tirto.id - PT Bukalapak Tbk akan menawarkan sahamnya ke publik. Dengan kinerja yang masih merugi hingga 31 Maret 2021, Bukalapak menawarkan harga IPO di kisaran Rp750-850 per lembar.
Bukalapak akan mulai menawarkan sahamnya dengan masa penawaran awal pada 9-19 Juli, dengan tanggal efektif 26 Juli 2021. Dilanjutkan dengan masa penawaran umum perdana pada 28 Juli hingga 30 Juli. Bukalapak dijadwalkan mencatatkan sahamnya di lantai bursa pada 6 Agustus 2021, dengan kode saham BUKA.
Bukalapak akan menawarkan sebanyak-banyaknya 25.765.504.851 lembar saham atau setara dengan 25% dari modal ditempatkan dan disetor, dengan nominal Rp50. Dengan harga penawaran berkisar antara Rp750-850 per lembar, diharapkan nilai Penawaran Umum Perdana Saham diharapkan bisa mencapai Rp21,9 triliun.
Bertindak sebagai penjamin pelaksana emisi efek adalah PT Mandiri Sekuritas dan PT Buana Capital Sekuritas. Sementara penjamin emisi efek adalah PT UBS Sekuritas Indonesia dan PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia.
Dari hasil IPO, sebanyak 66 persen akan digunakan untuk modal kerja. Sementara masing-masing 15% akan dialokasikan untuk PT Buka Mitra Indonesia (BMI) dan PT Buka Usaha Indonesia (BUI). Sisanya, dialokasikan untuk anak-anak usaha Bukalapak yakni PT Buka Investasi Bersama (BIB), PT Buka Pengadaan Indonesia (BPI), Bukalapak Pte. Ltd, dan PT Five Jack, masing-masing 1%.
“Bukalapak menjadi unicorn pertama yang IPO di bursa,” kata Rahmat Kaimuddin, CEO Bukalapak dalam paparan publiknya yang diselenggarakan secara virtual, Jumat (9/7/2021).
Rahmat mengungkapkan, Bukalapak akan segera melakukan roadshow untuk menggaet investor luar negeri. Namun, Bukalapak belum berniat mencatatkan sahamnya di bursa luar negeri.
“Sekarang kita fokus listing di BEI,” ujar Rahmat dalam konferensi pers.
Secara kinerja keuangan, Bukalapak masih “merah”. Selama tiga tahun berturut-turut, Bukalapak masih mencatat rugi. Tahun 2018 rugi sebesar Rp2,243 triliun, meningkat jadi Rp2,795 triliun pada 2019, kemudian menurun jadi rugi Rp1,349 triliun pada tahun 2020.
Kerugian berlanjut hingga 21 Maret 2021, menjadi Rp325,422 miliar. Angka itu lebih rendah dibandingkan rugi per Maret 2020 yang sebesar Rp397,028 miliar.
Dari sisi pendapatan, terjadi peningkatan selama tiga tahun berturut-turut yakni dari Rp291,907 miliar (2018) menjadi Rp1,076 triliun (2019), dan Rp1,351 triliun (2020). Pendapatan per 31 Maret 2021 mencapai Rp423,701 miliar, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp320,232 miliar.
Dalam prospektus IPO-nya, Bukalapak menjelaskan pendapatan perseroan berasal dari tiga segmen yakni marketplace, mitra, dan BPI. Pendapatan marketplace terutama berasal dari komisi yang dihasilkan dari penjualan oleh pedagang atas barang fisik dan virtual produk di platform e-commerce. Selain itu, pendapatan marketplace diperoleh dari pengeluaran pemasaran oleh pedagang Bukakapak, yang bisa membeli advertising untuk ditujukan kepada pengguna dan prioritisasi penempatan produk mereka, termasuk juga kampanye. Pendapatan juga berasal dari pemenuhan layanan logistik yang ditawarkan kepada pedagang, untuk mengirimkan produk fisik mereka kepada pengguna.
Pendapatan dari mitra diperoleh dari komisi penjualan produk fisik oleh pedagang dan principal FMCG ke mitra di platform mitra Bukalapak. Juga komisi atas penjualan produk virtual oleh mitra kepada pelanggan. Selain itu, pendapatan mitra diperoleh dari penyediaan layanan logistik ke mitra.
Untuk pendapatan BukaPengadaan (BPI) berasal dari penjualan yang difasilitas oleh perseroan atas produk perseroan sendiri atau produk mitra. Pendapatan BPI terdiri dari biaya barang dan marjin perseroan atas barang fisik dari penjual di marketplace dan produk virtual dari mitra.
Pada tahun 2020, Bukalapak tercatat memiliki total aset sebesar Rp2,751 triliun. Dari jumlah tersebut, aset tak berwujud mencapai Rp2,101 triliun atau 76 persen. Per 31 Maret 2021, jumlah aset tercatat Rp2,593 triliun, dengan Rp2,268 triliun atau 87 persen merupakan aset tak berwujud.
Per 31 Maret 2021, Bukalapak memiliki liabilitas jangka pendek sebesar Rp945,724 triliun, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp881,991 triliun. Untuk total liabilitas mencapai Rp1,045 triliun, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp985,821 triliun.
Rahmat mengatakan, dengan pasar Indonesia yang masih berkembang, pihaknya optimistis bisa mencetak keuntungan. Tahun 2020, Bukalapak masih mencatat EBITDA minus Rp2,69 triliun, dan tahun 2021 menjadi minus Rp1,67 triliun (EBITDA).
“Terus kita perbaiki agar menjadi perusahaan yang untung dan berkelanjutan di masa depan,” tegas Rahmat.
Ia menjelaskan, pasar e-commerce Indonesia masih bisa berkembang pesat. Sayangnya, layanan e-commerce belum merata yakni 70% datang dari 5 kota besar atau tier1 city: Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang. Padahal penduduk di tier 1 hanya 10%.
“Artinya banyak anggota masyarakat yang underserved atau belum terlayani oleh e-commerce,” jelasnya
Menurut Rahmat, ada dua isu utama dalam e-commerce Indonesia yakni belum semua orang nyaman dengan transaksi online dan belum semua orang punya rekening digital. Untuk itu, Bukalapak akan menjembatani antara kebutuhan online dan offline ini, termasuk melayani masyarakat dan daerah yang belum terlayani.
“Bukalapak berada di Indonesia yang pasarnya besar, dan kita berada di bisnis yang berkembang. Retail dan e-commerce. Fokus kita di UMKM, yang merupakan motor utama ekonomi Indonesia. Dari 64 juta UMKM, men-drive 61% dari PDB dan menyerap 97% dari tenaga kerja. It’s a huge market,” urainya.
Editor: Abdul Aziz