tirto.id - Sekolah adalah mimpi buruk bagi Lee Su-in. Tempat itu tak memiliki canda tawa bersama teman sebaya, apalagi duduk bersama di kantin sekadar berbagi bekal pada jam istirahat makan siang. Pasalnya, Su-in telah menjadi target perundungan kelompok di sekolahnya.
Tak ada alasan logis yang menjadikan gadis berusia 15 tahun ini pantas dirundung. Para pelaku cuma butuh sedikit rasa tidak suka dan itu sudah cukup menjadi alasan bagi mereka untuk merisak. Su-in bukan tak mau melawan, tapi dia kalah jumlah.
Melapor ke guru pun hanya menjadikan permasalahan semakin pelik. Pascapelaporan, sang guru hanya menegur para pelaku di depan umum, ketika Su-in berada di tempat dan waktu yang sama. Babak selanjutnya bisa ditebak, dia kembali mendapat perisakan dan bahkan jauh lebih buruk dari sebelumnya.
“Mereka melecehkan saya lebih parah. Tak ada pilihan selain akhirnya pindah sekolah,” ujar Su-in seperti diwartakan AsiaOne.
Korea Selatan di mata dunia adalah negara dengan gemerlap industri hiburan, tujuan para pelancong yang haus penyegaran, dan surga makanan yang memanjakan lidah. Namun di balik itu semua, sebuah lubang hitam perundungan menganga di setiap sudut wilayah, siap menerkam siapa pun yang dianggap “berbeda”.
Perundungan bak budaya yang mengakar di Negeri Ginseng. Hingga kini, Korea bisa dibilang kewalahan menghadapi maraknya kasus perundungan di berbagai lini, mulai dari sekolah, tempat kerja, lingkungan tempat tinggal, bahkan di dunia maya.
Lihat saja bagaimana warga internet di sana melakukan hujatan kebencian pada selebritas yang dianggap tidak berperilaku atau berpenampilan sesuai standar umum. Skandal yang belum tentu kebenarannya pun bisa mengundang hujatan dan mengubur “hidup” mereka.
Tengok saja dugaan kasus perisakan antaranggota grup idola T-ara atau Ace of Angeles (AOA). Meski kebenaran kasusnya masih diperdebatkan hingga sekarang, pihak-pihak yang diduga sebagai pelaku kini tak laku lagi di dunia hiburan. Mereka menghukum (terduga) perisak dengan melakukan perisakan juga.
Belakangan, kasus perundungan yang melibatkan anggota grup idola kembali jadi sorotan. Kali ini melibatkan Kim Garam dari grup perempuan Le Sserafim. Catatan pendidikan Garam menunjukkan bahwa dia pernah melakukan perisakan level lima yang membuat korbannya sampai harus pindah sekolah.
Bagaimana bentuk kekerasan yang dia lakukan?
Sebagai gambaran, kasus kekerasan di level empat melibatkan pelaku yang mencekokkan dua botol alkohol kepada korban. Kemudian, mereka mengikat tangan dan kaki korban, melakukan penganiayaan selama enam jam, menghina kewarganegaraannya, mencoret-coret wajah, membenamkan kepala korban ke toilet, dan memaksanya minum urin.
Perisakan level lima mungkin punya bobot setara kasus tadi—atau bahkan lebih. Di Korea, hukuman terhadap pelaku perundungan mencapai level sembilan. Di level tertinggi, pelakunya dikeluarkan dari sekolah dan catatan kejahatannya tidak dihapus.
Meski menggunakan level semacam itu, semua catatan hitam pelaku akan diputihkan setelah mereka lulus dari sekolah. Mereka yang mendapat hukuman level 1-3 dan baru pertama kali menjadi pelaku, penyelesaian kasusnya biasanya hanya berakhir dengan hukuman “omelan” saja.
Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang membikin perisakan di Korea Selatan tak kunjung tertangani. Ujung-ujungnya, korban kembali menanggung derita hingga harus pindah atau putus sekolah, depresi, bahkan sampai bunuh diri.
Budaya Merisak Sejak Zaman Kerajaan
Anda tentu pernah menonton—atau setidaknya mendengar—drama Korea kenamaan Boys Before Flower (BBF) yang dibintangi Lee Min-ho sebagai Gu Jun-pyo dan Koo Hye-sun sebagai Geum Jan-di. Drama ini berkisah tentang sekelompok pria populer yang hobi merisak siswa di sekolah.
Mereka melakukan intimidasi dan kekerasan secara massal dan terstruktur. Korbannya akan dipecundangi oleh satu sekolahan. Jika korban sudah ditetapkan, tak ada siswa yang berani membelanya karena itu artinya dia berisiko akan dijadikan korban selanjutnya.
Gambaran dalam drama tersebut bukan fiksi belaka. Di kehidupan nyata, ada istilah wang-ta untuk mendefinisikan pengucilan, perundungan verbal dan fisik oleh pelaku yang dilakukan secara bersama-sama. Kwak Keumjoo dan Lee Seung-ha dalam bunga rampaiSchool Bullying in Different Cultures (2016) menyebut istilah wang-ta mulai diperkenalkan pada 1997.
“Sebuah surat kabar Korea Selatan mempopulerkan istilah itu setelah kasus kematian seorang siswa. Namun, istilah wang-ta mulai populer sejak 2001.”
Jauh ke belakang, ternyata sejarah mencatat budaya perundungan di negara ini sudah ada sejak zaman Kerajaan. Sebuah dokumen dari masa Dinasti Chosun (1392-1910) menyebut adanya kasus intimidasi yang mirip dengan deskripsiwang-ta. Di masa itu, sebuah tradisi bernama Myunsinrae telah menjadi ajang perisakan perwira junior oleh senior mereka.
Ajang perpeloncoan ini berlangsung selama 1-2 minggu atau bisa juga lebih dari waktu tersebut. Perwira senior melecehkan korban dengan cara memborehkan kotoran ke wajahnya, memukulnya dengan tongkat, menyuruhnya menggendong senior atau melakukan hal-hal konyol, dan mengabaikan korban.
“Perwira junior yang sedang di-Myunsinrae sering dihina di depan umum dan tidak diinfokan tentang tugas-tugas mereka.”
Suatu ketika di sebuah Myunsinrae periode kekuasaan Raja Danjong, seorang perwira junior bernama Chung Yoon-Hwa bunuh diri di tahun pertamanya sebagai perwira. Catatan sejarah tersebut mengatakan bahwa Chung Yoon-hwa tak punya teman dan tak mendapat info terkait tugasnyasehingga sering mendapat hukuman.
Kiwari, pemerintah Negeri Ginseng masih belum mampu menuntaskan fenomena perisakan yang terus merenggut mental bahkan nyawa warganya. Bahkan menurut data Kementerian Pendidikan Korea Selatan, sekitar 1 dari 10 siswa sekolah dasar dan menengah di sana menjadi korban perundungan.
Sebuah jajak pendapat yang menjaring 5,5 juta siswa sekolah dasar dan menengah menyebut 10 persen responden mengaku mengalami penganiayaanfisik setidaknya sekali. Aksi-aksi perisakan tersebut seringkali dilakukan di lokasi yang tak terjangkau kamera pengintai.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi