tirto.id - Keputusan Presiden Joko Widodo untuk mencabut larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) resmi berlaku, Senin (23/5/2022). Namun, kebijakan tersebut tidak membuat perubahan besar. Permasalahan mengenai tandan buah segar (TBS) sawit dibeli murah oleh pabrik masih terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
"Di beberapa desa di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara terjadi kenaikan Rp50 per kg, dan ada juga yang harganya tetap. Harga di tingkat petani bervariasi di kisaran Rp1.700 - Rp2.000. Sementara harga di loading ramp di kisaran Rp2.000 - Rp2.200," jelas Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam keterangan resmi, Selasa (24/5/2022).
Ia menjelaskan, dari Pasaman Barat, Sumatera Barat harga TBS di peron Rp1.750, sementara untuk langsung ke pabrik kelapa sawit (PKS) di kisaran Rp1.950. Sementara di Riau, tepatnya di Kabupaten Rokan Hulu, harga TBS sudah ada yang Rp2.300 per kg jika diantarkan langsung ke PKS.
"Kalau di Jambi, harga TBS juga tidak lagi mengalami penurunan. Di Tanjung Jabung Timur harga TBS tetap Rp1.625 per kg, di Muara Bungo Rp2.200 per kg, dengan kenaikan Rp100 per kg. Begitu juga di Kabupaten Muaro Jambi, Tebo, dan Tanjung Barat, kenaikan mulai dari Rp75 per kg sampai Rp250," papar dia.
Henry mengatakan, pencabutan larangan CPO pada 19 Mei lalu oleh Presiden Jokowi yang berjanji untuk tetap mengawasi dan memastikan pasokan minyak goreng terpenuhi dengan harga yang terjangkau harus diawasi.
"Tantangan bagi pemerintah bagaimana harga minyak goreng berada dan stabil di harga Rp14.000. Jika tidak, pada akhirnya rakyat kecil dan terkhusus keluarga petani dan buruh kembali mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng," terang dia.
Ia melanjutkan, secara spesifik presiden juga menyebutkan bahwa pembenahan prosedur dan regulasi di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) agar terus disederhanakan dan dipermudah.
"SPI meminta presiden agar pemerintah membuat kebijakan harga dasar kelapa sawit untuk menjadi rujukan pihak pabrik kelapa sawit membeli TBS petani. Selain itu, BPDKS untuk mengalokasikan anggarannya kepada para petani sawit skala kecil, karena selama ini masih dinikmati oleh korporasi atau industri besar untuk biodiesel," kata dia.
Henry menambahkan, peristiwa berkurangnya cadangan dan harga minyak goreng yang tidak terkontrol oleh pemerintah ini, yang disusul dengan kebijakan pelarangan dan pencabutan kebijakan pelarangan ekspor CPO harus dijadikan sebagai momen untuk merombak tata kelola persawitan Indonesia melalui reforma agraria.
"Sawit diurus petani, bukan korporasi. Perkebunan sawit harus diserahkan pengelolaannya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya. Negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektare dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA). Korporasi mengurus industri pengolahan lanjutannya saja seperti pabrik sabun, obat-obatan, dan usaha-usaha industri turunan lainnya saja," jelas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri