tirto.id - "Saya telah bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa selama hampir tiga dekade," tulis Anthony Banbury, mantan Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Dukungan Lapangan, dalam opininya di The New York Times pada Maret 2016.
Selama bekerja untuk PBB, klaim Banbury, ia sempat menyelesaikan masalah kemanusiaan di Haiti pada dekade 1990-an, mengatasi Pembantaian Srebrenica di Yugoslavia pada 1990-an, merencanakan misi untuk menghilangkan senjata kimia Suriah, dan yang terbaru memimpin misi Ebola di Afrika Barat.
"Saya sangat mencintai dan peduli PBB," ujarnya.
Namun, rasa cintanya terhadap PBB ternyata menjadi dasar mengapa ia memutuskan mengundurkan diri dari lembaga tersebut.
"Secara keseluruhan, berkat salah urus, PBB gagal dalam tiap misinya," tegas Banbury.
Merujuk paparan Patrick M. Butchard dalam “The Responsibility to Protect and the Failures of the United Nations Security Council” (Global Responsibility to Protect Vol. 13 2021), serta “The United Nations: Peacekeeping Successes but Peace Enforcement Failures” (Australian International Law Journal 2000) yang ditulis Ricky J. Lee, PBB memang kian tak dapat diandalkan dalam mengatasi permasalahan dunia.
Berbekal dana senilai lebih dari $13 miliar per tahun dari 193 negara anggota, PBB tenggelam dalam birokrasi yang busuk. Mereka tak mampu membentuk talenta terbaik dunia secepat mungkin dalam mengatasi masalah dunia.
Untuk membentuk satu tim, PBB rata-rata membutuhkan waktu selama 213 hari. Dan dalam waktu selama itu, PBB terkadang lupa merekrut ahli, seperti kasus pengentasan masalah Ebola di Accra, Ghana. Tim yang lambat dibentuk yang dikirim ke sana mula-mula gagal membendung penyebaran Ebola karena tak ada ahli Antropologi yang ikut serta.
Kerja tim baru menuai hasil memuaskan ketika orang-orang seperti Banbury, atau orang-orang yang peduli terhadap PBB, berinisiatif merekrut seorang ahli Antropologi dengan menabrak aturan perekrutan yang dibuat PBB sendiri. Hal ini akhirnya membuat PBB mengerti bahwa penyebaran Ebola di Accra terjadi karena ritus penguburan masyarakat di sana.
Salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan PBB dalam mengatasi masalah dunia terjadi pada tahun 2013. Kala itu, karena wilayah bagian Utara Mali diambil alih teroris, dan gagal membentuk pasukan khusus yang dapat merebut kembali wilayah serta melakukan serangan balik, PBB malah mengirim 10.000 tentara yang tak siap berperang. Akibatnya, hampir 80 persen tentara tak mau mengangkat senjata, mereka memilih berlindung di garis paling belakang. Dan bagi tentara yang berani melangkah ke garis depan, nyawa adalah harga yang harus mereka tebus.
Buruknya PBB dalam membentuk tim/pasukan, sialnya, dianggap bukan masalah berarti. Sebagaimana disampaikan Annalisa Merelli untuk Quartz, hal ini terjadi karena ada masalah yang jauh lebih buruk yang menggelayuti PBB. Masalah itu adalah soal hak veto. Hak yang dimiliki AS, Inggris, Prancis, Cina, dan Rusia untuk menganulir, membendung, dan mencegah pelbagai keputusan yang dibuat PBB, khususnya Dewan Keamanan.
Hak ini membuat Cina yang terbukti melanggar HAM pada Muslim Uighyur, tak dikenai sanksi. Dan meskipun Rusia terbukti melakukan pelanggaran kemanusiaan di Ukraina, tak ada pula sanksi yang dijatuhkan untuk Kremlin.
Melalui hak ini, bukan hanya negara pemilik saja yang bisa lolos dari sanksi PBB, tetapi juga negara sekutu pemilik hak veto. Israel, misalnya, meskipun terbukti melakukan pelanggaran berat atas pendudukan tanah Palestina, tapi tak pernah tersentuh hukuman dari PBB gara-gara mereka sangat dekat dengan AS.
Ini juga terjadi pada Suriah yang tak disanksi PBB atas kedekatannya dengan Rusia. PBB hanya berhasil memberikan sanksi kepada Iran atas program nuklirnya, dan Libya atas genosida yang dilakukan terhadap kaum minoritasnya. Kedua negara tersebut tak memiliki hubungan persahabatan dengan negara pemilik hak veto.
Karena kepemilikan hak veto, terjadi ketidaksetaraan antara negara anggota. AS, Inggris, Prancis, Cina, dan Rusia jauh lebih kuat di hadapan PBB dibandingkan negara anggota lainnya, meskipun sama-sama mengirimkan setoran kepada PBB.
Donald Trump sempat menyebut PBB "hanya tempat nongkrong”. Bertahun-tahun setelah Banbury mengundurkan diri serta serangkaian kritikan terhadap kinerja PBB, lembaga ini tak berhenti menginisiasi program tak berguna.
Hamburkan Jutaan Dolar
Terkini, merujuk investigasi yang dilakukan David A. Fahrenthold dan Farnaz Fassihi untuk The New York Times, salah satu agensi dalam naungan PBB, United Nations Office for Project Services, menghamburkan uang jutaan dolar untuk membiayai lagu bertema lautan yang tak laku serta memberi modal bagi perusahaan abal-abal.
Kelakuan busuk PBB menghamburkan jutaan dolar terjadi karena sang bos United Nations Office for Project Services (UNOPS), Grete Faremo, berambisi menjadikan agensi yang dipimpinnya terlihat cemerlang, setaraf dengan World Health Organization (WHO), Food and Agriculture Organization (FAO), ataupun United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF).
Terlebih, meskipun kurang didengar masyarakat, UNOPS memiliki anggaran yang cukup tinggi, memiliki dana tak terpakai hingga $61 juta. Maka, berbekal pertemuan dengan seorang pebisnis asal AS keturunan Italia yang sempat menjadi Duta Besar PBB untuk Dominika, Faremo diperkenalkan dengan pebisnis asal Inggris bernama David Kendrick dan anaknya yang baru lulus kuliah, Daisy Kendrick.
Melalui pertemuan ini, Faremo yang tak mau berpikir jernih, terkesan dengan apa yang dilakukan Daisy, yakni membangun yayasan yang menginisiasi acara, website, serta video games bertema penyelamatan lautan. Padahal, didirikan di kota New York, yayasan tersebut belum memperoleh persetujuan dari pemerintah setempat.
Faremo yang tersilaukan Daisy tak segan memberi uang senilai $3 juta dari kas UNOPS untuk membiayainya membuat lagu tentang konservasi lautan pada 2017. Nahas, dinyanyikan oleh penyanyi asal Inggris bernama Joss Stone yang mengira bahwa kerja yang dilakukannya "pro-bono", lagu berjudul "Oceans" yang dibiayai PBB tersebut tak laku. Hingga saat ini, hanya diputar sekitar 500.000 kali di Youtube.
Terpesona dengan isapan jempol yang menyebut bahwa David Kendrick memiliki perusahaan yang dapat membangun pelbagai infrastruktur bertema energi terbarukan, dari kantong agensi PBB yang dipimpinnya, Faremo memberikan dana kepada David Kendrick senilai $8,8 juta sebagai modal pembangunan turbin angin (wind farm) di Meksiko. Selain itu, $15 juta untuk pembangunan serupa di tempat lain, serta $35 juta untuk membangun perumahan di Antigua, Ghana, India, Kenya, dan Pakistan pada 2018.
Tahun berlalu, tak ada satupun turbin dan perumahan yang berhasil dibangun perusahaan milik David Kendrick. Menurut audit yang dilakukan akhir tahun lalu, PBB mengalami kerugian senilai $20,2 juta pada 2017 dan $14,9 juta pada 2018 atas kelakukan Faremo. Hal ini semakin memperburuk citra PBB.
Editor: Irfan Teguh Pribadi