Menuju konten utama

Respons Polri Terkait Perubahan Kewenangan DPR di UU MD3

UU MD3 ini dinilai makin memperkuat posisi DPR dan anggota DPR.

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian memberikan penjelasan di sela-sela kunjungan di Polda Maluku, Ambon, Maluku, Senin (13/11/2017). ANTARA FOTO/Izaac Mulyawan

tirto.id - DPR mengesahkan revisi tentang Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) pada Senin (12/2/2018). Menanggapi ini, Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Setyo Wasisto, angkat bicara.

Ketika ditemui awak media di Mabes Polri, Kebayoran Baru, pada hari Selasa (13/2/2018), Setyo mengaku belum mengetahui secara utuh perubahan UU MD3 tersebut. Namun, ia menegaskan, masalah perubahan ini akan dipelajari oleh para pejabat Polri.

“Belum baca narasinya seperti apa, nanti tentunya kami juga akan membahas di hukum kita dengan beberapa pejabat pertama membahas masalah ini,” kata dia menerangkan.

Setyo menjelaskan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian sedang berada di luar kota dan belum ada pembahasan lebih lanjut mengenai perubahan ini. Sementara itu, kehadiran Tito hari ini, Rabu (14/2/2018), di Jakarta adalah untuk memberikan penghargaan kepada kepala polisi ASEAN.

“Jadi mungkin belum sempat kita,” ujarnya lagi.

Salah satu revisi UU MD3 adalah Pasal 122, terkait dengan pemberian otoritas ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah-langkah hukum terhadap pihak yang dianggap sudah merendahkan anggota DPR dan DPR sebagai institusi.

Pasal 122 UU MD3 ini dinilai makin memperkuat posisi DPR dan anggota DPR. Namun, Mabes Polri belum mengeluarkan pernyataan terkait tindakan polisi menyikapi aturan ini.

Selama ini, jika anggota DPR terindikasi melakukan pidana, seharusnya masyarakat bisa melaporkan tindakan tersebut atau membuatnya diketahui publik lewat media sosial terlebih dahulu.

Namun di Pasal 245 UU MD3, dijelaskan bahwa pemanggilan anggota DPR oleh penegak hukum, hanya boleh dengan izin tertulis dari Presiden RI setelah mendapat pertimbangan MKD.

Dengan aturan ini, bisa jadi pelapor pidana terhadap anggota DPR bisa dianggap mencemarkan anggota, dan anggota DPR itu belum tentu diperiksa polisi.

Kadiv Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur juga menilai sejumlah ketentuan baru dalam hasil revisi UU MD3 membahayakan ketatanegaraan Indonesia.

"Secara ketatanegaraan, DPR akan jadi (memiliki) super power control terhadap lembaga lain, (kewenangan DPR) akan semakin kuat," kata Isnur.

Revisi ini juga menimbulkan tanda tanya terhadap sejumlah masalah yang menyangkut nama anggota DPR dalam pelaksanaan tugasnya, misalnya Vicktor Laiskodat yang menjadi calon gubernur NTT dari fraksi Partai Nasdem.

Jika revisi UU MD3 disahkan, kasus Vicktor berpotensi tidak lagi diteruskan. Meski demikian, salah satu yang walk out dalam pengesahan UU MD3 ini adalah fraksi Partai Nasdem.

"Kami meminta kepada pimpinan DPR dan Pemerintah tidak mengesahkan RUU MD3 karena ini mencerminkan DPR yang pragmatis dan oligarki," kata Wakil Ketua Fraksi Nasdem, Johnny G Platte di ruang sidang paripurna DPR, Senin (12/2/2018).

Selain Nasdem, fraksi PPP juga menolak pengesahan RUU MD3. Ketua Fraksi PPP, Reni Marlinawati dalam sidang menyatakan RUU MD3 terdapat kecacatan hukum, terutama dalam mekanisme pemilihan pimpinan MPR.

"Itu jelas melanggar putusan MK Nomor 117 tahun 2009 yang memaknai frasa ditentukan dengan dipilih, bukan ditunjuk," kata Reni.

Namun, permintaan kedua fraksi tersebut tidak disetujui oleh mayoritas fraksi DPR lainnya. Sehingga, para anggota kedua fraksi itu memutuskan walk out meninggalkan ruang sidang paripurna. Sementara RUU MD3 tetap disahkan menjadi undang-undang oleh DPR RI.

Baca juga artikel terkait REVISI UU MD3 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yuliana Ratnasari