyal per bulan (sekitar Rp700 ribu),” katanya saat dihubungi reporter Tirto, awal Maret lalu. Takmily adalah sebutan untuk jenjang studi setahun menyiapkan diri ke universitas. Sementara syariah, inti pengajaran LIPIA berupa hukum Islam, dijalani para mahasiswa selama empat tahun.
Selama dua tahun di LIPIA, Syahrul menjadi salah satu siswa yang dinilai berprestasi sehingga direkomendasikan mendapat beasiswa untuk melanjutkan jenjang berikutnya di LIPIA Jakarta. Ia lulus setelah menjalani total tujuh tahun di LIPIA. Kini Syahrul mengajar di salah satu Sekolah Dasar Islam Terpadu di Kebagusan, Jakarta Selatan.
Syahrul lebih beruntung dibandingkan Imam, juga alumnus LIPIA Banda Aceh. Ia tidak mendapat rekomendasi ke LIPIA Jakarta. Selain itu, ia beralasan, masuk ke LIPIA karena ajakan temannya, bukan kemauan pribadi. Selama dua tahun belajar LIPIA Banda Aceh, Imam menjalani rutinitas jadwal belajar yang ketat sampai dosen yang fanatik.
“Pernah dapat dosen yang fanatik, dengar suara zikir dari Masjid Raya Baiturrahman langsung dibilang bidah di depan kelas,” katanya. “Tapi ada juga yang enggak begitu.”
Kini selain di Banda Aceh, sejak 2015, Kementerian Agama memberi akreditasi kepada LIPIA untuk membuka cabang sekolah tinggi yang sama di tiga daerah: Medan, Surabaya, dan Makassar. Semua cabang ini untuk program persiapan bahasa, dan pusat pendidikan syariat tetap harus dijalankan di LIPIA Jakarta.
Basis PKS
Ubaidillah dalam “Global Salafism dan Pengaruhnya di Indonesia” dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebutkan gerakan Salafi terbagi dua: “salafi jihadi” dan "salafi dakwah”.
Salafi jihadi ialah kolaborasi antara Wahabi dan Ikhwanul Muslimin yang cenderung keras dalam penyebaran ideologi. Gerakan ini turut mencetak para pengikut Darul Islam dan mendirikan Pesantren Ngruki di Solo dan alumni Afghanistan dan Maroko. Gerakan ini membentuk Jama'ah Islamiyah yang disebut-sebut organisasi teroris regional yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda yang anggotanya melintasi sejumlah negara Asia Tenggara. Organisasi lain dari gerakan Salafi jihadi adalah Majelis Mujahidin Indonesia, dibentuk pada 2000 di Yogyakarta.
Sebaliknya, Salafi dakwah, juga dikenal Salafi Surury, adalah gerakan Wahabi internasional yang berkembang melalui jaringan guru-murid, terutama melalui alumni LIPIA. Tokoh sentral dari gerakan ini adalah bin Baz, Nashruddin al-Albani, dan Syaikh Mugbil. Ketiganya pemegang otoritas Wahabi kontemporer, yang kerap mengeluarkan fatwa dan diikuti oleh para pengikutnya di dunia Islam termasuk di Indonesia.
Gerakan Salafi dakwah menyebarkan pemahaman ideologi yang tekstual dengan memurnikan akidah, bersifat apolitik, dan tidak disertai kekerasan fisik. Gerakan ini banyak disebarkan di pesantren-pesantren yang pendirinya adalah alumnus LIPIA atau Timur Tengah khususnya dari Arab Saudi.
Bagaimana dengan Partai Keadilan Sejahtera, yang para pendirinya termasuk Anis Matta adalah lulusan LIPIA?
Partai yang dideklarasikan di Masjid Al-Azhar tak lama setelah Soeharto mundur pada 1998 ini tergabung dalam Salafi dakwah yang berkolaborasi dengan gerakan Tarbiyah ala Ikhwanul Muslimin. Embrio partai ini lahir dari penggiat dakwah kampus, dan karena memilih jalur politik, sikap para pendiri sekaligus pengikutnya dikritik oleh Salafi dakwah yang apolitis.
“Melalui PKS, paham Wahabi diterjemahkan secara politik. Melalui perda-perda syariah, misalnya Jawa Barat,” kata Zuhairi Misrawi dari Nahdlatul Ulama.
Selain itu, PKS menanam investasi politik di pesantren sekaligus kampus, salah satunya di bawah Yayasan Perguruan Islam Darul Hikmah di Bekasi. Kampus ini, yang berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darul Hikmah pada 2006 (diresmikan oleh politikus PKS Hidayat Nur Wahid) terletak di ujung sebuah gang sempit di Kecamatan Jatiasih, sekira 13 kilometer dari pusat Kota Bekasi. Sekolah ini, dalam situsweb resmi, adalah tempat pendidikan ahli tafsir dengan harapan para alumnusnya dapat mengawal orisinalitas studi Alquran dan Sunah.
Para pengajarnya dari lulusan sejumlah perguruan tinggi dalam maupun luar negeri, di antaranya Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud (Riyadh), Universitas Islam Madinah Al Munawarah, Universitas Kebangsaan Malaysia, Universitas Islam Internasional Islamabad (Pakistan), Al-Aqidah Jakarta, Institut Ilmu Al-Quran Jakarta, dan LIPIA Jakarta. Ada juga pengajar dari LIPIA.
Tokoh PKS yang pernah mengisi kuliah umum di kampus ini di antaranya Presiden PKS M. Sohibul Iman dan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
"Kampus di sini basis PKS,” kata salah satu ustaz yang ditemui reporter Tirto.
Penyebaran Wahabi
LIPIA terus mempersiapkan dan melahirkan para kader melalui pengembangan ajaran Islam berdasarkan Alquran dan hadis. Memiliki 8.604 alumni pada 2009 yang tersebar di seluruh Indonesia, di antara mereka ada yang menjadi pemimpin organisasi, guru, gubernur, wakil gubernur, wali kota, dan politikus.
Para alumnus LIPIA termasuk Rizieq Shihab, pendiri Front Pembela Islam, dan Ja'far Umar Thalib, pendiri Laskar Jihad. Juga Ahmad Heryawan, gubernur Jawa Barat, provinsi yang selalu menempati peringkat tertinggi dalam pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Tetapi ada juga alumnus LIPIA seperti Ulil Abshar Abdalla, pendiri Jaringan Islam Liberal dan politikus Partai Demokrat.
Selain mencetak dai untuk berdakwah ke masjid-masjid, LIPIA menggunakan perguruan tinggi negeri untuk meningkatkan kualitas alumninya. Di Banda Aceh, sejak 2013, para lulusan program persiapan bahasa bisa melanjutkan ke sejumlah fakultas di Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh.
“Ada kerjasama antara UIN Ar-Raniry dan LIPIA,” kata Sekretaris LIPIA Banda Aceh saat dihubungi Kamis lalu. Menurutnya, hampir 50 persen dari alumni LIPIA Banda Aceh memilih melanjutkan ke UIN Ar-Raniry dibandingkan ke LIPIA Jakarta.
Kerjasama lain adalah meningkatkan kapasitas pengajar IAIN Ar-Raniry dengan LIPIA. “Kami juga akan berupaya mengirim dosen IAIN Ar-Raniry untuk belajar di LIPIA,” kata direktur LIPIA Khalid bin Muhammad Al-Deham saat menandatangani kesepakatan, Mei 2013.
Setiap tahun, LIPIA Banda Aceh mendapat siswa baru hingga ratusan orang. Tak hanya dari Aceh, tetapi dari luar daerah seperti Papua. Dan, pada tahun ajaran 2017, ada 23 siswi Papua di antara 200 orang yang belajar di LIPIA.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam