tirto.id - Dia jelas tidak seterkenal Kaka atau Andriy Shevchenko. Dia tentunya juga tidak selegendaris Ruud Gullit, apalagi Paolo Maldini. Maklum, bersama AC Milan, dia hanya main semusim. Kendati begitu, namanya kemudian menjadi inspirasi pergerakan kalangan anarkis di Italia pada medio 80-an. Dia adalah Luther Blissett.
Lahir pada 1 Februari 1958, Blissett adalah striker Inggris keturunan Jamaika yang aktif pada medio 80-an. Namanya memang cukup asing di telinga pecinta sepakbola. Karier klubnya banyak dihabiskan di Watford. Tercatat tiga kali ia bolak-balik memperkuat klub Inggris tersebut. Termasuk pernah membawa mereka dari divisi empat hingga divisi pertama.
Pada edisi pertama bergabung di Watford, Blissett bermain selama delapan musim (1975-1983). Kedua, selama empat musim (1984-1988). Sementara yang terakhir dua musim (1991-1993). Total Blissett telah memainkan 503 pertandingan dengan torehan 186 gol di Watford. Sebuah rekor abadi yang belum terpecahkan hingga sekarang di klub tersebut.
Selain Watford, Blissett sempat malang melintang di berbagai klub. Bournemouth (1988-1991), dipinjamkan ke West Bromwich Albion pada tahun 1992, Bury (1993–1994), lalu dipinjamkan berturut-turut ke Derry City (1993), Mansfield Town (1993–1994), Southport (1994), lalu hijrah ke Wimborne Town (1994–1995), Fakenham Town (1995–1996), dan terakhir pensiun di Chesham United pada 2007.
Bersama tim nasional Inggris senior, Blissett sempat menunjukkan performa memukau dengan mencetak trigol saat Three Lions menghajar Luxemburg 9-0 dalam kualifikasi Piala Eropa 1984 Grup 3, 15 Desember 1982. Ironisnya, hanya itu saja pencapaian Blissett. Sepanjang 1982-1984 memperkuat timnas, ia hanya tampil sebanyak 14 kali untuk timnas tanpa pernah lagi mencetak gol.
Kendati demikian, Blissett tetap memegang dua rekor penting di Inggris: (1) Pemain kulit hitam pertama yang menembus timnas senior Inggris; (2) Pemain kulit hitam pertama yang berhasil mencetak hattrick dengan timnas senior Inggris.
Dari sekian kariernya yang cukup bergelombang tersebut, kisah Blissett yang paling “ajaib” terjadi ketika ia memperkuat AC Milan pada musim 1983-1984. Ada dua hal yang menarik dalam pembahasan ini.
Pertama: rumor yang menyebutkan bahwa Milan sebetulnya mengincar John Barnes, rekan Blissett di Watford yang kala itu namanya memang tengah moncer. Kedua: nama Blissett kelak diadopsi oleh kalangan anarkis di Italia sebagai suatu pergerakan yang diberi tajuk: ‘Proyek Luther Blissett’.
Novel 'Q' yang Lahir dari 'Proyek Luther Blissett'
‘Proyek Luther Blissett’ sejatinya merupakan dukungan dari para aktivis radikal Italia terhadap sang pemain yang kerap menjadi korban serangan rasial dari suporter sayap kanan ketika hijrah ke Italia. Sebermula dari dukungan, ‘Proyek Luther Blissett’ kemudian menjadi semacam semangat zaman pergerakan radikal di Italia kala itu.
Salah satu karya dahsyat yang lahir dari ‘Proyek Luther Blissett’ adalah novel berjudul Q yang ditulis oleh empat orang sekaligus: Roberto Bui, Federico Guglielmi, Luca Di Meo, dan Giovanni Catabriga. Empat orang ini juga menjadikan nama Luther Blissett sebagai identitas pengarang novel tersebut.
Novel tersebut bercerita mengenai konflik antara dua mata-mata dan berlatar pada masa Reformasi Italia & Jerman. Semula novel ini diedarkan secara copyleft alias bebas hak milik. Namun karena kesuksesannya, novel Q kemudian diburu banyak pembaca hingga terjual sebanyak lebih dari 200.000 kopi dan telah diterjemahkan ke lebih dari 10 bahasa.
Butuh waktu tiga tahun bagi keempat penulis tersebut untuk merampungkan naskah novel tersebut. Salah satunya karena untuk menjelaskan bagaimana “segala hal buruk terjadi di kehidupan modern”. Seperti asal muasal hadirnya aparat negara, penetrasi kapital, hingga kerja-kerja intelijen. Segala hal yang mereka anggap sebagai “penyebab dari berbagai krisis yang ada saat ini”.
"Sesi brainstorming kami selalu menyenangkan. Kami tidak memiliki perselisihan karena, tidak seperti pebisnis, jika ada ide yang berbeda, kami hanya menyimpannya. Bagaimanapun, kami ingin membuat plot dalam novel tersebut dengan setebal dan serumit mungkin," ujar salah satu dari mereka saat diwawancarai The Guardian pada 2003 silam.
Namun kesuksesan novel tersebut kemudian menimbulkan banyak spekulasi mengenai identitas pengarang sesungguhnya. Banyak gosip bermunculan (kebanyakan dihembuskan oleh media-media Inggris) yang menyebut bahwa novel itu sebenarnya ditulis oleh Umberto Eco, novelis cum filsuf ternama dari Italia. Hal itu dibantah keras oleh para penulis aslinya dalam wawancara yang sama dengan The Guardian.
“Mohon maaf, tapi itu omong kosong. Tidak ada kemiripan sama sekali dari gaya penulisan. Buku kami juga terus bertahan hingga 30 tahun lamanya. Saya khawatir, satu-satunya alasan kenapa para jurnalis Inggris percaya pada teori tersebut (bahwa Eco penulis aslinya), barangkali karena The Name of The Rose (buku Eco paling populer--red) adalah buku Italia terakhir yang mereka baca.”
Terlepas dari kesuksesan Q, para penulis tersebut sebelumnya juga tidak mengerti bagaimana asal muasal nama Luther Blissett hingga menjadi populer di kalangan aktivis dan seniman radikal Italia kala itu. “Nama itu menyebar begitu saja seperti virus,” ujar mereka.
“Siapa Pun Dapat Menjadi Luther Blissett”
Saat Blissett bergabung dengan Rossoneri lewat mahar yang cukup besar (£1 juta), terhitung masih amat jarang pesepakbola berkulit hitam yang merumput di Italia. Hal ini juga turut diakui Blissett: "Ketika saya bermain untuk Milan, saya merupakan satu dari sedikit pemain berkulit hitam di sana.”
Namun demikian, Blisset tetap optimistis dapat menunjukkan performa apik di San Siro. Ia mengatakan: “Saat saya tiba, dalam lima atau beberapa laga awal yang saya mainkan adalah laga persahabatan dan Coppa Italia. Saya mencetak sembilan gol dalam lima laga. Tentu saya cukup percaya diri menatap musim tersebut.”
Pelatihnya di Milan saat itu, Ilario Castagner, juga turut memberi semangat: “Blissett, sekali ia mencetak gol, ia tak akan berhenti. Pegang kata-kata saya.”
Sialnya, optimisme tersebut tak pernah kesampaian.
Di tengah sorotan yang mengelilinginya, Blissett justru tampil buruk dengan tampil di 30 penampilan liga dan hanya mencetak lima gol. Mudah saja baginya kemudian untuk menjadi sasaran empuk serangan rasial para suporter. Alhasil, ia pun dijual kembali ke Watford di musim berikutnya dengan separuh harga: £550 ribu.
Beberapa rumor menyebutkan, Milan sebetulnya bukan hendak mendatangkan Blissett, melainkan John Barnes, rekan setim Blissett di Watford yang namanya kala itu juga tengah moncer. Namun, bagi jurnalis sepakbola Italia, Gabriele Marcotti, rumor tersebut jauh panggang dari api.
"Ada dua alasan untuk menganggap rumor tersebut tidak benar. Pertama, bahkan orang paling bodoh sekalipun bisa melihat bahwa Blissett dan Barnes sama sekali tidak mirip. Kedua, pada waktu Milan mencari pencetak gol bertipe ‘out-and-out’ dan Barnes jelas bukan tipe pemain seperti itu," ujar Marcotti dalam wawancaranya dengan The Guardian pada 5 Januari 2005 lalu.
Nasib naas Blissett inilah yang kemudian menjadi inspirasi sekelompok aktivis radikal, seniman bawah tanah, hingga berbagai intelektual anarkis di Italia. Tanpa satu komando yang tidak pasti kapan dimulainya, mereka sepakat memilih nama Luther Blissett sebagai “kode sosial” bagi setiap kasus diskriminatif yang menimpa siapa saja.
“Dia seorang pria Afro-Karibia yang baik. Nasib buruknya selama semusim (memperkuat Milan--red) membuat ia menjadi target candaan rasialis. ‘Proyek Luther Blissett’ menjadi semacam bentuk pembalasan atas kebodohan-kebodohan yang ia terima,” ujar Guglielmi, salah satu dari penulis Q.
Gagasan ‘Proyek Luther Blissett’ juga tak hanya menggema di kalangan aktivis-anarkis di Italia. Kaum ‘Autonomist-Marxist’, yang mengidentifikasikan diri mereka dalam gerakan ‘Italian Workerism’ (dengan para dedengkot seperti Antonio Negri, Paolo Virno, hingga Maurizio Lazzarato) juga turut mengadopsi semangat ‘Proyek Luther Blissett’ ke dalam teritori pergerakan mereka.
Saat tampil di acara Fantasy Football League - Euro 2004 yang tayang pada 30 Juni 2004, Luther Blissett sempat membaca petikan kalimat dalam manifesto ‘Proyek Luther Blissett’ yang ditulis dalam bahasa Italia:
"Chiunque può essere Luther Blissett, semplicemente adottando il nome Luther Blissett" (Siapa saja dapat menjadi Luther Blissett cukup dengan mengadopsi nama Luther Blissett).
Si empunya nama berkelakar setelahnya: “Kalau begitu saya juga termasuk bagian dari proyek ini, dong?”
Editor: Nuran Wibisono