tirto.id - Revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sudah diketok DPR, awal pekan ini. Perubahan dalam UU menjadikan DPR sebagai lembaga superbody dengan memuat sejumlah pasal yang memberikan kewenangan dan hak baru bagi DPR.
Kewenangan dan hak baru itu termaktub dalam pasal 73, pasal 122 huruf K, dan pasal 245 ayat 1. Pasal 73 berisi soal pemanggilan oleh DPR. Pada pasal 73 ayat 1 hasil perubahan UU MD3 berbunyi: “DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.”
Penekanan pemanggilan oleh DPR kemudian diatur dalam pasal 73 ayat 2 dan 4. Pasal 73 ayat 2 berbunyi: “Setiap orang wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 1.”
Sementara, pasal 73 ayat 3 berbunyi: “Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak hadir setelah dipanggil tiga (3) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Kemudian pasal 122 huruf K yang mengatur tugas MKD. Dalam pasal baru hasil perubahan UU MD3 berbunyi: “Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR.”
Sementara terkait pemanggilan anggota DPR dari kasus hukum diatur dalam pasal 245 ayat 1. Dalam hasil perubahan UU MD3 berbunyi: “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).”
DPR Semakin Otoriter
Revisi UU MD3 yang memberi kewenangan dan hak baru buat DPR dikritik peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Lucius memberi penilaian terhadap tiga pasal yang baru muncul dari revisi UU MD3 ini dan dianggapnya menunjukkan watak otoriter DPR.
“Ketiga pasal yang direvisi berkaitan dengan hubungan DPR dengan pihak lain dan bagaimana DPR coba membentengi diri dengan UU MD3,” kata Lucius kepada Tirto, Selasa (13/2/2018).
Lucius menilai seluruh ayat dalam pasal 73 UU MD3 telah menjadikan DPR sebagai lembaga yang represif. “Apalagi sekarang polisi wajib panggil paksa,” kata Lucius.
Kondisi ini diperparah dengan revisi pasal 122 huruf K yang dianggap Lucius sebagai pasal yang paling berpeluang merusak demokrasi di Indonesia. DPR akan menjadi lembaga yang antikritik dan bisa memidanakan semua orang yang dianggap berlawanan dengan kebijakan mereka.
“DPR mengembalikan demokrasi di negara ini ke masa orde baru, ketika pemerintah atau elite politik selalu curiga terhadap rakyat,” kata alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.
Pasal tersebut, kata Lucius, juga mengindikasikan DPR telah melanggar fungsi perwakilan yang merupakan inti dari keberadaannya dalam sistem politik Indonesia lantaran berpeluang membatasi aspirasi dari rakyat yang juga bisa tertuang dalam bentuk kritik.
“Kebebasan berekspresi dan partisipasi warga negara dilanggar dengan mulai membatasi level kritik publik yang bisa disampaikan kepada mereka,” kata pria kelahiran 15 Maret 1974 ini.
Sementara itu, terkait hak imunitas DPR yang diatur dalam pasal 245 ayat 1, Lucius menilai pasal tersebut berpeluang melemahkan upaya penegakan hukum yang dilakukan kepolisian dan KPK. "[Pasal] ini bisa dipakai ketika mereka merasa terpojok dengan kasus hukum tertentu,” kata Lucius.
Menurut Lucius, imunitas anggota DPR yang dimaksudkan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 adalah ketika melaksanakan tugasnya, “Bukan untuk membentengi diri dari kasus-kasus hukum yang menjerat mereka.”
Pasal 245 ayat 1 ini juga dinilai Lucius berlawanan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU XII/2014 pada 22 September 2015 yang memutuskan telah merekonstruksi mekanisme "izin MKD" menjadi "izin Presiden".
“Dengan adanya pasal ini, hubungan dengan presiden bisa tidak harmonis. Karena rekomendasi MKD akan berarti presiden diminta mengikutinya,” kata Lucius.
Pada sisi lain, Lucius menilai kewenangan dan hak baru ini tak semata salah DPR tapi juga pemerintah. Pemerintah dianggap turut andil dalam membahas perubahan-perubahan yang ada di dalam UU MD3.
Ia menilai, pemerintah begitu saja menyetujui pasal yang bisa membuat iklim demokrasi di Indonesia kembali memburuk. Lucius berharap Presiden Jokowi menyatakan penolakan dengan tidak mau menandatangani undang-undang ini ke dalam lembar negara sebagai bentuk protes atas perubahan-perubahan yang ada.
“Kalau presiden menandatangani artinya dia punya intensi yang sama dengan DPR untuk mulai menertibkan suara kritis dari rakyat,” kata Lucius.
Penjelasan dan Klarifikasi DPR
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas menilai tidak ada masalah dengan perubahan UU MD3. Pada pasal 73, kata Supratman, tidak ada kebaruan selain mengganti objek yang dapat dipanggil oleh DPR menjadi semua orang dan mengukuhkan bantuan kepolisian untuk pemanggilan paksa.
"Mekanismenya kami serahkan ke peraturan kepolisian yang akan dibuat oleh kepolisian selambat-lambatnya enam bulan setelah undang-undang ini diundangkan," kata Supratman.
Supratman membantah aturan dalam pasal 122 huruf K menjadikan DPR sebagai lembaga antikritik. DPR punya fungsi pengawasan yang juga bertugas untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat.
“Yang tidak boleh adalah memberi stigma yang berlebihan yang tidak sesuai dengan harkat dan etika kita dalam berbangsa dan bernegara sebagai orang Timur,” kata Supratman.
Ia mencontohkan ketika ada seseorang yang menyamakan DPR atau seorang anggota DPR dengan nama hewan tertentu, “Atau misalnya ada yang bilang DPR korup, padahal tidak semua anggota DPR korup, itu kena. Apalagi tidak ada buktinya.”
Guna membatasi antara kritik dan hinaan dalam pasal 122 huruf K, Supratman menjelaskan, Badan Legislasi DPR akan menyusun batasan dalam tata tertib termasuk mekanisme pelaporan kepada penegak hukum atas seseorang yang dianggap melanggar.
Ia juga menegaskan, pasal 122 huruf K merupakan pengejawantahan pasal contempt of parliament dalam RKUHP yang mengatur penghinaan terhadap anggota DPR. Supaya tidak banyak pelaporan yang dilakukan orang per orang, MKD mengatur pelaporan melalui pasal tersebut.
Terkait pasal 245 ayat 1, politikus Partai Gerindra ini menyatakan tidak ada putusan MK yang dilanggar DPR, sebaliknya pasal tersebut justru mengejawantahkan hasil putusan MK.
“Sekarang kami normakan di pasal 245 bahwa itu harus ada izin dari presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD," kata Supratman.
Supratman juga membantah pasal 245 ayat 1 bisa menghalangi proses hukum lantaran MKD hanya memberi pertimbangan dengan batas waktu 20 hari. Jika dalam batas waktu itu tidak ada pertimbangan, maka presiden bisa memberikan izin secara tertulis.
“Nanti batas waktu 20 hari itu akan ditulis dalam tata tertib. Jadi tidak perlu khawatir,” kata Supratman.
Supratman mengingatkan ada pasal 245 ayat 2 yang mengatur pengecualian tindak pidana yang bisa langsung diperiksa oleh penegak hukum, termasuk tindak pidana khusus.
“Apa yang dimaksud tindak pidana khusus? Ada tiga kategori, satu korupsi, kedua kejahatan kemanusiaan, ketiga human trafficking. Jadi ketiga ini kalau itu terjadi enggak perlu izin presiden,” kata Supratman.
Politisi Gerindra ini pun menyatakan seluruh fraksi di DPR pada dasarnya setuju dengan ketiga pasal tersebut, termasuk Fraksi PPP dan Nasdem. “PPP dan Nasdem itu hanya tidak setuju dengan penambahan kursi pimpinan saja kok,” kata Supratman.
Kepada pihak-pihak yang merasa tidak sepakat dengan perubahan-perubahan dalam ketiga pasal tersebut, Supratman pun mempersilakan mereka untuk mengajukan uji materi ke MK.
“Kami yakin uji materi itu akan ditolak. Substansinya tidak ada yang melabrak konstitusi,” kata Supratman.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih