Menuju konten utama

Ketua MK 2 Kali Disanksi Etik, Independensi MK Diragukan di Pilkada

Dua sanksi etik yang pernah diterima Arief Hidayat membuat sejumlah kalangan meragukan independensi MK saat ada sengketa Pemilu.

Ketua MK 2 Kali Disanksi Etik, Independensi MK Diragukan di Pilkada
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon Hakim MK di Komisi III, gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (6/12/2017). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat terbukti dua kali melanggar etik. Sehingga membuat sejumlah pihak meragukan independensi Arief Hidayat dalam menangani perkara sengketa Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Kondisi ini tentu akan berdampak pada lembaga MK sebagai institusi.

“Risiko itu (pelanggaran) ada saja. Publik tentu bisa saja tidak percaya [kepada Arief] dengan adanya sanksi itu,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR Almuzammil Yusuf kepada Tirto, Jumat (9/2).

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini meminta Arief mundur dari jabatan sebagai ketua MK. Almuzammil menilai sanksi yang diberikan kepada Arief berpotensi membuat publik tidak percaya terhadap MK. Apalagi Arief Hidayat pernah dijatuhi sanksi ringan oleh Dewan Etik MK karena bertemu sejumlah politikus Komisi III DPR sebelum uji kepatutan dan kelayakan hakim konstitusi akhir 2017 lalu.

“Sebaiknya beliau (Arief) sadar diri. Sanksinya memang tidak meminta mundur, tapi beliau harusnya sadar diri dengan posisinya yang rentan ketidakpercayaan publik,” katanya.

Namun, Almuzammil sadar publik tidak dapat berbuat banyak menyikapi putusan Dewan Etik MK yang berwenang untuk memberikan sanksi kepada Arief. “Kalau sanksi itu tidak menurunkan beliau publik mau apa. Itu kan tergantung kesadaran beliau. Beliau mau mundur atau tidak dengan sanksi itu,” ujar Yusuf.

Ahmad Riza Patria, Wakil Ketua Komisi II Fraksi Gerindra menilai sanksi etik terhadap Arief Hidayat tidak hanya berpotensi menghilangkan kepercayaan publik terhadap MK dalam menangani sengketa Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 tapi juga putusan-putusan MK lainnya.

“Tidak cuma pilkada tapi juga semua urusan,” kata Riza.

Riza mengatakan jabatan hakim merupakan jabatan mulia yang putusannya berimplikasi besar terhadap kehidupan. Dalam konteks itu, seorang hakim mestinya bisa membatasi diri untuk tidak bertemu dengan pihak-pihak yang berpotensi mengganggu independensi MK, seperti pihak yang berperkara atau berkuasa dengan jalan seorang diri.

Sanksi-sanksi etik yang diberikan Dewan Etik MK kepada Arief Hidayat mestinya cukup menjadi alasan bagi Arief Hidayat mengundurkan diri baik sebagai ketua dan hakim MK. Ini untuk menjaga marwah para hakim MK yang lain maupun institusi MK.

“Kalau di negara maju itu sudah harus mundur sebagai wujud menjaga marwah pribadi dan institusi,” ujar Riza.

Namun, tak semua anggota Komisi II meragukan integritas Arief. Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PKB Lukman Edy menilai sanksi etik dan desakan publik agar Arief mundur tidak akan mempengaruhi putusan MK di sengketa Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Alasannya, karena putusan MK diambil sembilan hakim secara kolektif kolegial .

“Desakan-desakan moral tidak menghapuskan peran dia sebagai ketua MK. Kami tidak melihat figur dia, tapi keputusan MK-nya,” kata Lukman kepada Tirto.

Pendapat Lukman didukung anggota Komisi II Fraksi Golkar TB Ace Hasan Syadzily dan anggota Komisi II Fraksi PPP Ahmad Baidowi. Keduanya menyatakan tidak ada yang perlu diragukan dengan keputusan-keputusan Arief Hidayat.

"Tergantung sikap orang melihatnya dari sudut mana. Menurut saya biarkan komisi etik bekerja. Kita harus menghormati kelembagaan secara independen ketika mereka melaksanakan tugasnya," kata Ace kepada Tirto.

Sementara itu, Baidowi menilai sanksi etik yang diberikan kepada Arief tidak ada hubungannya dengan Pilkada dan Pemilu. Sehingga, menurutnya, Arief Hidayat tidak perlu mundur dan diragukan.

"Soal dikenai sanksi etik itu kan ada batasannya sampai di mana sanksinya. Sebagai ketua MK beliau secara konstitusional masih sah mengambil keputusan dan menandatangani putusan," kata Baidowi kepada Tirto.

Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi etik kepada Arief Hidayat pada Januari 2018 berupa teguran lisan karena terbukti bertemu dengan sejumlah anggota Komisi III DPR jelang uji kelayakan dan kepatutan dia sebagai calon hakim MK.

Pertemuan dilakukan di Hotel MidPlaza. Arief Hidayat sempat membantah tudingan bahwa pertemuan itu dilakukan dalam rangka lobi dirinya menjadi hakim MK. “Saya hanya dicalonkan. Nanti yang memilih tergantung keputusan rapat 9 hakim MK,” kata Arief Hidayat.

Sebelumya pada 2016 Arief juga pernah terkena sanksi etik dari Dewan Etik MK. Ia terbukti bersalah karena membuat surat titipan kepada mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono.

Dalam surat itu terdapat pesan kepada Widyo agar bisa menempatkan salah seorang kerabatnya dengan bunyi pesan “mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak”. Kerabat yang dititipkan saat itu bertugas di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur, dengan pangkat Jaksa Pratama/Penata Muda IIIC.

Lantaran kerap mendapat sanksi Arief disebut berpeluang menghadirkan konflik kepentingan di tubuh MK. Puluhan profesor dari sejumlah perguruan tinggi mendesak Arief mundur dari jabatan sebagai ketua MK.

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan ada 54 guru besar yang setuju menandatangani surat desakan agar Arief mundur dari jabatannya. Desakan dilayangkan setelah Arief dua kali mendapat sanksi etik selama menjabat sebagai Ketua MK, yakni pada 2016 dan awal 2018.

Menurut Bivitri, pengumpulan tandatangan dan dukungan dari 54 profesor telah dilakukan sejak dua pekan lalu. Aksi mendorong Arief mundur diklaim tak direncanakan berbarengan dengan keluarnya putusan MK ihwal uji materi pasal 79 ayat (3) Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Pada Kamis (8/2/2018) lalu, MK telah memutuskan bahwa KPK dapat menjadi objek dari pansus hak angket DPR. Lembaga hukum itu menolak gugatan uji materi UU MD3 yang mempermasalahkan kedudukan pansus angket KPK.

Arief Hidayat tercatat menjadi satu dari lima hakim yang memilih opsi tak mengabulkan gugatan terhadap UU MD3. Dalam pengambilan keputusan di perkara itu, perbedaan pendapat (dissenting opinion) antar hakim konstitusi MK memang terjadi.

"Itu yang kami takutkan kalau keputusannya terus menerus dipertanyakan. Pilkada tahun ini, tahun depan pemilu legislatif dan pilpres, sengketa hasil kan akan dibawa ke MK. Itu kan berkaitan erat dengan politisi, sangat politis, dan potensi ketidakpercayaannya lebih besar sekali," kata Bivitri.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2018 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar