tirto.id - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) telah diberi nomor di Sekretariat Negara. Beleid tersebut telah resmi menjadi UU Nomor 2 tahun 2018.
Yasonna mengatakan setelah UU MD3 diundangkan, publik bisa mengajukan gugatan atas pasal-pasal yang dianggap kontroversial ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Menjadi UU Nomor 2 tahun 2018 sehingga sudah sah menjadi Undang-Undang, sehingga silahkan kalau ada yang mau mengajukan uji materi," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (15/3/2018) seperti dikutip Antara.
Dia menjelaskan, meski Presiden Jokowi menolak menandatangani UU MD3, kekuatan hukum UU tersebut tidak berkurang. Hal ini sesuai dengan Pasal 73 ayat 2 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa kalau tidak ditandatangani Presiden maka oleh konstitusi disebutkan 30 hari sah menjadi UU. Jangka waktu 30 hari itu tadi malam pukul 00.00 WIB," ujar Yasonna.
Dia mengklaim dinamika pembahasan UU MD3 mengenai sejumlah pasal kontroversial sebenarnya berjalan alot tapi cepat. Yasonna mencontohkan Pasal 245 yang mengatur pemeriksaan anggota DPR di kasus pidana harus mendapat pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan izin presiden.
"Kalau tertangkap tangan itu wajib, kalau yang tindak pidana khusus wajib, kalau pidana berat wajib, tidak perlu minta izin ke Presiden tidak perlu. Jadi ada dialog yang sangat dinamis," ujar Yasonna.
Hasil revisi UU MD3 itu telah disahkan oleh Rapat Paripurna DPR RI pada 12 Februari 2018. Saat itu, 8 fraksi menyetujui pengesahan beleid itu. Hanya dua fraksi yang menolak dengan menggelar aksi keluar dari ruang Rapat Paripurna (walk out), yakni Fraksi NasDem dan PPP.
Tercatat ada 3 pasal kontroversial yang mendapat kritik dari banyak pihak di hasil revisi UU MD3 tersebut. Keberadaan tiga pasal itu juga menjadi alasan Presiden Jokowi menolak menandatangani UU itu. Meskipun demikian, sikap Jokowi itu tidak bisa membatalkan pemberlakuan hasil revisi UU MD3 yang sebelumnya sudah disetujui oleh pemerintah dan DPR.
Poin pertama yang menuai kritik adalah Pasal 73 UU MD3. Pasal ini memberi kewenangan DPR untuk meminta kepolisian memanggil paksa pihak yang mangkir dari panggilan dewan.
Poin kedua ialah pasal 122 huruf (k) UU MD3. Pasal itu menyebutkan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mendapatkan tugas mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Sedangan poin ketiga yang dikritik adalah pasal 245 UU MD3. Pasal itu mengatur pemanggilan atau pemeriksaan anggota dewan dalam kasus pidana, selain pidana khusus atau kasus tangkap tangan, memerlukan pertimbangan MKD dan izin presiden. Sebagai catatan, ketentuan soal pertimbangan MKD itu sebenarnya pernah dibatalkan MK.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom