Menuju konten utama

Pengaruh Cina pada Masjid-Masjid (Tua) di Jakarta

Kontak bangsa-bangsa di Batavia, kota pelabuhan era perdagangan rempah, membawa pengaruh pada ragam budaya, termasuk pada masjid-masjid di Jakarta. Anda bisa menelusurinya sembari menunggu waktu berbuka puasa.

Pengaruh Cina pada Masjid-Masjid (Tua) di Jakarta
Umat muslim mengaji di Masjid Lautze, Jakarta, Senin (13/6). Masjid milik warga muslim Tionghoa ini mempunyai arsitektur bangunan seperti kelenteng dan seringkali dijadikan sarana belajar bagi para mualaf. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pd/16

tirto.id - Di jantung kawasan pecinan Jakarta, berdiri sebuah masjid dengan bentuk bangunan mirip ruko, terdiri empat lantai, berbalut paduan warna merah, kuning, dan hijau. Ia dihiasi delapan lampion kecil. Namanya Masjid Lautze.

Bagi Anda yang menyempatkan diri berjalan-jalan santai selama Ramadan, Anda bisa mendatangi masjid tersebut di kawasan Sawah Besar. Kawasan ini, di masa kolonial Belanda, disebut Weltevreden, yang menjadi permukiman utama orang-orang Eropa di pinggiran Batavia, nama lama Jakarta. Kawasan ini pada masa Hindia Belanda dikenal berkat suasananya yang tenang dan menerbitkan kepuasan. Tentu saja kondisinya berbeda dengan sekarang.

Masjid Lautze sekilas seperti salah satu kelenteng, rumah ibadah umat Konghucu. Namun, jika Anda memasukinya, Anda segera melihat 15 kaligrafi yang memenuhi dinding masjid, berpadu dengan kaligrafi beraksara Han.

Ketua Yayasan Haji Karim Oei, H.M. Ali Karim Oei, mengatakan bahwa ide arsitektur atap masjid bercorak kelenteng lahir dari gagasan bahwa mereka berdakwah di lingkungan mayoritas Tionghoa. Arsitektur dan interior masjid semacam ungkapan mengakrabkan diri kepada warga peranakan Tionghoa setempat, yang gilirannya memudahkan pengurus masjid menjalankan dakwah Islam.

"Kalau kita bikin model kubah," ujar Ali, "mungkin ada kekhawatiran orang pergi ke masjid. Kalau bentuknya seperti ini, mereka merasakan nyaman kayak rumah sendiri."

Masjid Lautze berdiri pada 1991. Misinya tentu saja berdakwah, selain memberi tempat ibadah yang layak bagi muslim Tionghoa yang tinggal di lingkungan tersebut. Berdasarkan data Yayasan, sejak 1997 hingga April 2017, sudah 1.311 warga nonmuslim yang memutuskan masuk Islam, dan 95% di antaranya adalah Tionghoa peranakan.

Naga Kunadi, 41 tahun, salah satu peranakan, memutuskan mualaf pada 2002 saat usianya 26 tahun. Kunadi, yang memiliki nama Tionghoa, Qiu Xue Long, mengatakan sudah lama mempelajari Islam, dan mantap atas pilihan keyakinannya sesudah rutin mengunjungi Masjid Lautze.

"Banyak di antara teman-teman mualaf pandai membaca ayat suci Alquran dengan fasih. Sungguh menakjubkan dan mengharukan," kata Kunadi.

Masjid Lautze tergolong modern untuk ukuran dakwah muslim Tionghoa-Indonesia. Namun, dalam pelbagai literatur sejarah, pengaruh Tionghoa dalam arsitektur masjid-masjid tua sudah setua usia perkembangan Islam di Nusantara.

Anda bisa menelusurinya di daerah Jakarta Barat. Di sini Anda bisa menjumpai Masjid Jami Angke, Masjid Jami Kebon Jeruk, Masjid Luar Batang, Masjid Langgar Tinggi—untuk menyebut beberapa—yang dibangun dan dipengaruhi oleh orang-orang Cina pada masa kolonial.

Masjid Jami Angke mungkin masjid kuno yang paling menarik, baik dari segi sejarah maupun arsitekturnya. Masjid yang terletak di Kampung Bali ini didirikan oleh orang Cina pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), maskapai multinasional pertama di dunia. VOC menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, lewat jalan pedang dan meriam maupun misionaris, dengan pusat kegiatan ekonomi dan politik di Batavia.

Muhammad Abyan Abdilah, pengurus Masjid Jami Angke, mengatakan bahwa selama ini orang meyakini masjid tersebut berdiri pada 2 April 1761. Namun, ada pula versi lain yang menyebut tahun 1751. Belakangan ada versi baru dari arsip foto dalam dokumen Belanda yang menyebutkan tahun 1712. Sangat mungkin kedua tahun yang disebutkan di awal itu merujuk waktu renovasi masjid.

Meski begitu, dalam banyak catatan sejarah dan penuturan, pengaruh arsitektur Cina di Masjid Angke terkait erat pada peristiwa pembantaian rasial terhadap orang-orang Cina di kota pelabuhan Batavia pada 1740.

Bernama Geger Pacinan, sekitar 10 ribu orang Tionghoa dibantai dalam salah satu peristiwa paling mencolok dalam kolonialisme abad 18. Ia merupakan puncak dari politik rasial dan represi pemerintahan kolonial serta dipicu harga gula yang anjlok. Warga Tionghoa yang selamat lantas mencari perlindungan di Kampung Bali, kini kelurahan Angke.

"Dengan tragedi itu, warga Cina dilindungi oleh pribumi Islam Banten. Mereka berdampingan dengan pribumi Bali, Jawa dan Moors (keturunan Arab Afrika). Tidak sedikit dari keturunan Cina berpindah keyakinan menjadi muslim," kata Abdilah.

Singkatnya, Masjid Jami Angke lantas berdiri, yang memadukan arsitektur bercorak budaya Jawa, Bali, Cina, dan Eropa. Atapnya berbentuk tumpang susun, persis seperti Masjid Demak di Jawa Tengah, salah satu pusat penyebaran Islam pada abad 15. Mustaka alias kepala Masjid Jami Angke melambangkan kerukunan.

Adolf Heuken, seorang paderi Katolik kelahiran Jerman yang banyak menulis sejarah Jakarta, menyebutkan bahwa ada sedikitnya 14 masjid tua di Jakarta, dan tiga atau empat di antaranya dibangun oleh orang Tionghoa. Salah duanya, selain Masjid Jami Angke, adalah Masjid Kebon Jeruk, yang berdiri pada 1786.

Infografik HL Masjid Di jakarta

Pertemuan Beragam Budaya

Menurut G.F. Pijper, sejarawan Belanda yang menulis Fragmenta Islamica, masjid di Jakarta tak cuma dibangun di atas fondasi yang padat, tetapi di atas tiang-tiang kolong, seperti Masjid Langgar Tinggi. Atap bangunannya tak hanya bertumpang; tapi ada juga beratap kubah.

Tawalinuddin Haris, dosen arkeologi Islam dari Universitas Indonesia, dalam Masjid-masjid Bersejarah di Jakarta (2010), menyebutkan salah satu ciri menonjol dari masjid-masjid ini adalah pengaruh budaya luar terutama dari Cina dan Eropa.

Pengaruh Cina, tulisnya, tampak pada jurai atap yang mencuat seperti pada kelenteng, sebagaimana terlihat pada Masjid Jami Angke. Demikian pula cat warna merah dan kuning-emas.

Adapun pengaruh Eropa terukir pada motif hias bergaya barok pada lubang angin di atas pintu, seperti pada Masjid Kebon Jeruk dan Masjid Jami Angke. Tiang-tiang bergaya dorik dan pemasang kusen pintu menonjol mengingatkan pada rumah Belanda.

Demikian pula terali jendela yang membuat bangunan masjid terlihat lega. Ini tampak pada Masjid Jami Angke, Masjid Al-Alam Marunda, Masjid Al-Alam Cilincing, Masjid Jami Tambora, dan Masjid Al-Manshur. Ciri ini mengingatkan pada rumah-rumah tua Belanda.

Sebaliknya, kehadiran atap kubah dan kaligrafi Arab bisa dipandang sebagai pengaruh Timur Tengah.

Pengaruh arsitektur Jawa tergambar pada atap tumpang susun. Ciri ini terdapat pada Masjid Jami Angke, Masjid Mangga Dua, Masjid Jami Tambora, Masjid Krukut, Masjid Kampung Baru, Masjid As Salafiyah, Masjid Al-Alam Marunda, Masjid Al-Alam Clincing, dan Masjid Jami Kebon Jeruk. Sementara motif bunga pada lubang angin di atas pintu berwarna keemasan adalah pengaruh budaya Bali.

Menurut Haris, masjid-masjid di Nusantara menyimpan sejarah panjang persinggungan budaya antara masyarakat setempat dan bangsa-bangsa lain, seperti India, Arab, Cina, dan Eropa. Persinggungan itu bisa bermula dari motif dagang, bisa pula dari motif penaklukan alias kolonialisasi.

“Munculnya pelbagai unsur Hindu, Jawa, Arab, Cina, India pada seni bangunan masjid di Nusantara, dapat dipandang sebagai bentuk kearifan dan kegeniusan lokal," kata Haris. "Ia mewujudkan sebuah bangunan ibadah yang sarat makna filosofis dan indah."

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam