tirto.id - Dugaan lobi dalam pemilihan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) oleh DPR awal Desember 2017 lalu kembali mencuat pascakeluarnya putusan uji materi atas pasal 79 ayat (3) Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Kecurigaan muncul setelah Ketua MK Arief Hidayat membacakan amar putusan yang menolak gugatan pemohon uji materi.
Permohonan uji materi UU MD3 diajukan gabungan mahasiswa dan dosen fakultas hukum yang menamai diri Forum Kajian Hukum dan Konsitusi (FKHK). Permohonan juga diajukan Horas A.M. Naiborhu selaku Direktur Eksekutif Lira Institute, dan sejumlah pegawai KPK. Uji materi diajukan untuk menyikapi panitia khusus hak angket KPK yang dibentuk DPR.
Mahkamah dalam pertimbangannya berpendapat pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Menurut pendapat Mahkamah, meski tergolong sebagai lembaga penunjang dan bersifat independen, KPK masih termasuk lembaga eksekutif karena melaksanakan tugas dan wewenang sebagai lembaga eksekutif.
Putusan MK ini dianggap inkonsisten dengan empat putusan MK sebelumnya. Menurut peneliti dari Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter, MK sebelumnya memberikan putusan lembaga antirasuah independen dan mengerjakan separuh fungsi yudikatif seperti tertuang dalam putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Nomor 138/PUU-VII/2009, Nomor 5/PUU-IX/2011, dan Nomor 49/PUU-XI/2013.
Putusan yang berkebalikan muncul pada Kamis, 8 Februari 2018, dengan menyebutkan KPK termasuk eksekutif karena melaksanakan tugas dan wewenang yang sama. Pertimbangan ini yang menjadi soal terlebih Arief Hidayat termasuk satu dari lima hakim konstitusi yang menolak gugatan uji materi.
“Pertimbangan Arief Hidayat semakin menguatkan adanya dugaan lobi yang dilakukannya dalam pemilihan Hakim MK perwakilan DPR tempo hari," kata Lola kepada Tirto, Kemarin.
Dalam pembacaan putusan kemarin terjadi perbedaan pendapat atau dissenting opinion. Empat hakim konstitusi yakni Maria Farida Indrati, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, menjadi kubu yang setuju dengan gugatan terhadap UU MD3. Sementara, lima hakim konsitusi lain termasuk Arief memilih opsi menolak gugatan.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko berkata, pilihan Arief yang pro-penggugat DPR dalam uji materi UU MD3 bisa ditebak sejak lama. Menurutnya, langkah Arief tak bisa dipandang bebas dari kepentingan, apalagi setelah ia dijatuhi sanksi ringan oleh Dewan Etik MK karena bertemu sejumlah politikus Komisi III DPR sebelum uji kepatutan dan kelayakan hakim konstitusi akhir 2017 lalu.
“Pilihan posisi itu sedari awal sangat mudah ditebak,” ujar Dadang.
Uji materi diajukan karena kewenangan hak angket DPR terhadap KPK dianggap tidak memenuhi unsur hal penting, yakni menyangkut masalah strategis dan berdampak luas. KPK juga dianggap pemohon tak mewakili arti "lembaga eksekutif" yang masuk dalam objek angket sesuai UU MD3.
"Dengan memasukkan KPK sebagai subyek hak angket DPR, maka secara normatif akan menempatkan KPK di bawah kendali politik DPR," kata Dadang.
Riak di publik atas putusan ini tak lantas membuat MK langsung bersikap atas Arief. Juru bicara MK Fajar Laksono mengatakan MK mempersilakan publik memberi tanggapan dan penilaian atas putusan tersebut, hanya saja menurut dia, putusan MK seharusnya diletakkan sebagai instrumen untuk menyudahi sengketa tafsir konstitusional.
“Acapkali orang menilai putusan MK karena putusan MK tidak sejalan dengan keinginan atau harapan. Bagaimanapun, MK tetap memiliki independensi dalam memutus. Jadi, meskipun tidak setuju terhadap putusan, silakan menjadi ranah akademik dan secara hukum putusan MK tetap harus dihormati dan dilaksanakan,” ucap Fajar.
Kontroversi Arief Hidayat
Perhatian terhadap Arief telah muncul jauh sebelum keluarnya putusan MK mengenai uji materi UU MD3. Pada pertengahan Desember 2017, Arief tercatat menjadi salah satu hakim konstitusi yang mendukung permohonan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) dan beberapa pihak lain untuk merevisi pasal kesusilaan (pasal 284, 285, dan 292) dalam KUHP.
Saat itu, perbedaan pendapat juga terjadi antarhakim konstitusi. Hasilnya, suara mayoritas memutuskan menolak permohonan AILA yang ingin pasal kesusilaan pada KUHP direvisi.
Ada empat hakim konstitusi yang menganggap permohonan AILA bisa dikabulkan, yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto. Keputusan Arief yang saat itu menilai permohonan AILA layak dikabulkan sontak menuai komentar.
Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (Leip) Arsil kala itu berpendapat, Arief tidak mempertimbangkan konsekuensi dari pertimbangan yang sependapat dengan para pemohon.
Jika permohonan dikabulkan, delik pidana akan muncul dalam putusan. MK pun menjadi lembaga yang berposisi sebagai pembuat, bukan lagi menghapus atau membatalkan suatu norma hukum. “[Karena perluasan delik] Ini bukan soal zina atau LGBT, tapi soal tata negara,” kata Arsil, 15 Desember 2017.
Dugaan Lobi dan Konflik Kepentingan Arief
Sebelum memberi pertimbangan pada putusan perkara pasal kesusilaan di KUHP, Arief juga disoroti karena diduga melakukan lobi terhadap DPR. Saat proses pemilihan hakim, Arief sempat bertemu dengan sejumlah politisi dari Komisi III DPR di Hotel MidPlaza. Ia diduga melakukan barter posisi hakim konstitusi MK dengan putusan soal uji materi UU MD3 kala itu.
Arief sempat membantah dugaan itu. Ia berkata, pertemuannya dengan anggota Komisi III sebelum dan saat fit and proper test merupakan agenda resmi.
“Saya hanya dicalonkan. Nanti yang memilih tergantung keputusan rapat 9 hakim MK,” kata Arief.
Nyatanya, pertemuan Arief dengan anggota Komisi III terbukti melanggar etika hakim konstitusi. Sanksi etik bagi Arief awal 2018 ini merupakan yang kedua kalinya. Ia pernah dijatuhi sanksi etik pada 2016, lantaran terbukti bersalah karena membuat surat titipan atau katebelece kepada mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono.
Dalam katabelece yang dibuat Arief terdapat pesan kepada Widyo agar bisa menempatkan salah seorang kerabatnya dengan bunyi pesan “mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak”. Kerabat yang dititipkan saat itu bertugas di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur, dengan pangkat Jaksa Pratama/Penata Muda IIIC.
Karena kerap menuai kontroversi dan diduga melakukan lobi agar menjadi hakim konstitusi, Arief disebut berpeluang menghadirkan konflik kepentingan ke MK. Lalola Easter menilai potensi adanya konflik kepentingan begitu besar, apalagi MK dipastikan banyak mengusut perkara mengenai pemilu dan pilkada yang sarat kepentingan politiknya pada 2019.
“Dijatuhi 2 kali sanksi etik saja sudah menunjukkan bahwa Arief Hidayat tidak pantas lagi menjabat posisi hakim konstitusi, apalagi Ketua MK,” ujar Lola.
ICW memastikan tetap pada pendirian yakni mendorong Arief mundur dari jabatannya sebagai Ketua MK dan hakim konstitusi. Menurut Lalola, salah satu cara menjaga marwah MK adalah dengan mundurnya Arief dari posisinya.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih