tirto.id - Dua konsep penting yang berkelindan dengan Ramadan ialah lailatul qadar dan iktikaf. Menurut Alquran, lailatul qadar adalah malam yang lebih baik daripada seribu malam dan malaikat-malaikat dengan izin Allah turun untuk mengatur segala urusan pada malam ini. Makna qadar di sini adalah kedudukan yang mulia. Ia merupakan malam yang diisyaratkan dalam firman Allah SWT:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat, dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit” (Surat al-Qadr [98]: 1-5).
Sudah barang tentu seluruh kaum Muslimin dianjurkan untuk mendirikan sembahyang pada malam itu, dengan mengharapkan penghapusan dosa-dosa yang lampau (Bukhari 3, 31, 125). Namun, tanggal malam ini tidak pasti. Ada yang mengatakan malam ini terjadi pada salah satu dari sepuluh malam ganjil terakhir pada bulan suci, sedang yang lain mengatakan bahwa ia terjadi pada salah satu dari tujuh malam terakhir (Bukhari 1, 12, 777; 8, 9, 120; 3, 32, 40; Muslim 6, 2617).
Iktikaf, sementara itu, erat berkaitan dengan lailatul qadar. Sebenarnya, seorang Muslim boleh beriktikaf kapan saja sepanjang tahun, tetapi iktikaf mengandung makna yang lebih dalam pada Ramadan. Dan ini berhubungan dengan kenyataan bahwa iktikaf bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencapai lailatul qadar.
Diriwayatkan dalam sebuah Hadis bahwa Muhammad suatu kali beriktikaf pada sepuluh hari pertama bulan puasa. Setelah itu, dia diberitahu Jibril bahwa apa yang sedang dicarinya masih di depan. Rasulullah lalu beriktikaf selama sepuluh hari pada pertengahan Ramadan, tapi diberitahu lagi bahwa apa yang sedang dicarinya masih belum terjadi. Maka Muhammad pun harus beriktikaf pada sepuluh hari terakhir selama bulan puasa (Bukhari 1, 12, 777; Muslim 6, 2627).
Setelah pengalaman itu, Nabi Muhammad hanya beriktikaf pada sepuluh hari terakhir selama Ramadan pada tahun-tahun berikut (Ahmad 13, 2457; Muslim 6, 2643).
Berkenaan dengan Surat al-Qadr, mufasir Jalaluddin al-Suyuthi meriwayatkan suatu peristiwa pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Sang khalifah memanggil sahabat-sahabat Nabi Muhammad, termasuk Ibn ’Abbas, sahabat termuda. Umar mengajak mereka mendiskusikan pada malam ke berapa di bulan suci terjadinya malam qadar itu. Sebagian sahabat menyebut malam ke-21, sebagian lagi menyebut malam ke-23, yang lain mengatakan malam ke-25.
Ibn ‘Abbas, yang mendapat giliran terakhir berbicara, mengatakan, “Sesungguhnya Allah itu ganjil dan mencintai yang ganjil. Ia menciptakan tujuh langit, menjadikan bilangan hari tujuh, menetapkan tawaf di Baitullah tujuh kali, sa’i antara Safa dan Marwah tujuh kali, melempar jumrah tujuh kali, menciptakan manusia melalui tujuh tahap, dan memberikan rezekinya dari tujuh macam.”
Arkian, Umar pun setuju dengan pendapat Ibn ‘Abbas.
Kasih Sayang Allah dalam Lailatul Qadar
Menurut Jalaluddin Rakhmat dalam Quranic Wisdom: Menyesap Kearifan Alquran melalui Tafsir bil Ma’tsur (2012), riwayat tentang Umar itu menegaskan bahwa sudah sejak dahulu terjadi ikhtilaf (perbedaan) mengenai malam qadar. Lailatur qadar adalah rahasia Tuhan. Muhammad mengatakan, “Kejarlah malam qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan!”
Al-Fakhr al-Razi mendedahkan—seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat—bahwa salah satu sebab mengapa malam ini dirahasiakan adalah besarnya kasih Allah kepada manusia. Sekiranya malam qadar ini diberikan, boleh jadi orang melakukan maksiat pada malam itu. Dan melakukan maksiat sambil mengetahui keagungan malam itu sangat besar dosanya (hlm. 152).
Muhammad pernah masuk ke masjid dan melihat ada orang tidur di dalamnya. Dia menyuruh Ali membangunkannya dan menyuruh berwudu. “Ya Rasulullah, bukankah engkau paling dahulu melakukan kebaikan. Mengapa tidak engkau bangunkan sendiri?” Muhammad menjawab, “Karena jika dia menolak perintahku, dia kafir. Aku menyuruhmu karena aku takut dia membantahku.” Jika demikian besarnya kasih sayang Rasulullah, apalagi kasih sayang Tuhan. Allah SWT tidak ingin umatnya melakukan maksiat pada malam itu, yang nilainya sama dengan maksiat seribu malam (hlm. 153).
Walaupun terjadi ikhtilaf mengenai malam qadar, semua sahabat sepakat, pada malam ini turun para malaikat seperti yang disebutkan Alquran. Mereka turun ke bumi setelah memohon izin kepada Tuhan. Mereka mendatangi orang-orang yang menghabiskan malam ini dalam ibadat dan amal saleh. Mereka mengucapkan salam kepada orang-orang yang menaati perintah Allah, sambil menaburkan doa dan berkat.
Malaikat yang turun pun bukan sembarang malaikat. Mereka mempunyai posisi yang sangat tinggi di sisi Tuhan. Masih menurut al-Fahr al-Razi, mereka sangat merindukan turun ke bumi. Para malaikat ini melihat bahwa penduduk bumi melaksanakan ketaatan-ketaatan yang tidak dilakukan penghuni langit. Pertama, hanya di bumi, orang-orang kaya memberikan makanan kepada kaum miskin dan papa. Kedua, hanya di bumi para malaikat mendengar rintihan ahli maksiat yang menyadari dosa-dosanya (hlm. 154).
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangka Raya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.
Editor: Ivan Aulia Ahsan