tirto.id - Pengusaha hasil hutan di Payakumbuh bernama Rais ditangkap aparat kolonial dalam Perang Kamang 1908. Ia dianggap terkait dengan aksi penolakan atas diterapkannya peraturan pajak atau belasting baru yang dirasakan sebagai eksploitasi yang kelewatan.
Peraturan pajak yang baru itu memicu perlawanan dari berbagai kalangan. Kaum adat dan ulama pun sama-sama menentang peraturan tersebut. Penentangan itu memuncak menjadi pertempuran, salah satunya adalah Perang Kamang, yang lantas menyebar ke berbagai kawasan lain di Sumatera Barat.
Rais ditangkap dalam suasana macam itu. Setelah ditangkap, Rais pun dibawa ke Padang. Muhammad Hatta mendengar kabar soal Rais dari ayah tirinya, Pak Gaek, yang mengetahui penangkapan Rais melalui telegram.
"Ayahanda Rais ditangkap dan dibawa ke Padang hari ini, Ayub,” tulis telegram itu. "Ayub" dalam telegram itu adalah Ayub Rais, salah satu anak laki-laki Rais yang berumur sekitar 13 tahun.
Ayub Rais tak bisa berdiam diri. Dia pun harus bekerja dan mengadu nasib di umur yang masih belia. Seperti banyak pemuda Minangkabau lain, dia juga merantau. Tak tanggung-tanggung, dia langsung merantau ke Batavia.
“Ketika datang ke Jakarta dari Padang, ia bekerja jadi juru tulis pada perusahan milik orang Jerman,” begitu kata Hasjim Ning dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1989).
Keuletan dan kecerdasan Ayub Rais dilihat orang Jerman yang kemudian memperlakukannya dengan sangat baik, bahkan diperlakukan tak ubahnya anak angkat. Ayub bahkan diberi kepercayaan belajar mengurus perusahaan. Setelah belajar dari majikan Jerman yang sudah seperti orangtua angkat itu, dan mendapat uang modal 10 ribu gulden dari mereka, Ayub Rais kemudian mulai berdagang.
Hatta menyebutnya "dagang spekulasi". Ayub Rais mempelajari seluk-beluk perdagangan hasil hutan di kawasan Sawah Besar. Perlahan tapi pasti, Ayub pun terjun dalam bidang itu. Usahanya berkembang dan Ayub Rais pun cukup berhasil, meski tentu saja juga merasakan jatuh bangun.
Hatta yang masih berusia belasan tahun saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dagang Menengah Prins Hendrik School di Batavia. Ia sering berkunjung dan melihat bagaimana Ayub Rais bekerja dan berdagang.
“Dalam waktu libur bulan September dan pada libur Natal yang lalu aku saban hari pergi ke kantor Ayub Rais melihat praktik dagang spekulasi, yang menjual-beli barang hutan, lada, dengan berjangka penyerahan 3 bulan,” tulis Hatta dalam Mohammad Hatta: Memoir (1979).
Mereka berdua memang kerabat dekat. Ayub Rais adalah paman Hatta. Ayub dipanggilnya dengan sapaan Mak Etek. Ayub inilah yang berperan besar membantu pendidikan Hatta.
Menurut Deliar Noer dalam bukunya Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa, 1902-1980 (2002), “Ayub Rais ini yang membiayai sebagian besar ongkos pendidikan Bung Hatta di lndonesia maupun di Belanda.”
Ayub Rais-lah yang peduli pada studi ekonomi Hatta. Menurut Zulkifli Suleman dalam Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010), ia membelikan Hatta tiga judul buku penting yaitu Staathuishoudkunde (Ekonomi Politik, dua jilid) karangan NG Poerson, De Socialisten (Kaum Sosialis, enam jilid) karya HP Quack, serta Het Jar 2000 (Tahun 2000) karangan Bellamy.”
Menurut Hatta, tiga buku itu adalah buku-buku penting pertama dalam kehidupannya. Tak hanya itu, Ayub Rais juga memberi uang bulanan sebanyak 75 gulden setiap bulan.
Jelang keberangkatan Hatta ke Negeri Belanda, bisnis Mak Etek Ayub Rais sedang sulit, meski akhirnya bisa bangkit lagi. Setelah berhasil lolos dari krisis, dia kemudian memimpin Malaya Import Maatschappij dan Firma Djohan Djohor. Sambil berbisnis, Ayub Rais tak lupa membantu keponakannya yang bergiat di kancah pergerakan nasional.
Ketika Hatta lulus sebagai doktorandus bidang ekonomi dan baru pulang dari Negeri Belanda, Ayub Rais termasuk ke dalam orang-orang yang paling dahulu ditemuinya. Hatta minta tolong pada pamannya untuk mengamankan buku yang bukan main banyaknya.
"Terlebih dahulu aku pergi ke toko Djohan Djohor di Pasar Senen untuk menyinggahi Mak Etek Ayub Rais, karena dia ingin pula hadir kalau buku-buku itu diperiksa. Setelah berkenalan dengan Etek Djohan, Etek Djohor, serta beberapa pembantu yang utama, Mak Etek Ayub Rais dan aku berangkat dengan oto (mobil) sedannya,” tulis Hatta.
Baca juga: Orang-orang Tajir Penolong Sukarno-Hatta
Hatta sempat juga ditawari pekerjaan sebagai sekretaris Ayub. Tapi Hatta lebih memilih menjadi penasihat saja karena ia ingin fokus pada aktivitas pergerakan nasionalnya. Meski begitu, Hatta pernah ikut serta pamannya pergi dalam rangka perjalanan bisnis ke Jepang. Mereka menginap di Hotel Koshien, hotel bagus di antara Kobe dan Osaka. Mereka ke Jepang menumpang kapal Djohor Maru.
Mempekerjakan Hatta adalah cara Etek Ayub Rais membuat Hatta punya uang. Ia pun membantu Hatta menjalin relasi dengan Jepang. Di mata media Jepang, Hatta dicap sebagai "Gandhi of Java". Kedekatan Hatta dengan Jepang ini menjadi hal buruk bagi pemerintah Belanda.
Ayub, sebagai orang dekat Hatta, juga sempat menjadi tawanan Belanda ketika ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta dan daerah sekitar Jakarta menjadi daerah pendudukan tentara Belanda. Kala itu Hatta sudah menjadi Wakil Presiden. Ayub Rais dikurung tentara Belanda dan pernah dipenjara di Cilacap.
Setelah dibebaskan, Ayub Rais pulang ke rumahnya dan meninggal dunia pada 1948 karena sakit liver.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani