tirto.id - LBH Masyarakat mendesak keras Presiden Joko Widodo memerintahkan Polri dan BNN untuk segera menghentikan praktik tembak mati di tempat bagi pelaku pengedaran narkoba.
Hukuman tembak mati di tempat, menurut LBH, merupakan bentuk pelanggaran HAM terang-terangan. Hal ini terutama menyangkut aspek hak untuk hidup dan hak atas peradilan yang jujur dan adil.
“Bagaimana pun kesalahan seseorang, ia harus dihadapkan dengan pengadilan agar ada ruang baginya untuk membela diri,” jelas Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat Ajeng Larasati dalam rilis pers yang diterima Tirto, Senin (5/3/2018).
Selain itu, Ajeng memaparkan, kebijakan ini tidak efektif memberantas peredaran narkotika di Indonesia. Bukti ini jelas terlihat dari laporan BNN dari tahun ke tahun yang memperlihatkan angka kejahatan narkotika terus meningkat.
“Ini menunjukkan ada masalah lain yang lebih mendasar yang tidak pernah pemerintah sasar dan selesaikan,” kata Ajeng menambahkan.
Tembak mati di tempat tidak menolong situasi pemberantasan narkotika di Indonesia. Ajeng menilai, hal ini disebabkan terputusnya rantai informasi yang penting mengenai mafia peredaran gelap yang lebih besar.
Dari pemantauan LBH Masyarakat melalui media daring, setidaknya ada 215 insiden penembakan dalam penegakan hukum narkotika sepanjang 2017. Dari jumlah tersebut, 116 orang luka-luka dan 99 lainnya meninggal dunia.
Presiden Joko Widodo, Kapolri Tito Karnavian, dan Mantan Kepala BNN Budi Waseso pernah memberikan komentar yang mengisyaratkan persetujuan menggunakan pendekatan represif ini.
Budi Waseso bahkan secara terang-terangan menyatakan lebih menyukai intervensi tembak mati daripada eksekusi hukuman mati karena lepas dari pro-kontra dan tidak berlarut-larut.
Dalam skala nasional, LBH memaparkan, tidak ada bulan tanpa insiden kematian dalam penegakan hukum narkotika. Paling rendah ada pada bulan November 2017 dengan 4 kematian dan paling tinggi ada pada Agustus dengan catatan 13 kematian.
Untuk menghindari terjadinya abuse of power, LBH Masyarakat pun mendesak Polri dan BNN untuk menciptakan mekanisme pengawasan yang akuntabel dan terbuka bagi publik terhadap insiden-insiden kematian.
“Misalnya, dengan mencoba teknologi body camera di Polres atau BNNK tertentu. Selain meningkatkan akuntabilitas, hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada penegak hukum,” jelas Ajeng.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari