tirto.id - Proses panjang seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mencapai titik akhir. Senin hari ini, panitia seleksi (pansel) akan membawa 10 nama hasil saringan mereka kepada Presiden untuk kemudian menjalani uji kompetensi di Komisi III DPR. Walau begitu, banyak pihak mendesak Presiden Joko Widodo mempertimbangkan kembali nama-nama yang diusulkan pansel.
Desakan itu salah satunya disuarakan kelompok Guru Besar Anti-Korupsi. Kelompok yang terdiri dari 20 guru besar dari berbagai perguruan tinggi ini meminta Jokowi memperhatikan lagi capim hasil penyaringan pansel, terutama dari sisi rekam jejak.
"Prinsip integritas mutlak harus dimiliki lima komisioner KPK terpilih, karena mereka yang nantinya memimpin sebuah lembaga antikorupsi," demikian tertulis dalam surat terbuka yang diterima reporter Tirto, Senin (2/9/2019).
Mereka yang menandatangani surat terbuka itu di antaranya Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat; Guru Besar Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto; Guru Besar LIPI Syamsuddin Haris; dan Guru Besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto.
Sikap serupa diutarakan Wadah Pegawai KPK. Menurut Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap, para pegawai sampai membuat dan menandatangani petisi untuk menolak calon pimpinan yang diduga punya rekam jejak menghambat kerja KPK dam melanggar etik.
Mereka ini, kata Yudi, antara lain diduga melakukan beberapa pelanggaran etik berat selama bekerja di KPK, punya rekam jejak pernah menghambat penanganan kasus KPK baik melalui teror maupun hal lainnya, serta tidak melaporkan LHKPN dan melakukan perbuatan tercela lainnya.
"Kami para pegawai KPK mengajukan permohonan yang senada dengan berbagai elemen lain kepada Bapak Presiden sebagai penanggung jawab maupun pemberi amanah Panitia Seleksi Capim KPK agar tidak meloloskan calon pimpinan KPK [tersebut]," kata Yudi dalam keterangan tertulisnya kepada jurnalis Tirto, Senin siang.
Dugaan calon bermasalah lolos dalam seleksi capim KPK ini sebenarnya bukan barang baru. Sejak awal seleksi, sejumlah nama yang diduga bermasalah tak lepas dari sorotan publik. Tirto juga sudah berulang kali menerbitkan laporan soal calon bermasalah ini.
Saat Pansel Capim KPK mengumumkan 20 nama yang lolos untuk seleksi tahap akhir, pekan lalu, juru bicara KPK Febri Diansyah sempat memberi respons dengan menyebut beberapa nama di antara yang lolos masih punya catatan: Tidak melaporkan LHKPN, menerima gratifikasi, menghambat kinerja KPK, dan melanggar etik saat kerja di KPK.
"KPK telah menyampaikan dan memaparkan data tersebut pada Pansel, Jumat pagi," kata Febri, Jumat, 23 Agustus 2019.
Dalam catatan Tirto, tiga dari 20 nama calon terindikasi punya punya irisan dengan catatan yang disampaikan Febri. Antara lain Irjen Antam Novambar yang diduga mengancam bekas Direktur Penindakan KPK Kombes Endang Tarsa, Irjen Firli Bahuri yang diduga bertemu terperiksa saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK, dan M. Jasman Panjaitan, bekas jaksa yang diduga menerima duit dari terdakwa pembalakan hutan D.L. Sitorus.
Alas Hukum Penolakan Hasil Pansel
Peneliti masalah korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai Presiden Joko Widodo harus tegas dan tak segan menolak hasil saringan pansel capim KPK yang dinilai masih bermasalah. Bahkan, kata Kurnia, Jokowi bisa membatalkan keseluruhan hasil seleksi dan mengulang proses dari awal.
"Itu menjadi salah satu opsi yang mungkin diambil presiden," kata Kurnia.
Pendapat Kurnia didukung pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari. Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas ini pembatalan hasil seleksi capim KPK bisa dilakukan.
Ia mengacu kepada Pasal 30 Undang-undang 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.”
Atas dasar pasal tersebut, Feri punya penafsiran "Presiden bisa membatalkan dan menunjuk pansel baru untuk melakukan seleksi ulang agar prosesnya mampu terbuka dan menampung segala rekam jejak bermasalah para capim," ujarnya saat dihubungi reporter Tirto, Senin (2/9/2019).
Jika nantinya pembatalan hasil seleksi ini bisa bikin kekosongan di pucuk pimpinan KPK, lantaran Agus Rahardjo Cs akan demisioner per Desember 2019, Feri berkata, Jokowi bisa menyiasati kekosongan itu dengan menunjuk pelaksana tugas pimpinan seperti yang dilakukan Jokowi saat Abraham Samad dan Bambang Widjojanto terkena kasus pada 2015.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Mufti Sholih