tirto.id - Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) telah setengah abad berakar di Indonesia. Saat ini ada 32 perwakilan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Ada sekitar 750 unit masjid, pusat kajian Islam, dam rumah sakit yang telah mereka bangun. DDII menjadi pembina Akademi Dakwah Indonesia dan Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah Mohammad Natsir. Setiap tahun ada sekitar 150 lulusan yang disebar menjadi dai ke pelbagai daerah.
Mohammad Siddik, Ketua Umum DDII, mengelak tentang keterkaitan lembaganya dengan masuknya aliran Salafi/Wahabi dari Arab Saudi ke Indonesia. Padahal bila merujuk disertasi Noorhaidi Hasan berjudul Laskar Jihad (2008) justru menyatakan sebaliknya. Menurut Noorhaidi, Arab Saudi membangun Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Arab (LIPIA) atas bantuan dari DDII karena khawatir dengan kekuatan besar Revolusi Iran. (Baca: Melacak Sentimen Anti-Arab Saudi)
Hal serupa disebutkan pula dalam hasil penelitian Suhanah, peneliti dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Dalam makalah bertajuk "Jaringan Salafi Bogor", Suhanah merunut bagaimana paham Salafi yang muncul pada akhir abad 19 di Arab Saudi masuk ke Indonesia melalui DDII, yang dibentuk oleh para pemimpin Masyumi termasuk Natsir pada 1967, dan berkembang luas lewat LIPIA. Para alumnus LIPIA disekolahkan ke Arab Saudi dan pulang mengembangkan generasi baru Salafi/Wahabi.
Riset lain yang menyebutkan hal serupa dari Muhammad Hisyam, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia mengurai dalam "Anatomi Konflik Dakwah Salafi di Indonesia" bahwa organisasi paling penting di Indonesia yang membantu keberhasilan program Saudi adalah DDII. Ubaidillah, peneliti dari UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta) dalam "Global Salafism dan Pengaruhnya Di Indonesia" juga secara lugas mengemukakan kiprah DDII telah memberi fondasi bagi Kerajaan Arab Saudi menyebarkan Wahabisme dengan mendirikan LIPIA.
Kajian lain termasuk para pakar kesarjanaan Islam di Indonesia seperti Martin van Bruinessen, antropolog kelahiran Belanda, yang banyak melahirkan para sarjana Indonesia ahli Islam. Juga ada riset dari Amanda Kovach berjudul "Saudi Arabia Exporting Salafi Education and Radicalizing Indonesia’s Muslims" (German Instute of Global and Area Studies, 2014).
Meski mengelak keterkaitan pengaruh Salafi/Wahabi di Indonesia, Siddik mengakui ada anggotanya yang terkadang terbuka menyampaikan penolakan pada ritual kultur agama Indonesia yang melenceng dari Salafi.
“Bukan DDII. Tapi mungkin ada orang DDII yang barangkali begitu secara individu,” katanya saat berbincang dengan reporter Tirto di Kantor DDII, Jakarta Pusat, Rabu (1/3/2017).
Bahkan Siddik menganggap, Salafi/Wahabi tak pernah menyumbang radikalisme di Indonesia.
“Wahabi, kan, seorang ulama besar di Saudi yang puritan dan tidak ekstremis seperti yang digambarkan. Tidak ada orang Wahabi yang ekstremis. Mereka itu memang tegas dalam hal menyampaikan yang benar. Ada kesalahpahaman tentang Wahabi. Itu kan purify Islamic teaching tapi dianggap paham yang menyimpang,” ujarnya.
Para individu dari DDII, demikian Siddik, "terlibat aktif" dalam sejumlah demonstrasi termasuk apa yang disebut "Aksi Bela Islam" yang dekat kaitannya dengan seruan anti-Ahok, gubernur petahana dalam kontestasi Pilkada Jakarta. Mereka juga punya sentimen tinggi terhadap Syiah dan Ahmadiyah.
Organisasi keagamaan Ahmadiyah, yang penyebarannya dilarang oleh pemerintah Indonesia lewat SKB Anti-Ahmadiyah pada 2008 di masa pemerintahan Yudhoyono, oleh Siddik dinilai "bukan Islam." Untuk Syiah, DDII juga menolak keras. “Jangan dikasih kesempatan untuk mereka mengembangkan aliran Syiah di Indonesia. Jangan kasih mereka belajar ke Iran, terus pulang kemari, enggak usahlah,” katanya.
Di balik pertentangan dan sentimen, ada ambiguitas bahwa Siddik menginginkan penganut Islam di Indonesia bertindak dewasa dan moderat. Harus saling memahami, tidak mudah sensitif, dan tidak saling mencampuri. “Kita adakan persatuan dan saling menghargai,” ucapnya.
Bagaimana kiprah DDII di Indonesia? Apa pendapat pengurus DDII terhadap aliran keagamaan yang berbeda mazhab? Berikut perbincangan Dieqy Hasbi Widhana dari Tirto dengan Mohammad Siddik di sela kesibukannya. Sehari setelah percakapan ini, Siddik diundang ke Istana Merdeka untuk bertemu Raja Salman Bin Abdul Aziz al-Saud.
DDII sudah 50 tahun berdiri. Seperti apa peranan DDII sejak perubahan dari Partai Masyumi menjadi gerakan dakwah. Apa saja dinamika yang dihadapi?
Jadi dakwah dalam pengertian Dewan Dakwah adalah dakwah yang tidak hanya secaa lisan atau ucapan tapi juga dakwah dengan kegiatan sosial atau kegiatan yang nyata. Karena itu sejak awal, disamping menerbitkan buku-buku dalam lisan atau ceramah dan seminar, khatib-khatib mendidik dai dulu, namanya Lembaga Pendidikan Dakwah Islam. Kemudian dilengkapi keterampilan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, dan lain-lain. Sehingga dai itu ketika ke daerah, tempat mereka tugas, juga bisa membantu para petani meningkatkan kualitas hidup mereka. Itu bagian dakwah. Dengan dakwah, dai memotivasi masyarakat untuk membikin sekolah-sekolah, klinik, rumah sakit, dan masjid.
Banyak yang sudah kita capai meski masih banyak yang belum. Karena Indonesia ini negeri yang sangat luas dan besar. Ada 500-an sekarang dai kita di berbagai daerah Indonesia. Itu bukan dikirim lalu pulang-pergi, dia ditempatkan di sana. Mereka ada yang juga rumah tangga dengan orang sana. Ada yang sampai 40 tahun berdakwah.
Kalau rumah sakit, yang dibangun hanya di Sumatera Barat. Yang lain tidak begitu terkenal. Ada tantangan saat itu di Padang, di Kota Bukittinggi. Ada pembangunan rumah sakit Nasrani menggunakan tanah Kodim. Masyarakat menolak. Pak Natsir dihubungi dan bilang, "Ya, kalau mau mematikan inisiatif, kita harus bikin ikhtiar sendiri, artinya mesti berbuat alternatif." Maka mereka bikin panitia. Alhamdulillah jadi rumah sakit Bukittinggi namanya Yarsi, Yayasan Rumah Sakit Islam Sumatera Barat. Kemudian juga bikin di Padang Panjang, di Simpang Ampek. Ada 6 rumah sakit pokoknya. Ini tidak tipikal semua daerah. Waktu itu dibantu orang-orang Minang.
Kampus apa saja yang didirikan DDII?
Ada Perguruan Tinggi Agama Islam di Yogyakarta, Universitas Muslim Indonesia Makassar, Universitas Islam Sumatera Utara Medan, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Ibnu Khaldun Kalimantan Timur, Universitas YARSI, Universitas Islam Riau. Ada 10 atau 12. Itu dibangun dan diserahkan ke masyarakat setempat, kita tidak mengurusnya lagi. Kita tidak lagi punya. Mereka juga tidak menyumbang ke kita.
Bagaimana relasi DDII dan LIPIA?
LIPIA itu kan bantuan Saudi. Kalau masalah mengajar itu ada mahasiswa kita dan guru-guru yang dari sana. Jadi kita membangun akademi dakwah, sekarang sekolah tinggi ilmu dakwah Mohammad Natsir di Tambun Bekasi. Itu tiap tahun menghasilkan sekitar 150 dai yang diberi beasiswa penuh dari seluruh Indonesia. Tiap tahun itu mereka dikirim ke berbagai daerah selama 1 sampai 2 bulan. Nanti sebelum mereka mendapat ijazah, mereka juga harus mengabdi minimal selama 1 tahun di berbagai daerah. Pengabdian itu yang membuat mereka tertarik dan tinggal di daerah itu. Biasanya oleh masyarakat setempat dicarikan jodoh yang terbaik di antara putri di sana. Sehingga terjadi keakraban.
Apa kesulitan yang umum dihadapi para dai saat berdakwah di daerah-daerah? Pernah ada penolakan dari masyarakat setempat?
Alhamdulillah tidak pernah ada penolakan. Kalau yang soal mereka sosialisasi 1 sampai 2 bulan itu kan sudah ada gambaran kita, apakah ada resistensi. Tapi biasanya masyarakat malah mengharapkan supaya dakwah itu terus ada. Kemudian ada juga kunjungan 1 tahun dua kali pada musim liburan. Di situ mulai nyambung. Karena kita juga menjalankan dakwah dengan hikmah. Ajaklah manusia dengan hikmah, kebijaksanaan dengan diskusi yang baik, tidak memaksa atau tuduh-menuduh.
Sumber dana DDII dari mana?
Kita ada lembaga amil zakat. Ada sekolah dakwah untuk program 4 tahun di Tambun, Bekasi. Di sana juga ada TPA, SD, SMP, dan SMA. Ada juga pelatihan keterampilan mengelas produksi pesanan orang-orang, kemudian rumah sakit kecil, bekam, masjid, tusuk jarum. Kalau gedung di Tambun memang sumbangan dari pemerintah Saudi tapi sudah lama. Itu gedung empat tingkat. Itu satu-satunya dari dana mereka.
Apa tanggapan DDII terkait Syiah dan Ahmadiyah?
Kalau Ahmadiyah itu kita menganggap bukan Islam. Karena menyalahi prinsip dasar dalam agama Islam. Dalam kepercayaan iman Ahlussunnah Wal Jamaah (pengikut Sunah Nabi), tidak ada nabi sesudah Nabi Muhammad dan kita tidak menganggap (pengikut Ahmadiyah) sebagai muslim. Di Pakistan pun (penganut Ahmadiyah) diperlakukan sebagai non-muslim majority. Kalau diketahui mereka Ahmadiyah, di sana enggak dikasih visa haji atau umrah. Mereka itu menambah sesuatu yang tidak ada. Itulah Ahmadiyah.
Kalau Syiah itu ajaran di luar Ahlussunnah Wal Jamaah. Kita kan merasa di Indonesia tidak perlu lagi ada Syiah. Syiah itu sekte yang berkembang di Iran Kita tidak mengatakan mereka kafir. Karena mereka boleh pergi umrah dan diberi kuota haji. Tapi yang jelas mereka bukan Ahlussunnah wal Jamaah.
Cara DDII bersikap soal beda aliran dalam Islam ini bagaimana?
Kita Ahlussunnah wal Jamaah sudah cukup. Enggak perlu lagi memberi ruang pada Syiah.
Mengapa tak diberi ruang, bukankah mereka punya hak untuk ada?
Karena nanti akan bisa menjadi konflik sosial yang merugikan negara dan bangsa kita. Mungkin sekarang belum, tapi kalau nanti mereka terus berkembang, kita khawatir mereka akan meneruskan misinya, bisa terjadi konflik sosial seperti yang terjadi di Lebanon atau Suriah. Jadi, kita harus hati-hati, itu bisa jadi bumerang. Jadi lebih baik sudah cukup Ahlussunnah wal Jamaah, itu sudah fakta sejarah.
Harapan dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam peringatan 50 tahun DDII agar lembaga ini menggaungkan Islam moderat. Apa itu akan dilakukan?
Kita moderat. Islam itu memang moderat. Kalau yang ekstrem itu kan yang bunuh-bunuh, meledak-ledakkan. Kita, kan, enggak pernah berbuat begitu. Jadi kita moderat. Apa saudara ada kesan bahwa kami tidak moderat?
Ada sejumlah hasil riset yang menyatakan benih dari aliran Wahabi disebarkan oleh DDII. Bagaimana pendapat Anda?
Itu salah. Dewan Dakwah ketika didirikan dari berbagai kalangan. Ada di situ unsur Persis, Al-Irsyad, Partai Umat Islam, Syafiah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Alwasdiyah. Ini kan dulu yang meneruskan Masyumi. Masyumi dulu dari berbagai organisasi Islam termasuk NU, Muhammadiyah, dan partai-partai Islam di Indonesia.
Kita, kan, yayasan. Ada dewan pembina dari orang Perti. Perti itu kan organisasi yang konservatif semacam NU. Tapi kita semua Ahlussunnah Wal Jamaah.
Tuduhan-tuduhan itu kayak politik Belanda dulu yang memecah belah umat Islam. Itu untuk kepentingan mereka. Mencela dan menjauhkan kita. Ini yang perlu di atas dengan musyawarah nasional untuk kerukunan umat beragama.
Bagaimana soal pendapat tentang lulusan DDII yang sering menyatakan bidah terhadap tradisi keagamaan muslim di Indonesia?
Ada orang DDII yang barangkali begitu secara individu. Tapi banyak orang DDII yang tidak pernah begitu. Semua unsur umat Islam terwakili di sini. Ada unsur Muhammadiyah. Ada yang beribadah seperti NU, Assyafiiyah, Nadhatul Wathan, dan Perti.
Tudingan-tudingan itu biasalah. Karena sebenarnya ingin membuat perbedaan-perbedaan supaya ada alasan untuk membenarkan asumsi atau tesisnya. Tapi dia tidak fair. Karena DDII tidak pernah bersikap seperti itu. Apakah itu hanya orang DDII satu atau dua orang saja. Itu bagian kecil saja.
Kalau dengan pendapat DDII soal sosok pemimpin daerah atau negara haruslah muslim itu bagaimana?
Ya sudah wajib kita memilih pemimpin muslim. Banyak dalilnya, bukan hanya Al-Maidah ayat 51.
Kalau gerakan "Aksi Bela Islam" di Jakarta, apakah DDII terlibat?
DDII bukan gerakan demo-demo. Tapi sebagian jemaah kita banyak yang ikut. Seperti NU kan pemimpinnya melarang, tapi yang di bawah ikut. Itu panggilan hati, respons atas penistaan agama. Karena pemimpinnya sudah banyak yang korup, memiliki banyak kepentingan. Kita kan yayasan, bukan ormas, jadi bergeraknya bersama masyarakat. Makanya ada seribu lebih, penuh di sini. DDII kan ada di seluruh Indonesia, itu mereka datang kemari, mereka ada yang dari Padang.
Bagaimana dengan tudingan bahwa DDII menyebarkan paham Wahabi dengan menyalurkan para lulusannya mengajar di LIPIA?
Tidak ada yang saya tahu lulusan LIPIA yang radikal. Itu tuduhan yang sangat salah. Fitnah. Coba itu dibuktikan. Pengikut Abdul Wahab itu imamnya (mazhab) Hambali. Itu mereka ajaran agamanya purify karena semua ajaran agama temasuk agama Kristen itu ada purification. Terkait bidah, ada orang menghadapi bidah secara keras, kita tidak ikut. Rasulullah tidak pernah menyuruh kita mengkafirkan orang.
Apa konsep umat Islam menurut DDII?
Kita mengharapkan penganut Islam lebih dewasa, dalam pengertian saling memahami satu dengan lain, tidak sensitif, tidak mencampuri, tidak serang-menyerang soal mazhab. Itu perbedaan kecil-kecil tapi kita bisa mundur karena itu seperti zaman penjajahan. Itu bisa perpecahan. Hendaknya kita adakan persatuan dan saling menghargai.
Kemudian yang dituduh Wahabi-Wahabi itu .... Wahabi, kan, seorang ulama besar di Saudi yang puritan dan tidak ekstremis seperti yang digambarkan. Tidak ada orang Wahabi yang ekstremis. Mereka itu memang tegas dalam hal menyampaikan yang benar. Ada kesalahpahaman tentang Wahabi. Itu kan purify Islamic teaching tapi dianggap paham yang menyimpang.
DDII menganggap seperti ziarah makam dan tahlilan itu seperti apa?
Ziarah makam diperbolehkan dalam Islam. Orang DDII menziarahi makam, enggak ada masalah. Tahlilan itu bukan kita menasihati yang sudah meninggal, tapi menasihati yang masih hidup. Itu tazkirah. Yang meninggal kan sudah tidak bisa mendengar lagi.
Bagaimana dengan ziarah makam yang jadi praktik keagamaan umat Islam tradisionalis di sini?
Itu bukan agama karena Rasulullah tidak pernah melakukan hal seperti itu. Referensi kita itu Rasulullah. Kalau mereka bikin sebagai kebudayaan, ya terserah. Tapi itu di luar agama. Memperingati itu kan tidak dibiasakan Rasulullah.
Said Aqil Siroj, Ketum PBNU, mengatakan bahwa satu digit lagi Wahabi bisa jadi teroris. Apa sependapat?
Ya itu fitnah. Saya mau tantang, dia sendiri kan lulusan Timur Tengah, dia lulusan Mekah, saya menghadiri dia waktu doktor di sana. Saya sering dulu dengar ceramahnya waktu di sana. Jadi itu membuat fitnah kalau dia bilang Wahabi itu mendekati teroris. Apalagi dia pernah bilang orang berjanggut itu bodoh. Semakin panjang janggutnya, semakin bodoh orangnya itu fitnah. Kyai NU itu banyak yang berjanggut. Itu kan Sunah, bukan wajib.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam