tirto.id - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menolak menjelaskan alasannya tidak memberitahukan pasal-pasal kontroversial di UU MD3 baru kepada Presiden Jokowi.
"Sudahlah. Kalian tidak perlu tahu itu. Kan dinamikanya saat alot pada waktu itu," kata Yasonna, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (15/3/2018).
Sebaliknya, Yasonna berdalih pernah menyampaikan kepada DPR agar pasal-pasal kontroversial di UU MD3 tidak dimasukkan. "Tapi ini kan sangat dinamis pada waktu itu dan jujur banyak hal saya katakan ini jangan ini, jangan berbahaya," kata Yasonna.
Karena itu, menurut Yasonna, ia kemudian meminta izin ke Presiden Jokowi agar menyetujui undang-undang tersebut. "Saya laporin ke Pak Presiden, dinamikanya seperti apa di dalam itu. Kan kita mau reses. Kita harus sahkan. Dinamikanya sedemikian rupa," kata Yasonna.
Mantan anggota Fraksi PDIP di MPR ini pun mengaku tidak mendapat teguran dari Presiden Jokowi atas sikapnya tersebut. "So far no [teguran]," kata Yasonna.
Kemarin, Rabu (14/3/2018) Presiden Jokowi telah menyatakan sikapnya terhadap UU MD3. Ia menyatakan memperhatikan aspirasi masyarakat yang menolak keberadaan undang-undang tersebut.
Namun Jokowi menyatakan tidak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dan meminta masyarakat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kenapa tidak dikeluarkan Perppu? Ya sama saja. Perppu kalau sudah jadi harus disetujui oleh DPR. Begitu, lho. Masa pada enggak mengerti," kata Jokowi kepada wartawan di Serang, Banten, Rabu (14/3/2018).
Dalam kesempatan itu, Jokowi mengaku tidak mendapatkan laporan dari Yasonna terkait pasal-pasal kontroversial di UU MD3.
"Karena situasi. Saya kira situasi di DPR saat itu memang kan permintaan pasal-pasal itu kan banyak sekali. Dan menteri memang sama sekali tidak melaporkan ke saya," kata Jokowi.
UU MD3 baru memuat tiga pasal kontroversial, yakni Pasal 245 ayat 1 perihal imunitas DPR, Pasal 122 huruf (K) perihal contempt of parliament dan Pasal 73 soal pemanggilan paksa. Ketiga pasal tersebut dinilai dapat membuat DPR menjadi lembaga super body dan berlawanan dengan demokrasi dan penegakan hukum.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yuliana Ratnasari