tirto.id - Perlawanan masyarakat terus terjadi terhadap revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang baru disahkan DPR, Senin (12/2). Kontroversi UU ini memasuki babak baru setelah ada upaya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Erasmus Napitupulu, Direktur Pelaksana ICJR, mengatakan sedang melakukan kajian mendalam terutama terhadap beberapa pasal bermasalah. Pengajuan uji materi akan dilakukan setelahnya. "Harus optimistis menang," kata Erasmus kepada Tirto, Rabu (14/2/2018).
Keyakinan ICJR memang cukup beralasan melihat substansi yang terdapat dalam UU MD3 baru, terutama pasal 73, pasal 122 huruf K, dan pasal 245 ayat (1). Pasal-pasal ini, seperti yang pernah disampaikan oleh Kepala Divisi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, membuat DPR jadi institusi negara yang memiliki "kontrol super" terhadap lembaga lain. DPR akan semakin kuat dalam makna negatif atau jadi lembaga superbody.
Pasal 73 UU MD3 memungkinkan DPR memanggil paksa siapa pun dengan bantuan polisi. Pasal 122 huruf K mengatur Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat memeriksa dan mengambil langkah hukum terhadap pihak, kelompok, maupun badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR maupun anggota legislatif.
Sementara pada pasal 245 ayat (1), ditetapkan bahwa untuk memanggil anggota DPR yang terlibat pidana harus dengan persetujuan tertulis dari presiden dan pertimbangan MKD.
Analis Politik dari Exposit Research and Strategic Advisory (ERSA), Arif Susanto, mengatakan bahwa tiga pasal ini merusak sistem ketatanegaraan Indonesia. "DPR melampaui kewenangannya sebagai lembaga legislatif," kata Arif, Selasa (13/2).
Tantangan di MK
Dengan argumen-argumen itu, revisi UU MD3 memang sangat mungkin dibatalkan. Namun, itu tidak mudah bila melihat aspek lain yang mungkin jadi ganjalan. Ganjalan bisa saja datang dari internal MK.
Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan bahwa MK akan sulit mengabulkan uji materi atau membatalkan revisi UU MD3. Alasannya, karena ada sosok Arief Hidayat sebagai Ketua MK.
Rekam jejak Arief Hidayat sempat tercoreng akhir 2017 lalu. Dewan Etik MK menilai Arief terbukti bertemu pimpinan Komisi III DPR RI sebelum melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi. Arief melakukan pelanggaran karena bertemu pimpinan komisi hukum DPR tanpa adanya undangan resmi. Ajakan bertemu diterima Arief melalui sambungan telepon. Pertemuan tersebut dilakukan di Hotel MidPlaza, Jakarta.
Saat pertemuan berlangsung, Arief diduga melakukan lobi politik agar dirinya menjadi satu-satunya calon hakim konstitusi usulan Komisi III DPR.
"Publik tidak tahu komitmen Arief [kepada anggota DPR] berisi apa saja dan sampai kapan. Sangat mungkin revisi UU MD3 ini termasuk dalam transaksi," kata Lucius.
Lucius beralasan kalau lobi dengan Arief membuat DPR dengan percaya diri menyetujui UU MD3 baru meski ditentang banyak orang.
"[Ketok palu UU MD3] tidak terlepas dari keyakinan [DPR] bahwa MK pasti akan memihak mereka," katanya lagi.
Fakta lain yang semakin memberatkan usaha ini adalah Arief tercatat sebagai salah satu hakim yang menolak uji materi pasal 79 ayat (3) UU MD3 versi lama bersama empat hakim lain. Hanya empat hakim yang setuju uji materi: Maria Farida Indrati, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo.
Menurut Lucius, atas alasan-alasan tersebut, peluang untuk menang dalam uji materi tidak besar kecuali jika ada perubahan signifikan di MK, spesifik jika Arief diganti.
Opsi lainnya adalah tidak terburu-buru menggugat, seperti yang diutarakan Wakil Ketua Komisi III DPR dari Gerindra, Desmond J Mahesa. "Itu [posisi Arief] yang perlu diwaspadai... Tidak usah [ajukan uji materi]," katanya di Kompleks Parlemen.
Namun apa yang dikatakan Desmond yang seakan pro masyarakat sipil nampak aneh melihat fakta bahwa Gerindra sendiri mendukung revisi UU ini.
Mereka yang berencana menggugat bukannya tidak sadar dengan faktor Arief. Erasmus Napitupulu mengatakan bahwa mereka masih percaya MK "secara institusi" bukan hakim per hakim.
Hal yang sama dikatakan anggota Komisi III dari PPP, Arsul Sani. MK dapat memberikan putusan yang adil karena hakim lain tidak bermasalah. "Delapan hakim lain tetap tidak ada halangan untuk secara independen memutus secara profesional," ujar Arsul.
Begitu juga dengan anggota Komisi III dari Fraksi NasDem, Taufiqulhadi. Katanya: "ukurannya bukan sikap hakim MK, tapi konstitusi."
Seperti diketahui rapat pengesahan UU MD3, NasDem dan PPP walkout.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino