tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kewenangan baru yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Revisi ini disepakati dalam rapat kerja pengambilan keputusan tingkat I antara pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dengan DPR, Rabu malam (7/2/2018).
Salah satu kewenangan baru DPR adalah memanggil paksa seseorang dengan menggunakan polisi. Kewenangan itu tertuang dalam revisi pasal 73 UU MD3 perihal tugas dan wewenang DPR.
Pada pasal 73 itu ada perubahan frasa pejabat negara, badan hukum, dan masyarakat menjadi setiap orang sesuai usulan pemerintah. Sehingga, pasal ini berubah bunyi: “DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya dapat memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.”
Pasal ini juga menekankan DPR dapat memanggil secara paksa setiap orang dengan menggunakan kepolisian Republik Indonesia.
“Ini [perubahan frasa] agar tidak diskriminatif dan [panggilan paksa] sesuai dengan ketentuan sebelumnya di keputusan Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly usai rapat.
Perubahan frasa ini sebelumnya pernah diusulkan Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Angket KPK) lantaran pada rapat pansus sebelumnya, KPK dua kali mangkir dari panggilan pansus pada Oktober 2017. Saat itu, KPK beralasan sedang menunggu putusan MK soal gugatan uji materi UU MD3.
Pansus Hak Angket KPK saat itu merespons dengan meminta Polri memanggil paksa KPK. Permintaan ditolak Kapolri Jenderal Tito Kanavian lantaran menganggap UU MD3 belum memiliki hukum acara yang jelas untuk pemanggilan paksa.
Soal ini, Ketua Panja Revisi UU MD3, Supratman Andi Agtas berdalih latar belakang mengubah frasa itu bukan karena kasus Pansus Angket KPK dengan KPK. “Tapi ada satu pemanggilan yang dilakukan Komisi III terhadap seorang pejabat gubernur yang sampai hari ini tidak hadir di DPR," kata Supratman usai rapat.
Sementara terkait memasukkan Polri dalam pemanggilan paksa, kata Supratman, lantaran Polri sebelumnya menolak memanggil paksa keduanya pihak yang dipanggil dengan alasan UU MD3 belum jelas mengatur hal itu.
Tak hanya memberi wewenang baru, UU MD3 baru memberi penguatan hak imunitas seperti tertuang dalam pasal 245. Pada pasal 245 disepakati adanya penambahan 'presiden' untuk menyidik anggota DPR, tidak lagi hanya atas persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), sesuai dengan usulan dari pemerintah.
Sehingga, pasal ini berbunyi: “pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden dan Mahkamah Kehormatan Dewan.”
Pemerintah juga mengusulkan agar ditambahkan pengecualian pada pasal ini bagi anggota DPR yang tertangkap tangan, melakukan pidana yang diancam hukuman mati dan atau pidana seumur hidup, tindak pidana kejahatan melawan negara berdasarkan bukti yang cukup, dan tindak pidana khusus.
Soal ini, Supratman menyebut, hal itu lazim terjadi di seluruh dunia. “Di seluruh dunia memberi hak imunitas pada parlemen," kata Supratman.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih