Menuju konten utama

Makan Siang Gratis bagi Politikus Senayan berkat Revisi UU MD3

Perubahan UU MD3 menguntungkan sejumlah pihak. Dua di antaranya PDI Perjuangan dan anggota DPR yang tersangkut kasus pidana.

Makan Siang Gratis bagi Politikus Senayan berkat Revisi UU MD3
Suasana Rapat Paripurna ke-19 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/3/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Tito Karnavian harus memutar otak untuk memanggil Fanny Safriansyah alias Ivan Haz, anggota DPR RI dari fraksi PPP, terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada 2015, Ivan melakukan penganiayaan terhadap pekerja rumah tangga di rumahnya.

Tito, saat itu masih menjadi Kapolda Metro Jaya, tidak bisa langsung memanggil Ivan. Sebab, berdasarkan pasal 224 ayat 5 UU MD3 dan putusan MK nomor 76/PUU-XII/2014, Tito harus mendapatkan izin dari presiden terlebih dulu. Tito pun menggunakan siasat: ia tidak memanggil Ivan sebagai tersangka, melainkan sebagai saksi.

“Kami bisa melakukan splitsing terhadap kasus ini. Nantinya, kami akan memanggil istrinya dengan status penyidikan dan kemudian memanggil IH yang merupakan anggota dewan sebagai saksi. Jadi tidak perlu izin presiden, karena bukan sebagai tersangka," kata Tito di Mapolda Metro Jaya seperti dilansir CNN Indonesia, 6 Oktober 2015.

Trik itu tidak lantas membuat kasus berjalan mulus. Ivan masih saja mangkir. Sementara Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) belum juga mengambil sikap sebelum kasus benar-benar terang.

Pemanggilan Ivan Haz sebagai tersangka, baru bisa dilakukan oleh polisi setelah mendapatkan restu dari presiden. Izin tertulis dari presiden itu baru turun pada Februari 2016, atau sekitar lima bulan setelah Ivan dilaporkan.

Urusan soal memanggil anggota DPR terkait kasus pidana umum kini jauh lebih runyam. Pada revisi UU MD3 yang baru disahkan DPR pada Februari kemarin, hak imunitas DPR makin kuat. Pemanggilan DPR harus melalui dua tahap: pertama, pertimbangan dari MKD; lalu kedua, izin tertulis dari presiden. Tahapan ini bersifat hierarkis.

Pasal 245 ayat 1 UU nomor 2 tahun 2018 tentang perubahan kedua UU MD3 itu menyebutkan, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.”

Aturan baru ini diperkirakan bakal membuat penyelesaian kasus pidana yang melibatkan anggota DPR menjadi lebih berlarut-larut.

Paling tidak saat ini ada delapan nama anggota DPR RI yang sudah dilaporkan ke MKD. Dua kasus di antaranya sudah masuk ke kepolisian, yakni kasus politisi NasDem Akbar Faisal dan Victor Laiskodat.

Kasus Akbar Faizal terkait dugaan pencemaran nama baik terhadap Elza Syarif karena menyebut Elza sebagai kaki tangan koruptor kelas kakap Nazarudin. Elza melaporkan Akbar ke polisi pada bulan September 2017.

Sedangkan Victor dilaporkan oleh politisi Gerindra Iwan Sumule terkait ujaran kebencian. Iwan melaporkan Victor ke Bareskrim pada Agustus 2017. Selain ke Bareskrim, Iwan juga melaporkan Victor ke MKD.

MKD: Supaya Kami "Update" soal Kasus Pidana Anggota DPR

Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan Sufmi Dasco Ahmad dari Fraksi Gerindra berdalih bahwa perubahan UU MD3 tidak bikin penanganan kasus pidana lebih lambat, tapi justru "akan memudahkan."

Sufmi berkata bahwa tidak semua kasus harus mendapatkan izin dari presiden dan pertimbangan MKD. Pengecualian izin berlaku untuk kasus pidana khusus dan tangkap tangan alias korupsi.

“Sebelum undang-undang ini ramai, kami sudah menyiapkan MoU dengan polisi dan kejaksaan, supaya kami bisa update kalau ada kasus yang terkait anggota DPR. Kalau nanti ada kasus dan presiden harus meminta pertimbangan MKD, tentu tidak akan lama,” janji Sufmi.

Meski pernah kesulitan dengan kasus Ivan Haz, kepolisian berkata "tidak ada masalah dengan aturan yang baru." Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono, mengatakan kepolisian sudah siap menjalankan UU MD3 itu.

“Kami ikuti aturan yang ada saja. Kalau memang nanti harus ke MKD, ya nanti kami kirim surat,” ujar Argo.

Infografik HL Indepth UU MD

Jatah Pimpinan untuk PDI Perjuangan

Ibarat makan siang gratis, UU MD3 juga secara praktis menguntungkan beberapa partai, yakni PDI Perjuangan, PKB, dan Gerindra.

Sejak UU MD3 pertama kali disahkan pada Juli 2014, PDI Perjuangan kehilangan kursi pimpinan DPR. Ini ironis: sebagai partai pemenang pemilu, PDIP justru menjadi partai oposisi di Senayan.

Setelah 3,5 tahun masa periode DPR RI berjalan, PDIP bisa mendapatkan jatah kursi pimpinan DPR setelah revisi UU MD3. Salah satu poin penting dari revisi itu adalah lobi fraksi PDIP diakomodasi dengan penambahan jumlah pimpinan DPR RI untuk partai pemenang pemilu.

Arif Wibowo mengatakan bahwa partainya kini sudah mendapatkan "hak yang seharusnya" mereka dapatkan sejak dulu.

Selasa kemarin, 20 Maret 2018, PDIP resmi mendapatkan jatah pimpinan DPR dengan pelantikan Utut Adianto sebagai wakil ketua DPR. PDIP juga mendapatkan jatah pimpinan MPR. Ahmad Basarah, politisi PDIP, turut dilantik sebagai wakil ketua MPR. Jatah pimpinan MPR ini juga dipastikan didapat PKB dan Gerindra.

Jatah pimpinan itu akan berpengaruh dalam kontestasi politik 2019.

PDIP mendapatkan energi baru menuju tahun politik. Sisa 1,5 tahun jabatan pimpinan ini bisa dimanfaatkan dengan baik oleh PDIP.

Masuknya PDIP dalam pimpinan DPR disambut baik oleh ketua DPR, Bambang Soesatyo. Katanya, kini format pimpinan DPR tidak lagi timpang.

“Selama ini memang agak aneh juga karena salah satu partai pemenang pemilu tak ada perwakilannya di pimpinan, sekarang sudah lengkap,” kata Bambang, Selasa kemarin, 20 Maret 2018.

Baca juga artikel terkait REVISI UU MD3 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam