tirto.id - Di suatu siang yang mendung, saya tidak menyangka akan dihardik dan diinterupsi oleh seorang sepuh yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Pak Tua ini tersinggung dan sakit hati mendengar presentasi saya tentang genealogi paham radikalisme keagamaan yang belakangan berhasil mendirikan pesantren-pesantren di Indonesia.
Dengan suara tinggi, Pak Tua yang duduk di sebelah saya memotong pembicaraan, “Dialog ini tidak boleh dilanjutkan. Anak ini (menunjuk ke saya) telah menghina ulama kami. Antum menyerang kami. Kami sakit hati. Kami tidak pernah menghina ulama/imam antum. Kami hormati ulama/imam antum. Kenapa antum tuduh ulama/imam kami radikal?”
Saya diam sejenak, mengingat-ingat bagian mana dari penjelasan saya yang bertendensi “menghina” atau “menyerang” (ulama/imam) mereka. Saya pun meminta waktu untuk kembali menjelaskan.
“Sudah. Stop. Antum tidak perlu berbicara lagi. Masih anak kecil, tidak tahu al-Quran, Hadis, dan tidak baca buku-bukunya Ibn Taimiyyah, Al-Albani, dlsb., sudah berani bilang bahwa paham radikalisme agama bersumber dari sana. Kami tidak terima. Antum jelas-jelas menuduh kami Wahabi,” sergahnya dengan tangan gemetar.
Karena tidak diizinkan berbicara lagi, saya menyimak dan memerhatikan saja. Sejurus kemudian, lebih awal dari jadwal, acara bertajuk “Pesantren dan Deradikalisasi Agama” yang diadakan The Al-Falah Institute (Senin, 01/03), di Gedung Rektorat lama UIN Sunan Kalijaga itu akhirnya dihentikan.
Dialog yang menghadirkan pembicara dari pimpinan pesantren dan ormas Islam se-DIY itu berangkat dari pertanyaan retoris: “Benarkah ada pesantren yang mengajarkan radikalisme agama? Bagaimana asal usulnya?” Saya yang hadir sebagai perwakilan Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Yogyakarta, tak tahan untuk tidak berbicara. Sebab, pembicara sebelum-sebelumnya, tidak berani terus terang untuk mengidentifikasi pesantren-pesantren radikal.
Saya mengawali pembicaraan dengan menyodorkan jawaban “iya” atas pertanyaan tersebut. Namun, saya tekankan, niscaya akan gagal menjawab pertanyaan jika imajinasi tentang pesantren masih setia dengan uraian sistematis Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (1994). Sebab, yang dibicarakan Dhofier dalam buku itu lebih banyak menyangkut pesantren tradisional dan pesantren modern yang moderat seperti Gontor, Ponorogo dan Al-Amien, Sumenep.
Untuk menjelaskan duduk perkaranya secara saksama, hampir tidak mungkin mengabaikan disertasi Prof. Noorhaidi Hasan, Ph.D., yang dibukukan menjadi Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru (LP3ES, 2008).
Tumbuhnya pesantren beraroma radikal secara mencolok, terutama pasca-Orde Baru, menurut Noorhaidi, tidak bisa dipisahkan begitu saja dari peran penting Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) yang didirikan 1980 di Jakarta. Lembaga ini merupakan corong Wahabisme Saudi Arabia yang berada langsung di bawah naungan Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Saud, Riyadh, melalui perpanjangan tangan Duta Besar Saudi Arabia di Indonesia (Noorhaidi, 2008: 58-59).
LIPIA dengan gigih menjaring kader-kadernya dengan memberi bantuan beasiswa studi ke Timur Tengah, terutama Saudi Arabia sendiri. Alumni yang menonjol saat ini adalah Abu Nida. Abu Nida, lahir di Lamongan 1954, kemudian hijrah ke Yogyakarta setelah sempat mengajar di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar. Di Yogyakarta inilah, Abu Nida mendakwahkan ideologi Salafi-Wahabi melalui masjid-masjid kampus (Noorhaidi, 2008: 60-61).
Abu Nida memperluas pengaruhnya dengan mengisi pengajian umum di Pesantren Ibnu Qayyim, tak jauh dari kampus UGM. Kegiatan ini rutin dilakukan dan semakin menarik minat mahasiswa. Tak butuh waktu lama, sejumlah masjid telah dikuasai dan banyak mahasiswa-mahasiswa UGM, UNY, UPN, dan sekitarnya bergabung menjadi pengikut Abu Nida. Pengaruh Abu Nida bahkan mampu membentuk koneksi dengan mahasiswa-mahasiswa dari Solo dan Semarang.
Kegigihan dakwah Abu Nida dalam menyebarkan Wahabisme mampu mengetuk pintu hati donatur dari Timur Tengah. Tak kurang dari Mu’assasat al-Haramayn al-Khayriyyah dari Saudi Arabia dan Jam’iyyat Ihya’ al-Turats al-Islami dari Kuwait mendanai kegiatan dakwah Abu Nida.
Melalui bantuan lembaga tersebut, Abu Nida berhasil membangun masjid dan mendirikan Yayasan Majlis Ihya’ al-Turats al-Islami. Melalui yayasan ini, Abu Nida mendirikan pesantren al-Turats al-Islami di Wirokerten, Bantul. Tak cukup di sini, Abu Nida kemudian mendirikan Islamic Center Bin Baz yang berhasil menjalankan pendidikan Islam tingkat dasar hingga menengah, terletak di Karang Gayam, Sitimulyo, Piyungan (Noorhaidi, 2008: 71).
Gerakan Salafi-Wahabi di Indonesia bisa dibilang unik. Orang-orang di dalamnya merupakan campuran dari pentolan Masyumi, DDII (bentukan Muhammad Natsir), eks-NII, simpatisan Ikhwanul Muslimin, bahkan ada yang dekat dengan Muhammadiyah. Abu Nida sendiri dulu mengenyam pendidikan di sekolah Muhammadiyah. Agaknya, ideologi puritan cum modernlah yang mendekatkan mereka.
Penelitian Bilveer Singh & Zuly Qodir dalam Gerakan Islam Non-Mainstream dan Kebangkitan Islam Politik di Indonesia (2015) memperlihatkan kuncup radikalisme keagamaan di Indonesia perlahan mekar di bawah siraman indoktrinasi jaringan Salafi-Wahabi via pesantren-pesantren yang secara ideologis memang mengajarkan radikalisme.
Dalam forum tersebut, saya tegaskan bahwa radikalisme keagamaan, memiliki pendasaran normatif dan historisnya sendiri. Secara historis, menurut Fazlur Rahman dalam Islam (Mizan, 2017), kebangkitan ortodoksi yang memicu radikalisme dipicu oleh penyalahgunaan agama dan kemerosotan moral masyarakat Muslim di pinggiran Kerajaan Turki Utsmani dan anak benua India selama abad 18-19 M.
Bahkan, bentuk ortodoksi sayap-kanan ekstrem yang secara definitif dipelopori oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal (780-855) juga tak lepas dari kemerosotan moral disertai bablasnya rasionalisme di era kekhalifahan Al-Makmun yang menjadikan Muktazilah sebagai ideologi resmi Dinasti Abbasiyah. Dan akhirnya, konteks historis itulah yang mengentalkan normativisme ke dalam ortodoksi.
Literalisme Imam Ahmad bin Hanbal dihidupkan kembali oleh Ibn Taimiyyah (1263-1328) hampir lima abad setelahnya. Ibn Taimiyyah sangat keras dan terang-terangan menolak logika (manthiq) yang pada waktu itu sudah menjadi tradisi intelektual Muslim. Tidak hanya logika, Ibn Taimiyyah juga menyerang kepercayaan mitis, khurafat, bid’ah hinga tasawuf/sufisme, utamanya tasawuf falsafi. Tak kurang dari Ibn ‘Arabi menjadi sasaran kritiknya (Ibn Taimiyyah, al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin, Dar al-Fikr, 1993).
Di masa Ibn Taimiyyah, moral umat Islam ambruk. Setelah Dinasti Abbasiyah runtuh pada 1258 akibat serbuan Bangsa Mongol, wibawa Islam mulai surut. Bekas kekuasaan Dinasti Abbasiyah pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang selalu dirundung konflik dan peperangan. Di tengah situasi inilah, Ibn Taimiyyah lahir, dan secara anakronistis mendapat pendasarannya pada kondisi Imam Ahmad bin Hanbal. Islam dinilai telah jauh menyimpang dari sumbernya.
Situasi yang hampir sama terjadi di pengujung abad ke-18. Kolonialisme menyergap negara-negara Islam, sementara kekuatan Turki Utsmani pelan-pelan memudar sejak Merzifonlu Kara Mustafa gagal menaklukkan Eropa pada abad ke-17. Di Saudi Arabia, Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) tampil sebagai pembaru yang melanjutkan proyek pemikiran Ibn Taimiyyah, empat abad sebelumnya. Dari sinilah Wahabisme bermula.
Berkat dukungan kepala suku setempat bernama Sa’ud, ajaran Wahabi berkembang. Kaum Wahabi sempat dikalahkan pasukan Muhammad Ali, Gubernur Mesir, atas perintah penguasa Turki Utsmani, dan terpaksa mengungsi ke Kuwait. Pada awal abad ke-20, setelah Turki Utsmani runtuh, atas intervensi Inggris, Abdul Aziz bin Sa’ud merebut kembali kekuasaan pendahulunya dan jadilah Saudi Arabia seperti sekarang (Rahman, 2017: 302).
Sampai di sini, menjadi jelas mengapa lembaga donatur gerakan Salafi-Wahabi bersumber dari Saudi Arabia dan Kuwait. Kuwait adalah teman lama Saudi Arabia yang berjasa melindungi klan Sa’ud setelah kekalahannya dari pasukan Turki Utsmani. Di sana, Wahabisme juga berkembang.
Ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab disistematisasi oleh Abdul Aziz bin Baz (1909-1999). Kitab Risalah al-Tauhid karya Ibn Abdul Wahhab terlalu tipis untuk menjadi buku babon, meski tak dapat disangkal bahwa ajaran dasar Wahabisme semisal tuduhan syirik terhadap pelaku bid’ah, khurafat, dlsb. sudah eksplisit di buku ini. Namun, di tangan Ibn Bazlah, Wahabisme menemukan bentuknya yang bulat (C.M. Blanchard, The Islamic Traditions of Wahhabism and Salafiyya, 2008).
Saudi Arabia menyuplai secara gratis kitab-kitab Ibn Baz ke pesantren-pesantren yang memiliki koneksi dengan Wahabisme. Selain Ibn Baz, kitab-kitab Sayyid Quthb, Al-Maududi, dan Al-Albani menjadi kajian wajib. Siapa pun yang bisa baca dan mengerti teks Arab, akan kentara muatan ortodoksinya—untuk tidak mengatakan keras. Dan ini, tentu saja, bukan sebuah penghinaan, sebab kitab-kitab itu toh punya basis historisnya dalam berargumentasi.
Dalam diskusi tersebut saya menjelaskan seperti apa yang saya pahami tentang radikalisme. Kecuali apa yang saya sebut “keras” bagi mereka justru “lunak”, itu konsekuensi pembacaan/tafsir.
Beberapa saat kemudian, saya baru tahu: Pak Tua yang memarahi saya itu adalah Abu Nida, pemuka Salafi-Wahabi Yogyakarta yang dulu sempat ikut beperang di Afganistan.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.